Tips Merawat Orang dengan Demensia, Pahami Pola Komunikasi
Merawat orang dengan demensia membutuhkan kemampuan berkomunikasi khusus. Hal ini bisa dipelajari.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merawat orang dengan demensia bukanlah hal yang mudah, melainkan tidak mustahil untuk dipelajari. Salah satu yang kerap dikeluhkan oleh para pendamping orang dengan demensia atau ODD adalah kesulitan berkomunikasi.
Menurut Trainer Dementia Care Skill Alzheimer Indonesia, Azam David Saifullah, demensia merupakan sekumpulan gejala dari penyakit-penyakit tertentu yang menimbulkan penurunan bertahap pada fungsi otak seseorang. Penurunan ini akan mengganggu aktivitas sehari-sehari. Salah satu gejala tersebut dikenal dengan pikun.
”Pikun bukan gejala dari proses penuaan normal sehingga harus segera ditangani secara dini,” katanya dalam webinar Tips Merawat dan Mendampingi Orang dengan Demensia oleh Alzheimer Indonesia di Jakarta, Sabtu (12/9/2020).
Azam menambahkan, sebanyak 60-80 persen kasus demensia yang paling banyak ditemukan di dunia adalah demensia alzheimer. Termasuk di Indonesia, di mana proporsi kasus demensia alzheimer dan demensia vaskuler paling besar.
Beberapa faktor yang dapat memicu demensia pada seseorang adalah keturunan, usia, hipertensi, kolesterol tinggi, obesitas, merokok, alkohol berlebihan, hingga cedera kepala. Meski begitu, faktor keturunan hanya menyumbangkan 5-10 persen dari total kasus.
”Risiko demensia akan meningkat pada orang yang berusia di atas 65 tahun,” ujar Azam.
Merujuk pada salah satu studi yang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Azam menyebutkan bahwa dua dari sepuluh orang mengalami demensia saat berusia 65 tahun ke atas. Selain itu, kasus di Yogyakarta juga cenderung dialami oleh perempuan.
Beberapa gejala umum dari demensia antara lain gangguan daya ingat, sulit fokus, sulit melakukan kegiatan yang familier, atau bingung dengan waktu dan tempat. Gejala lainnya adalah mengalami gangguan komunikasi, menarik diri dari pergaulan, salah merencanakan sesuatu, hingga mengalami perubahan perilaku.
”Gejala-gejala ini semakin lama akan semakin memburuk. Jika itu terjadi, kita bisa membawa mereka ke poliklinik memori, dokter spesialis saraf, dokter spesialis penyakit dalam konsultan geriatri, atau dokter spesialis jiwa,” ujarnya.
Sulitnya berkomunikasi
Menurut Trainer Dementia Care Skill Alzheimer Indonesia, Sri Mulyani, salah satu kesulitan dalam mendampingi ODD adalah berkomunikasi. ODD dinilai sering mengucapkan hal negatif, tidak menyambung saat diajak bicara, keras kepala, hingga sering mengajak berdebat.
Hal pertama yang bisa dilakukan oleh pendamping adalah memberikan perhatian terhadap perilaku dan emosi ODD. Setelah hal itu berhasil dilakukan, pendamping bisa mencoba untuk mendapatkan perhatian mereka.
”Pendamping biasanya ingin mendapatkan perhatian dengan mengagetkan ODD. Ini adalah hal yang tidak dianjurkan,” katanya.
Salah satu cara untuk mendapatkan perhatian ODD, menurut Sri, adalah memanggilnya dengan nama panggilan yang disukai. Misalnya, beberapa lansia lebih suka dipanggil dengan panggilan ”oma cantik” atau mungkin ”komandan” ketimbang sekadar ”mbah”.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah selalu memperkenalkan diri setiap bertemu dengan ODD. ”Jangan malah sebaliknya, kita menanyakan kepada mereka siapa kita. Hal itu akan membuat mereka tidak nyaman,” katanya.
Selanjutnya, gunakan teknik komunikasi verbal dan nonverbal kepada ODD. Bahkan, porsi komunikasi nonverbal baiknya lebih banyak ketimbang komunikasi verbal. ”Ekspresi wajah dan intonasi suara ternyata lebih banyak pesannya dibandingkan kata-kata yang kita lontarkan,” ujar Sri.
Misalnya, seorang ODD meminta diambilkan segelas air putih. Setelah diambilkan, ternyata gelas tersebut hanya dipegangi. Dalam kondisi tersebut, ODD sebenarnya tidak mengetahui langkah selanjutnya yang harus diperbuat. Peran pendamping adalah mencontohkan gerakan minum.
Jangan lupa juga untuk memberikan respons positif dan hormat kepada ODD. Sebab, selama ini pendamping kerap merespons ODD seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Hal ini tidak patut dilakukan.
”Jika mengingatkan perilaku tidak wajar ODD, jangan sampai membuat mereka malu. Ingatkan dengan nada yang santun. Bagaimanapun, ODD masih punya rasa malu,” kata Sri.
Selain itu, gunakan bahasa tubuh dan nada bicara yang tidak menekan. Jaga kontak mata agar selalu sejajar dengan ODD. Bila diperlukan, berikan sentuhan fisik yang santun kepada mereka.
Selanjutnya, akui kegelisahan, perasaan, dan realitas yang dialami oleh para ODD. Misalnya jika ODD berhalusinasi tentang ikan yang bisa terbang, pendamping harus bisa mengakui adanya hal itu.
”Akui juga jika mereka sedang gelisah dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan,” kata Sri.
Setelah itu, berikan dukungan kepada para ODD, misalnya dengan menunjukkan perhatian lewat ekspresi. Para pendamping ODD dan lansia sebisa mungkin juga selalu menginisiasi percakapan.
Dalam hal ini, hindari percakapan mengenai demensia di depan ODD. ”Hal ini kerap tidak kita sadari. Sering kali pendamping membicarakan tentang demensia dengan orang lain di hadapan ODD,” katanya.
Selain komunikasi yang kurang baik, ada beberapa yang menyebabkan ODD merasa tidak nyaman. Misalnya, saat mereka merasa nyeri di tubuh atau sakit gigi. Sebab, sering kali para ODD tidak mampu mengungkapkannya.
Faktor lingkungan juga dapat memengaruhi hal ini. Misalnya, ruangan yang ia tempati terlalu bising atau terlalu panas. Selain itu, ODD juga cenderung tidak nyaman jika menemui ruangan yang tidak familier.
”Biasanya oma pindah dari rumah satu anak ke anak lainnya. Ketidakfamilierannya terhadap rumah itu akan membuat oma tidak nyaman. Untuk mengatasinya, bawa benda-benda yang familier untuk dia,” ujar Sri.