Jumlah Kematian Tembus 10.000, Inkonsistensi Data Covid-19 Berlarut
Data resmi kasus Covid-19 di Indonesia hari ini menunjukkan lebih dari 10.000 orang meninggal. Namun, jika merunut laporan pemerintah daerah, angka ini sudah dilampaui hari sebelumnya. Ini menunjukkan inkonsistensi.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data resmi kasus Covid-19 di Indonesia pada Kamis (24/9/2020) menunjukkan lebih dari 10.000 orang telah meninggal akibat penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2. Namun, jika merunut laporan pemerintah daerah, angka ini sudah dilampaui hari sebelumnya. Hal ini dinilai menunjukkan persoalan inkonsistensi data yang terus berlarut.
Salah satu pendiri gerakan masyarakat KawalCOVID19, Elina Ciptadi, mengatakan, hingga Rabu (23/9) jumlah pasien yang meninggal mencapai 10.827 yang terkonfirmasi positif berdasarkan data yang diagregasikan dari pemerintah daerah. Dari agregasi data tersebut juga terlihat bahwa sudah tercatat 4.857 orang yang dikategorikan sebagai kasus meninggal probable.
Berdasarkan dokumen revisi Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada 13 Juli 2020, kasus probable adalah kasus suspek dengan ISPA berat yang meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Namun, jika melihat situs dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 hingga saat ini, kasus probable masih nol. Inkonsistensi data semacam ini yang terus menjadi pertanyaan mengenai mekanisme pengolahan data Covid-19 resmi milik Indonesia. ”Bagi kami, angka 10.000 mungkin sudah terlampaui beberapa waktu lalu,” kata Elina saat dihubungi dari Jakarta pada Kamis.
Menurut Elina, ini menjadi tanda bahwa masalah keterbukaan data belum selesai selama lebih dari tujuh bulan pandemi melanda Indonesia. ”Pertanyaannya, kenapa di situs pemerintah masih nol?” ujarnya.
Elina mengatakan, data yang tidak jelas dan transparan ini menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada berkembangnya teori konspirasi dan tuduhan bahwa pasien ”di-covid-kan”. Menurut dia, hal ini karena suspek tidak segera dites ataupun mendapat hasil tesnya sehingga harus diisolasi dan kalau meninggal harus dimakamkan dengan protokol Covid-19.
”Mengetes semua suspek dan memastikan mereka dapat hasil secepat mungkin akan membuat mereka dapat penanganan lebih tepat. Dan, kalau memang bukan Covid-19 dan meninggal dunia, keluarga pun bisa memakamkan dengan lebih baik,” kata Elina.
Kedua, kondisi data dan pelaporan yang belum ideal ini juga memberikan rasa aman yang palsu bagi masyarakat. Padahal, menurut Elina, jumlah yang meninggal lebih banyak daripada angka resmi.
Intervensi menyeluruh
Selain itu, manajemen data Indonesia yang segera tidak dibenahi selama hampir tujuh bulan pandemi melanda Indonesia membuat langkah intervensi yang diambil pemerintah menjadi tidak tepat.
Mengetes semua suspek dan memastikan mereka dapat hasil secepat mungkin akan membuat mereka dapat penanganan lebih tepat. Dan, kalau memang bukan Covid-19 dan meninggal dunia, keluarga pun bisa memakamkan dengan lebih baik.
Elina menegaskan tidak ada jalan pintas yang mudah untuk mengendalikan pandemi, terlebih lagi sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Cara yang ditempuh tidak bisa dari satu sisi saja, misalnya hanya dengan penegakan kepatuhan penggunaan masker dan protokol kesehatan.
”Tidak ada jalan pintas. Tidak bisa, misalnya, hanya melakukan tes saja, atau menerapkan PSBB saja ataupun pakai masker saja. Semuanya harus simultan, masif, dan tegas pelaksanaanya,” kata Elina.
Selain tiga upaya tersebut, salah satu upaya lain dalam pengendalian penularan yang dinilai masih kurang adalah penelusuran kontak. Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, menilai, masih ada ruang untuk meningkatkan upaya penelusuran kontak di Indonesia.
Syahrizal mengatakan, idealnya dari setiap kasus konfirmasi, penelusuran kontak dilakukan kepada 10-30 orang yang berkontak. Angka ini diambil dari rerata jumlah orang yang berkenaan dengan kasus konfirmasi tersebut pada periode orang tersebut terinfeksi dan hasil tes keluar, yakni sekitar 5-8 hari.
”Nah, sampai sekarang ini mungkin rata-rata (penelusuran kontak) kita hanya 1-5 orang. Itu saya kira kemampuan yang harus ditingkatkan,” kata Syahrizal yang juga pengurus bidang politik kesehatan di Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (PP IAKMI).
Menurut dia, penelusuran kontak yang ideal tidak bisa hanya mengandalkan petugas dari dinas kesehatan setiap kabupaten/kota. Menurut dia, pemda dapat merekrut tenaga tambahan untuk melakukan penulusuran ini.
Pemenuhan petugas penelusuran kontak ini bisa merekrut sukarelawan dari lulusan akademisi sanitarian ataupun lulusan pendidikan kesehatan masyarakat. ”Kalau itu direkrut, kemudian dilatih untuk melakukan penelusuran, saya yakin mereka bisa,” kata Syahrizal.
Upaya penelusuran kontak yang kurang memadai ini juga diperparah dengan jumlah tes yang masih rendah. Data hingga Senin (21/9), secara rata-rata berjalan tujuh hari, Indonesia hanya mengetes 0,09 orang per 1.000 orang. Ini jumlah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang bisa mengendalikan pandemi.
Jerman, misalnya, mengetes hingga 1,9 orang per 1.000 orang, Singapura dengan 1,06 per 1.000 orang. Negara-negara lain yang pengendalian pandeminya juga belum ideal pun lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Filipina berada di angka 0,3 per 1.000 orang. Pakistan 0,15 per 1.000 orang.