Waspadai Risiko Covid-19 Selama Bencana Hidrometeorologi
Bencana hidrometeorologi pada saat pandemi Covid-19 berlangsung berpotensi meningkatkan penularan, semisal dari tempat pengungsian. Ini agar diwaspadai dan dicarikan jalan keluar.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cuaca ekstrem yang terjadi di masa pancaroba telah memicu terjadinya bencana hidrometeorologi di sejumlah daerah. Selain menelan korban jiwa, bencana juga memicu pengungsian. Masyarakat perlu mengantisipasi risiko penularan Covid-19 selama bencana.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati, di Jakarta, Rabu (23/9/2020), mengatakan, banjir bandang di Sukabumi, Jawa Barat, pada Senin lalu menyebabkan 2 warga meninggal, 10 luka-luka, dan 78 orang mengungsi. Banjir bandang ini telah berdampak terhadap 133 keluarga atau 431 jiwa.
Bencana banjir bandang ini merusak rumah dengan skala rusak berat sebanyak 47, rusak sedang (41), dan rusak ringan (45) serta 5 jembatan. Menurut Raditya, Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah mengaktifkan pos komando penanganan darurat bencana setidaknya untuk tujuh hari.
Banjir juga menggenangi 15 desa di dua kecamatan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada Selasa (22/9/2020). Sementara itu, di Desa Karangmalang, Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon, terjadi bencana puting beliung yang menyebabkan 25 rumah rusak ringan dan berdampak terhadap 33 keluarga.
Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB Agus Wibowo menuturkan, manajemen selama pengungsian akan semakin sulit selama wabah. Risiko di pengungsian terhadap penularan akan sangat tinggi sehingga harus dikelola dengan hati-hati.
”Tempat pengungsian harus didesain per keluarga. Kalau pakai tenda besar sebagaimana biasanya, akan berisiko terjadi penularan Covid-19,” kata Agus.
Ketua Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, sejauh ini kaitan tentang iklim dan Covid-19 masih belum pasti, tetapi data di sejumlah negara menunjukkan virus ini merebak di musim dingin ataupun panas. Namun, untuk flu musiman, risiko penularan dan kematian di negara subtropis cenderung meningkat.
”Faktor yang lebih berpengaruh terhadap penularan adalah perilaku dan mobilitas orang. Risiko penularan untuk musim hujan bisa jadi karena lebih banyak orang di dalam ruangan,” ucapnya.
Data BNPB, sepanjang tahun 2020 telah terjadi 2.069 bencana dengan korban mencapai 283 jiwa. Bencana hidrometeorologi paling dominan ialah banjir sebanyak 773 kejadian, puting beliung (547), dan tanah longsor (378). Fenomena hidrometeorologi lainnya adalah kebakaran hutan dan lahan berjumlah 303 kejadian dan kekeringan (22).
Hujan berpotensi berlanjut
Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari mengatakan, cuaca di Indonesia tengah bergelojak. ”Potensi hujan lebat masih ada hingga akhir September saat masuk musim hujan,” ucapnya.
Di sebagian wilayah Indonesia, kondisi atmosfer lebih lembab dibanding normalnya. ”Misalnya, di lapisan ketinggian 700 milibar (sekitar 3.000 meter) ada anomali kelembaban melebihi 20 persen diatas normalnya,” ujarnya.
Padahal, hingga saat ini pergerakan angin masih didominasi oleh monsun Australia yang mengindikasikan bahwa musim kemarau masih berlangsung. Musim hujan biasanya ditandai dengan aliran monsun Asia.
”Suhu permukaan laut di Indonesia saat ini di atas normal, yang diduga berkontribusi besar menyebabkan melimpahnya uap air di atmosfer,” ucapnya.
Hujan lebat dalam beberapa hari terakhir di sejumlah daerah merupakan kombinasi dari berbagai faktor. Selain faktor lokal, juga ada gelombang atmosfer Rossby.
”Hujan di Bogor beberapa hari lalu terjadi mulai dari malam hingga subuh, yang menunjukkan itu bukan disebabkan oleh proses konvektif lokal karena hujan konvektif lokal biasanya hanya terjadi pada siang dan sore,” lanjutnya.
Supari menambahkan, pemantauan suhu permukaan laut Samudra Pasifik menunjukkan adanya anomali yang telah melewati ambang batas La Nina selama lima dasarian. Permukaan suhu laut yang tinggi di wilayah Indonesia ini merupakan kondisi alamiah yang sering terjadi menjelang La Nina.
”Jika suhu permukaan laut hangat bertahan terus sepanjang durasi La Nina, maka biasanya dampaknya akan lebih kuat,” katanya.