Lonjakan Kasus Covid-19 di Jakarta Baru Bisa Ditekan jika Separuh Warga Berdiam di Rumah
Agar PSBB benar-benar bermanfaat, ketegasan aparat diperlukan. Lalu, kedisiplinan protokol kesehatan dinilai tidak dapat ditawar kelak PSBB dilonggarkan lagi. Jangan sampai PSBB hanya berdampak temporer.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna menjamin pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Jakarta sungguh berdampak pada penurunan laju kasus baru Covid-19, ketegasan aparat dalam pengawasan menjadi krusial. Kemudian, untuk menekan penyebaran pasca-PSBB, perlu penerapan protokol kesehatan yang disiplin. Jangan sampai pelandaian yang dihasilkan PSBB hanya bersifat sementara.
Bersamaan dengan berakhirnya PSBB ketat di DKI Jakarta pada awal Juni 2020, persentase masyarakat yang diam di rumah langsung turun drastis, berdasarkan catatan Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).
Berdasarkan data FKM UI, di puncak penerapan PSBB pada April-Mei, persentase masyarakat yang patuh hampir 60 persen. Angka ini kemudian turun menjadi 45 persen sejak Juni hingga saat ini.
Pengajar Biostatistik FKM UI, dr Iwan Ariawan MSPH, Jumat (11/9/2020) di Jakarta, mengatakan, fenomena ini langsung tecermin dengan peningkatan kasus yang drastis pada periode yang sama. Begitu 50 persen orang mulai keluar, kasus naik dengan cepat.
Untuk itu, peran penting dari aparat pemerintah untuk mengawasi mobilitas masyarakat menjadi krusial untuk mencapai target PSBB.
”Kita harus memperbanyak penduduk yang di rumah saja. Itu bisa dilakukan dengan PSBB. Tetapi, kan, ini tidak bisa selamanya. Ini harus digantikan dengan protokol kesehatan yang dipatuhi dengan cakupan yang tinggi dan secara benar,” kata Iwan.
Kita harus memperbanyak penduduk yang di rumah saja. Itu bisa dilakukan dengan PSBB. Tetapi, kan, ini tidak bisa selamanya. Ini harus digantikan dengan protokol kesehatan yang dipatuhi dengan cakupan yang tinggi dan secara benar.
Iwan mengatakan, dari beberapa penelitian yang ia ketahui, protokol kesehatan itu bisa mencegah naiknya kasus setelah PSBB dilonggarkan, asalkan dilakukan dengan cakupan yang besar dan konsisten. ”Kita masih punya masalah di aspek ini,” ucap Iwan.
Berdasarkan kalkulasinya, pembatasan mobilitas warga melalui PSBB baru bisa berdampak pada penurunan laju penambahan kasus baru kalau bisa menekan lebih dari 55 persen warga berada di rumah saja.
Lalu, jika ini sudah tercapai dan PSBB akan dilonggarkan, penggunakan masker dan protokol kesehatan lainnya harus dilakukan oleh minimal 85 persen masyarakat. ”Baru kita bisa menekan laju peningkatan kasus seperti saat PSBB,” ujar Iwan.
Koordinator Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito juga menyatakan pendapat yang senada.
”Kalau kita tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan seperti sekarang, nanti penerapan PSBB bisa-bisa tidak akan ada gunananya. Nanti penurunan laju kasus hanya terjadi ketika PSBB. Kalau PSBB dilonggarkan, ya, naik lagi,” kata Wiku.
Wiku mengatakan, peningkatan kasus memang terasa di banyak daerah. Ia mengatakan, per 10 September, ada 70 kabupaten/kota dalam kategori zona merah meningkat dari 65 sebelumnya. Daerah dengan zona oranye pun meningkat dari 230 menjadi 267.
”Jadi memang kenyataannya, ini masyarakat belum disiplin pakai masker terus-menerus. Ini berkontribusi pada peningkatan kasus. Jadi sebenarnya kalau disiplin protokol, harusnya tidak meningkatkan kasus meskipun ada mobilitas esensial yang tidak bisa dicegah,” tutur Wiku.
Secara terpisah, gerakan inisiatif warga Lapor Covid-19 berharap pemerintah DKI Jakarta dapat menekan mobilitas masyarakat hingga 70 persen selama enam pekan untuk bisa menjaga kapasitas rumah sakit di Jakarta.
Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Social Resilience Lab, Nanyang Technological University (NTU) Singapura, diproyeksikan, jika laju kasus positif saat ini terus berlanjut, kapasitas penuh pada awal pekan keempat September.