Hasil survei tentang tempat penjualan rokok di Jakarta, Medan, Banggai, dan Surakarta menunjukkan iklan rokok ”menghiasi” warung dan toko sekitar sekolah. Paparan ini membuat anak sekolah bisa menjadi perokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Iklan, promosi, serta sponsor dari produk rokok dapat mendorong anak untuk mulai merokok. Ironisnya, iklan rokok kini masih marak ditemukan di sekitar lingkungan anak, bahkan di sekitar sekolah.
Hal tersebut terungkap dari hasil survei tentang tempat penjualan rokok di sekitar sekolah yang dilakukan di Jakarta, Medan, Banggai, dan Surakarta. Survei ini dilakukan secara bersama antara Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Lentera Anak, FAKTA Indonesia, Pusaka Indonesia, Yayasan Kakak, dan AJI Jakarta pada April-Juni 2020.
Pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Tubagus Haryo Karbiyanto, di Jakarta, Kamis (24/9/2020), mengatakan, sebaran penjualan rokok di sekitar sekolah banyak ditemukan. Ini juga disertai dengan promosi produk rokok yang cukup masif.
Industri rokok menjadikan anak-anak sebagai target pemasaran di tempat-tempat penjualan di sekitar sekolah. (Tubagus Haryo Karbiyanto)
”Cara-cara pemasaran dan promosi produk tembakau termasuk rokok yang ditemukan dalam survei ini menunjukkan industri rokok menjadikan anak-anak sebagai target pemasaran di tempat-tempat penjualan di sekitar sekolah,” tuturnya.
Setidaknya, cara industri memasarkan produk rokok ialah dengan memasang poster ataupun spanduk produk rokok hampir di seluruh bagian warung yang menjual rokok. Selain itu, produk rokok biasanya juga dipajang sejajar dengan mata anak, memajang dekat dengan permen ataupun makanan ringan, serta menjual rokok per batang.
Tubagus mengatakan, dari 805 sampel penelitian yang dilakukan di SD, SMP, dan SMA ataupun sederajat menunjukkan, produk rokok yang paling banyak dijual di toko kelontong dan warung rokok. Penjualan rokok di sekitar sekolah ini sebagian besar ditemukan di tempat penjualan yang sifatnya tradisional dan tidak memerlukan izin tertentu.
Direktur Yayasan Kakak Surakarta Shoim Sahriyati mengungkapkan, kondisi serupa juga ditemukan di sebagian besar sekolah yang berada di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Namun, secara umum, jenis tempat penjualan rokok di sekitar sekolah di Surakarta hampir seluruhnya merupakan toko kelontong. Cara pemasaran yang paling banyak ditemukan pun lebih banyak dengan menggunakan poster rokok dan iklan luar ruangan.
”Kota Surakarta memang sudah memiliki Perda (peraturan daerah) tentang Kawasan Tanpa Rokok. Namun, dalam perda belum ada larangan iklan rokok. Karena itu, dibutuhkan kebijakan larangan iklan rokok untuk melindungi anak dari target industri rokok,” ucapnya.
Peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Eva Rosita menambahkan, cara memasarkan rokok di tempat penjualan di sekitar sekolah di Jakarta hampir serupa dengan daerah lainnya. Ini termasuk pada cara pemasaran dengan poster dan spanduk promosi dari produk rokok.
Kondisi ini disesalkan karena Jakarta telah memiliki regulasi tentang pelarangan iklan rokok di media luar ruang. Aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelarangan Penyelenggaraan Reklame Rokok dan Produk Tembakau di Media Luar Ruang.
”Penegakkn hukum atas aturan tersebut perlu diberlakukan untuk menurunkan semua iklan rokok media luar ruang maupun dalam ruang yang masih ada, terutama di radius sekitaran sekolah,” tutur Eva.
Hasil riset relasi antara status merokok pada pelajar dengan iklan, promosi, dan sponsor rokok di Pulau Jawa yang dilakukan Ikatan Pelajar Muhammadiyah menunjukkan, setidaknya 68,91 persen responden usia 8-16 tahun tertarik merokok setelah melihat iklan rokok. Selain itu, 26,1 persen responden tertarik merokok karena pernah ditawari rokok dengan potongan harga atau gratis dan 14,51 persen responden mendapat sponsor atau ikut kegiatan disponsori perusahaan rokok.
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah Tiga Budiono Subambang mengatakan, sejumlah daerah yang belum mengeluarkan peraturan daerah terkait kawasan tanpa rokok akan didorong untuk segera memilikinya. Hal ini diperlukan dalam rangka mendukung peningkatan status kesehatan masyarakat sekaligus mencegah perokok pemula yang bisa merugikan masa depan bangsa.
”Untuk daerah yang sudah memiliki aturan pun harus dipastikan terimplementasi dengan baik. Aturan harus dipahami betul secara konsisten dan persisten termasuk teknis pelaksanaannya. Jika perlu, pemberlakuan sanksi bisa didorong untuk meningkatkan kepatuhan dalam larangan iklan rokok,” katanya.