Tidak ada sebab tunggal yang memicu bunuh diri. Meski sejumlah kasus bunuh diri bermunculan di dalam dan luar negeri selama pandemi, Covid-19 hanyalah salah satu pencetusnya.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
Menyebarnya Covid-19 yang diikuti pembatasan sosial atau karantina wilayah di sejumlah negara memberi tekanan cukup besar pada kesejahteraan mental masyarakat. Stres, cemas, dan depresi itu bukan hanya dialami pasien positif Covid-19 yang menjalani perawatan di rumah sakit, melainkan juga mereka yang sehat fisik dan terpaksa harus mengurung diri di rumah.
Beban mental yang berat tanpa mampu ditanggung itu membuat sejumlah pasien positif Covid-19 nekat mengakhiri hidupnya saat menjalani perawatan di rumah sakit. Kasus yang ditemukan di sejumlah daerah ini umumnya dilakukan dengan melompat dari ruang perawatan yang tinggi. Bunuh diri juga dilakukan masyarakat yang tak terjangkit Covid-19, tetapi mengalami tekanan ekonomi akibat pandemi.
Meski sejumlah kasus bunuh diri itu terjadi di masa pandemi dan terkait Covid-19, tidak bisa serta-merta menuding Covid-19 sebagai penyebab bunuh diri. ”Bunuh diri adalah persoalan kompleks, tidak mungkin akibat Covid-19 semata,” kata pendiri Into The Light Indonesia, komunitas pencegahan bunuh diri, Benny Prawira Siauw, Selasa (8/9/2020).
Mereka yang bunuh diri selama pandemi diyakini telah memiliki tumpukan persoalan kesehatan mental sejak lama. Covid-19 dan pandemi hanya meningkatkan kerentanan bunuh diri, baik akibat ketakutan yang besar, putus pengobatan, putus asa dan merasa tak memiliki harapan, kesulitan finansial, maupun kesepian akibat isolasi sosial.
Perwakilan Nasional Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (International Association for Suicide Prevention/IASP) Indonesia yang juga psikiater di RSUD Dr Sutomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Nalini Muhdi, Rabu, mengatakan, pandemi memberi masyarakat sumber stres yang lengkap. Tekanan hebat yang berlangsung berbulan-bulan tanpa tahu kapan ujung akhirnya benar-benar menguji ketangguhan mental seseorang.
Penyebab bunuh diri umumnya berasal dari gabungan berbagai persoalan, baik biologi, psikologi, maupun sosial. Secara biologi, seseorang rentan bunuh diri jika keseimbangan zat kimia di otak atau neurotransmitter-nya terganggu, khususnya serotonin, yaitu hormon yang memberi rasa nyaman dan tenang. Kurangnya hormon ini membuat penderitanya mudah stres.
Dukungan keluarga, citra diri, hingga pola asuh berperan membentuk sikap seseorang dalam mengelola dan menghadapi tekanan. Spiritualitas juga berperan membentuk sikap dan penerimaan seseorang atas musibah yang dihadapi.
Meski penyebabnya kompleks, masyarakat hingga kini masih menyederhanakan bunuh diri sebagai persoalan kurang iman. Padahal, ”Bunuh diri bukan semata diakibatkan oleh lemahnya iman seseorang,” ujar Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Indria Laksmi Gamayanti.
Iman memang menjadi salah satu faktor yang bisa mencegah seseorang untuk berpikir, punya ide atau niat dan melakukan bunuh diri. Namun, lanjut Benny, iman pula sering dijadikan alat untuk mestigma orang yang bunuh diri dengan tudingan lemahnya iman, menentang kodrat, ataupun tak takut dosa. Padahal, iman itu bisa dimanfaatkan untuk membangun kepedulian guna menyelamatkan hidup orang lain dari bunuh diri.
Bangun kesadaran
Buruknya sistem pencatatan bunuh diri di Indonesia membuat tidak ada data pasti berapa jumlah bunuh diri, baik selama pandemi maupun sebelum pandemi. Global Health Estimates Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2016 memperkirakan kematian akibat bunuh diri di Indonesia mencapai 3,4 per 100.000 penduduk.
Jika angka tersebut tetap dan jumlah penduduk Indonesia pada 2019 mencapai 267 juta jiwa, diperkirakan ada sekitar 9.000 orang bunuh diri atau satu orang setiap jam. Meski jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan angka bunuh diri global yang mencapai 800.000 orang per tahun atau satu orang tiap 40 detik, bukan berarti persoalan bunuh diri di Indonesia bisa diremehkan.
