Vaksin Oral Disiapkan untuk Memudahkan Penanganan Rabies
Penanganan endemi rabies kerap terkendala karena hewan pembawa virus seperti anjing liar sulit dijangkau. Pemerintah tengah mengkaji penggunaan vaksin oral yang dapat memudahkan proses vaksinasi.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Endemi rabies di Indonesia belum tertangani karena banyak hewan pembawa virus yang sulit diberi vaksin suntik. Kementerian Pertanian menyiapkan vaksin oral untuk memudahkan vaksinasi pada hewan pembawa rabies.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian terkendala dalam melakukan vaksinasi sejumlah hewan pembawa rabies (HPR). Vaksinasi pada anjing liar, misalnya, kerap berada di wilayah yang sulit dijangkau manusia. Pergerakan anjing liar juga tidak memungkinkan untuk vaksinasi secara injeksi.
Direktur Kesehatan Hewan dari Direktorat Jenderal PKH Fadjar Sumping Tjatur Rasa memandang metode vaksin oral sebagai solusi atas kendala itu. Sementara metode vaksinasi oral adalah dengan menyelipkan vaksin pada sebuah umpan makanan, sehingga anjing liar tidak perlu ditangkap terlebih dulu. Selama ini, anjing harus ditangkap sebelum divaksin dan proses tersebut tidak mudah.
”Salah satu tantangan vaksinasi hewan pembawa rabies selama ini adalah penangkapan. Anjing liar, terutama yang tidak biasa dipegang oleh manusia, kerap kali terdeteksi menularkan rabies di sejumlah daerah. Dengan adanya vaksin oral, pemberian vaksin akan menjadi lebih mudah,” ujar Fadjar dalam sesi webinar Vaksin Rabies Oral: Inovasi dalam Pemberantasan Rabies, Sabtu (3/10/2020), di Jakarta.
Di tengah pandemi Covid-19, endemi rabies tetap perlu dibahas lantaran potensi penularan yang masih banyak terjadi. Sekitar 80 persen kasus pada manusia ada di perdesaan yang kewaspadaannya minim, bahkan cenderung tidak ada. Saat virus mencapai sistem saraf pusat, peradangan fatal dapat terjadi pada otak dan sumsum tulang belakang. Sebagian besar penderita lumpuh, lalu meninggal dunia. Tragisnya, hampir separuh kasus terjadi pada anak usia di bawah 15 tahun.
Ad Vos, peneliti ahli rabies di Ceva Santé Animale, perusahaan obat untuk hewan, menjelaskan konsep vaksin oral adalah hal yang telah umum digunakan. Vaksin ini mulanya dikembangkan untuk rubah yang membawa rabies pada 1980. Setelah implementasi vaksin tersebut, tidak pernah ada lagi laporan penularan kasus rabies pada rubah, terutama pada wilayah Eropa Barat dan Tengah hingga 2017.
Vos merinci, vaksin oral sangat bergantung pada umpan yang disertakan. Dalam sebuah studi penerimaan umpan yang dilakukan pada anjing, hampir 90 persen anjing tertarik dengan vaksin yang dicampur dengan umpan telur. Anjing lebih sedikit tertarik dengan umpan ikan dan umpan usus.
Karoon Chanacai, peneliti veteriner dari Thailand, menyampaikan hasil studi penggunaan vaksin oral di Thailand. Dalam percobaannya, Karoon memilih dua jenis umpan, yakni umpan telur dan umpan usus babi. Respons anjing liar terhadap umpan tersebut ternyata sedikit berbeda. Dalam praktiknya, Karoon sedikit menambahkan makanan kucing pada kantong vaksin dengan umpan telur agar anjing lebih tertarik.
”Kami meninjau bahwa kantong vaksin dengan umpan telur itu kurang diminati karena dingin dan baunya kurang menyengat. Ternyata respons anjing di sejumlah wilayah terhadap umpan tersebut agak berbeda,” ucapnya.
Dari hasil tersebut, Karoon memastikan penerimaan vaksinasi oral pada anjing liar itu sukses dengan cakupan lebih dari 80 persen. ”Kami mengamati hampir seluruh anjing mengunyah umpan lebih dari lima kali. Bukti itu juga dikuatkan dengan studi serologi yang telah kami lakukan,” jelasnya.
Meski lebih mudah, Vos menekankan vaksin oral bukan untuk menggantikan vaksin injeksi atau parenteral. Kedua jenis vaksin harus tetap digunakan sesuai dengan peruntukan masing-masing.
”Vaksin oral sebaiknya hanya digunakan pada hewan pembawa rabies yang sulit dijangkau dengan metode vaksin injeksi. Penggunaan vaksin suntik tetap menjadi yang utama bagi hewan yang dapat dijangkau,” jelas Vos.
Endemi rabies sendiri selama ini masih menyebar sedikitnya di 26 provinsi Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata angka kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) setiap tahun mencapai 80.861 kasus dengan angka kematian 105 kasus.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Didik Budijanto menuturkan, ada delapan provinsi yang bebas rabies. Provinsi tersebut meliputi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat. Selain itu, ada Pulau Weh (Aceh), Pulau Meranti (Riau), Pulau Sebatik (Kalimantan Utara), dan Pulau Makalehi (Sulawesi Utara).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, rabies menyebabkan sedikitnya 59.000 kematian setiap tahun di lebih dari 150 negara. Sebagian besar (95 persen) kasus terjadi di Afrika dan Asia. Secara global, beban ekonomi rabies diperkirakan 8,6 miliar dollar AS per tahun (setara dengan Rp 129 triliun). Perkiraan ini dihitung berdasarkan beban dari penyakit tersebut, yakni kematian, biaya perawatan rumah sakit, obat-obatan (termasuk vaksin antirabies dan obat), serta kerugian ekonomi akibat tidak bisa berkegiatan. Kerugian ekonomi lain adalah biaya pengendalian dan pemberantasan rabies.
Direktur Jenderal PKH Kementerian Pertanian Nasrullah mengatakan, selama ini telah banyak sekali anggaran yang habis untuk penanganan rabies. Meski begitu, belum ada yang bisa memastikan kapan endemi tersebut berakhir.
Nasrullah memandang vaksin oral sebagai solusi yang perlu segera diuji di Indonesia. Apabila pengujian selesai, dia meminta agar vaksin tersebut segera dikembangkan di Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) di Surabaya, Jawa Timur.
”Saya menyadari perlu ada uji coba di beberapa daerah karena ada karakteristik budaya, warga, serta hewan di Indonesia yang mungkin berbeda. Tetapi, saya meminta agar vaksin ini bisa segera dikembangkan dan diperbanyak Pusvetma di Surabaya,” tuturnya.