Aturan Baru Radiologi Klinik Ditolak Organisasi Profesi, Pemerintah Diminta Cabut dan Kaji Ulang
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik dinilai dapat mengganggu pelayanan kesehatan di masyarakat. Sejumlah organisasi profesi dan kolegium kedokteran menolak aturan ini.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi profesi dan kolegium kedokteran secara tegas menolak terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2020 tentang pelayanan radiologi klinik. Ketentuan dalam aturan tersebut dinilai dapat mengganggu serta menimbulkan kekacauan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat.
Penolakan terkait peraturan tentang pelayanan radiologi klinik tersebut disampaikan sejumlah organisasi profesi dan kolegium kedokteran melalui surat yang disampaikan ke Menteri Kesehatan pada Senin (5/10/2020). Dalam surat itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto diminta segera mencabut aturan tersebut dan mengkaji ulang ketentuan yang berlaku.
Setidaknya ada 50 organisasi profesi serta kolegium kedokteran yang menandatangani surat penolakan atas terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan No 24/2020. Mereka antara lain Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Kolegium Urologi Indonesia, serta Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia.
”Kami bersama organisasi profesi dan kolegium lain sepakat menolak Permenkes No 24/2020. Kami sedang upayakan agar aturan ini dapat dicabut dan dibatalkan,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Papdi Sally Aman Nasution ketika dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan, surat penolakan atas aturan itu juga sudah disampaikan kepada semua anggota Papdi. Ia berharap semua anggota dapat tetap memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, termasuk pada pelayanan yang menggunakan modalitas pengionan. Konsolidasi dan komunikasi dengan profesi lain pun diharapkan tetap berjalan.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menilai Permenkes No 24/2020 dapat menimbulkan kegaduhan dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas. Hal itu terutama terkait dengan penggunaan peralatan dengan modalitas radiasi pengion dan nonpengion dalam pelayanan radiologi klinik yang diprioritaskan pada dokter spesialis radiologi.
”Terbitnya aturan ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Pelayanan ke masyarakat bisa kacau. Selama ini, pemanfaatan peralatan dengan pengion dan nonpengion dilakukan oleh dokter spesialis lain juga dokter umum dan itu berjalan baik,” katanya.
Dalam Pasal 5 Ayat (4) Permenkes No 24/2020 tertulis, dokter spesialis radiologi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) bertanggung jawab dan memastikan peralatan dengan modalitas radiasi pengion dan nonpengion di fasilitas pelayanan kesehatan dalam kondisi andal.
Sementara dalam Pasal 11 Ayat (2) disampaikan, pada fasilitas pelayanan kesehatan yang belum memiliki spesialis radiologi, pelayanan radiologi klinik pratama dapat dilakukan oleh dokter atau dokter spesialis lain dengan kewenangan tambahan. Namun, dalam Ayat (4) dinyatakan, dokter atau dokter spesialis lain yang memberikan pelayanan radiologi klinik pratama perlu dilakukan supervisi oleh dokter spesialis radiologi.
Masyarakat pun akan dikorbankan karena tidak semua fasilitas kesehatan memiliki spesialis radiologi. (Daeng M Faqih)
”Aturan ini perlu dikaji ulang. Kami sudah minta untuk dikaji ulang dalam pembahasan sebelumnya, tetapi ternyata aturan itu tetap diterbitkan. Jika aturan ini tetap berlaku, pelayanan di masyarakat akan menjadi rumit. Masyarakat pun akan dikorbankan karena tidak semua fasilitas kesehatan memiliki spesialis radiologi,” tutur Daeng.
Timbulkan kekacauan
Dalam keterangan resmi, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) IDI David S Perdanakusuma menyatakan, aturan ini dapat mengganggu layanan pada setidaknya 16 bidang medis pada masyarakat. Dalam hal ini, layanan radiologi klinik yang dimaksud telah dijalankan oleh 25.000 dokter spesialis dari 15 bidang medis serta dokter umum. Namun, dengan diberlakukannya aturan dalam Permenkes No 24/2020, layanan ini hanya akan dilayani oleh sekitar 1.578 spesialis radiologi.
”Akan terjadi kekacauan dalam pelayanan kesehatan dan berdampak pada keterlambatan dan menurunnya kualitas pelayanan. Peningkatan angka kesakitan dan kematian pasien, termasuk kematian ibu dan anak, bisa terjadi. Ini karena USG oleh dokter kebidanan tidak bisa lagi dilakukan, bahkan tindakan USG dasar oleh dokter umum tidak bisa lagi jika tidak mendapat kewenangan dari kolegium radiologi,” ujarnya.
Selain itu, dalam surat penolakan yang disampaikan oleh organisasi profesi dan kolegium kedokteran disebutkan, kekacauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat dipastikan akan timbul jika hak istimewa dalam pelayanan klinik hanya diberikan kepada dokter spesialis radiologi.
Padahal, selama ini pelayanan ini telah diberikan dan dijalankan oleh dokter umum dan dokter spesialis lain. Defisit dokter pun bisa terjadi sekalipun penyesuaian terhadap peraturan tersebut berlaku paling lambat dua tahun.
Dalam surat penolakan itu juga tertulis, ”Kami juga sangat prihatin dan menyayangkan sikap yang diambil oleh Bapak Menteri selaku profesional dokter spesialis radiologi yang lebih mengutamakan teman sejawat sesama spesialis radiologi pada pelayanan medis yang menggunakan peralatan dengan modalitas radiasi pengion dan nonpengion ini, padahal teman sejawat dokter lain pun memiliki kompetensi dan kualifikasi terstandar”.