Prevalensi bunuh diri tertinggi di Indonesia ada pada laki-laki, hampir tiga kali lipat dari perempuan. Namun, percobaan bunuh diri terbesar ada pada perempuan. Kasus bunuh diri tertinggi ada pada kelompok lanjut usia di atas 60 tahun, tetapi kelompok dengan bunuh diri tertinggi berikutnya ada pada penduduk dewasa muda 20-29 tahun.
IASP menyebut, setiap satu tindakan bunuh diri umumnya ada 25 kasus percobaan bunuh diri dan berkali-kali lipat orang yang memiliki pikiran untuk bunuh diri. Selain itu, setiap satu bunuh diri juga akan berdampak pada 135 orang lain, baik orangtua, saudara, anak, teman, maupun orang dekat, akibat rasa tertekan, bersalah, hingga stigma dari lingkungan.
Namun, berkaca pada kasus di negara lain, angka bunuh diri cenderung meningkat seiring dengan tumbuhnya ekonomi. Kesenjangan yang tercipta, meningkatnya beban hidup, tekanan pekerjaan, standar hidup yang tinggi, dukungan sosial yang melemah, hingga terabaikannya masalah kesehatan mental masyarakat akan meningkatkan risiko bunuh diri.
”Bunuh diri bisa terjadi pada siapa saja, kaya atau miskin, berpendidikan rendah atau tinggi. Di semua kelompok ekonomi dan usia, bunuh diri bisa terjadi,” tambah Nalini.
Oleh karena itu, seiring dengan pandemi yang terus berlangsung tanpa kejelasan kapan akan berakhir, Indonesia perlu lebih waspada terhadap bunuh diri dan gangguan kesehatan mental. Terlebih, saat pandemi Covid-19 nantinya berakhir, dampak pandemi pada gangguan mental itu masih bisa berlangsung hingga beberapa tahun ke depan.
Kerentanan kesehatan mental dan bunuh diri di masyarakat selama pandemi itu selaras dengan temuan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Hasil kuesioner swa-pemeriksaan menunjukkan 56,7 persen responden teridentifikasi memiliki gejala depresi selama pandemi. Selain itu, 58,9 persen responden berpikir tentang kematian dan menyakiti diri sendiri, bahkan 15,4 persen di antaranya mengalami pikiran itu setiap hari.
Meski demikian, upaya pemerintah dalam menangani kesehatan mental, termasuk pencegahan bunuh diri, masih lemah. Saat ini Indonesia tidak memiliki layanan telepon 24 jam yang bisa digunakan oleh mereka yang punya pikiran bunuh diri untuk berkonsultasi. Tenaga psikolog klinis dan psikiater pun masih terbatas di kota-kota besar. Bahkan, belum semua provinsi memiliki rumah sakit jiwa.
Pencegahan bunuh diri juga masuk target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Namun, rencana aksi pemerintah untuk menekan bunuh diri juga belum terlihat nyata. Repotnya, lemahnya kesadaran akan bunuh diri itu bukan hanya pada pengambil kebijakan saja, melainkan juga pada sebagian tenaga kesehatan ataupun kelompok terdidik.
”Kesehatan mental adalah bagian tak terpisahkan dari kesehatan masyarakat,” kata Nalini. Saat perhatian pemerintah lemah, masyarakat bisa mengambil peran.
”Masyarakat perlu mengenali tanda-tanda kecenderungan individu melakukan bunuh diri, seperti ucapan, ide, atau niat mengakhiri hidup, serta menyebutkan alat dan waktu untuk mengakhiri hidup,” kata Ketua Umum PDSKJI Diah Setia Utami.
Saat mendeteksi adanya kecenderungan orang bunuh diri, masyarakat bisa mencari bantuan dari psikiater atau psikolog klinis terdekat. Budaya gotong royong dan kepedulian sosial masyarakat yang tinggi bisa dimanfaatkan untuk membangun kesadaran bahwa siapa pun bisa berperan mencegah bunuh diri.
Oleh karena itu, dalam peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang dirayakan tiap 10 September, edukasi perlu terus dilakukan sehingga terbangun kesadaran bahwa bunuh diri adalah persoalan buruknya kesehatan mental. ”Jika tidak bisa membantu, minimal jangan menstigma orang bunuh diri,” kata Benny.