Lewat dari enam bulan pandemi melanda, penyangkalan pada Covid-19 masih terjadi. Paparan informasi yang dibutuhkan warga sangat dibutuhkan sebagai pijakan penanganan pandemi agar lebih baik.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian orang melihat adanya kesenjangan informasi tentang Covid-19. Istilah-istilah ilmiah mengenai pandemi kadang tidak mudah dimengerti masyarakat awam. Berangkat dari sini, sebagian orang tergerak untuk membumikan segala sesuatu tentang virus baru ini.
Firdza Radiany (35) risau terhadap komunikasi tentang pandemi. Ia melihat ada risiko yang serius jika kesenjangan informasi ini tidak segera diatasi. Pada saat yang sama, warga perlu segera mendapat paparan informasi yang benar terkait virus korona baru penyebab Covid-19.
Kesenjangan informasi ini, jika tidak diatasi segera, bisa berdampak pada penanggulangan pandemi yang kurang maksimal. ”Keramaian di media sosial, hoaks pandemi, serta sulit memahami istilah-istilah dan indikator-indikator pandemi yang terjadi di masyarakat,” ujar Firdza, Kamis (17/9/2020).
Berlatar belakang sebagai analis data sekaligus praktisi komunikasi pemasaran, Firdza dan teman-temannya membantu mengumpulkan informasi dari sumber resmi, menyederhanakan berbagai istilah, dan membuat konten yang sesuai kebutuhan warga.
Namun, upaya ini saja tidak cukup karena penyebarluasan informasi harus berkelanjutan untuk melawan infodemik. Bersama Muhammad Kamil (dokter neurosurgery) dan Mutiara Anissa (biomolecular scientist) tercetuslah Pandemic Talks. Platform berisi informasi dan kajian Covid-19 berbasis data dan sains.
Terbatasnya akses dan data kesehatan, kerap kali terjadi perbedaan data antara pusat dan daerah menjadi tantangan. Belum lagi perangai ilmiah dan literasi masyarakat yang rendah. ”Banyak hoaks beredar bahwa Covid-19 tidak ada dan penyangkalan dari masyarakat bahwa tidak seberbahaya di media sehingga harus konsisten menyebarluaskan informasi yang tepat dan dapat dipahami,” katanya.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, menuturkan, istilah-istilah terkait Covid-19 membuat sebagian warga bingung sehingga tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bahkan, tak jarang timbul kesalahpahaman yang merugikan orang lain. Penting membumikan lagi istilah-istilah supaya warga semakin paham. ”Pendefinisian kasus berguna sebagai strategi memutus mata rantai penularan Covid-19,” ujarnya.
Dampak dari semua ini, tidak saja abai pada protokol kesehatan. Lebih jauh timbul stigma sosial terhadap penderita Covid-19, penyintas, dan tenaga kesehatan. Parahnya banyak lembaga pemerintahan di pusat dan daerah cenderung menutupi kasus Covid-19 di lingkungan pemerintahan. Hanya sebagian pejabat publik yang mengumumkan secara terbuka saat tertular Covid-19.
Ketidakterbukaan bisa meresahkan pegawai karena mereka harus bekerja di kantor meski sudah ada pegawai atau pejabat yang positif Covid-19. Kondisi itu justru menyulitkan pelacakan kontak sebagai salah satu cara memutus mata rantai Covid-19.
Artikel dalam International Journal of Research in Pharmaceutical Sciences berjudul Facade of media and social media during COVID-19: A review menyebutkan sebut (mentions) dan tagar (hashtag) di media sosial dapat berguna untuk membumikan informasi tentang pandemi.
Sebut dan tagar
Komunikasi yang buruk menyebabkan kebingungan dan kepanikan individu. Lantas orang-orang menjadikan media sosial sebagai sumber informasi.
Media sosial sebagai sumber informasi menimbulkan cyberchondria dan kelebihan informasi. Cyberchondria merupakan kondisi ketika seseorang berpikir berlebihan terhadap kondisi kesehatannya sehingga mencari gejala suatu penyakit lewat internet, lalu mendiagnosisnya sendiri. Sementara kelebihan informasi ialah situasi di mana semua komunikasi dan informasi tidak dapat diproses sehingga pengumpulan informasi terhenti atau menjadi tidak efektif.
Keduanya mengganggu penalaran kognitif manusia. Apalagi informasi di media sosial sensitif terhadap bias individu, memihak, dan tidak komprehensif.
Pemerintah, seperti dalam artikel, dapat memanfaatkan fungsi sebut dan tagar pada media sosial untuk menyampaikan informasi dengan tepat dan cepat. Caranya mengunggah dan menjawab pertanyaan warga. Lewat cara ini pula akan banyak interaksi sehingga warga lebih terlibat.
Selama ini pemerintah cenderung menganggap media sosial sebagai pelengkap ketimbang sumber untuk interaksi lebih luas. Misalnya, pemerintah menggunakan laman resmi untuk merilis peringatan dan informasi panduan, tetapi hanya sedikit yang menggunakan pendekatan partisipatif untuk mempromosikan kerja sama dan komunikasi.
Sebelumnya pejabat di Inggris menggunakan sebutan dan tagar untuk berkomunikasi dengan warga guna menjelaskan rumor dan mengidentifikasi pelaku selama kerusuhan 2011. Instansi pemerintah di Indonesia pernah melakukannya. Mereka menggunakan Twitter untuk peringatan dini tsunami. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat, pejabat menggunakan Twitter selama krisis Badai Sandy tahun 2012 untuk melibatkan orang dalam pembuatan layanan publik.
Kesenjangan informasi mengenai pandemi harus segera diatasi. Dengan cara ini, penanganan pandemi diharapkan menjadi lebih baik.