Kepercayaan Orangtua Tentukan Keberhasilan Imunisasi Anak Sekolah
Pemberian imunisasi dasar dan lanjutan pada anak terkendala pandemi. Bila program tak berjalan tak sesuai jadwal, kondisi ini bisa membuka celah kemunculan kembali wabah lama.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian imunisasi lanjutan yang biasa dilakukan dalam kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah terkendala di masa pandemi Covid-19. Sebagian orangtua masih khawatir untuk membawa anaknya ke sekolah atau fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal, imunisasi lanjutan ini penting untuk meningkatkan kembali imunitas tubuh dari risiko penyakit menular.
Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cissy B Kartasasmita mengatakan, imunisasi merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap anak di Indonesia. Ini termasuk pada imunisasi dasar dan imunisasi anak sekolah.
Dengan pemberian imunisasi, anak dapat terlindungi dari berbagai penyakit menular seperti polio, campak, difteri, dan rubela. ”Imunisasi harus tetap diberikan sekalipun sedang pandemi. Jika tidak, ancaman wabah lain dari penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi bisa terjadi. Untuk itu, pelaksanaan imunisasi di masa pandemi ini perlu disiasati agar bisa terlaksana tetapi tetap aman dari Covid-19,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Selain pemberian imunisasi dasar di usia bayi, anak juga perlu mendapatkan imunisasi lanjutan di atas usia dua tahun, usia sekolah dan remaja, serta imunisasi tambahan ketika dewasa. Imunisasi lengkap ini diperlukan untuk memperkuat terbentuknya kekebalan tubuh terhadap penyakit menular yang bisa menyebabkan catat hingga meninggal.
Untuk imunisasi lanjutan pada saat usia sekolah dasar, imunisasi yang diberikan yaitu imunisasi campak dan DT (difteria tetanus) pada anak kelas 1 sekolah dasar dan imunisasi Td (tetanus difteri) pada anak kelas 2 dan 3 sekolah dasar. Biasanya, kedua imunisasi ini diberikan dalam kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada Agustus dan November.
Cissy mengatakan, imunisasi lanjutan pada anak perlu diberikan karena biasanya kekebalan yang didapatkan setelah imunisasi campak, difteri, dan tetanus yang didapatkan pada saat usia dua tahun akan menurun setelah tiga tahun. Untuk itu, kekebalan ini perlu ditingkatkan lagi dengan pemberian imunisasi lanjutan.
”Dengan mendapatkan imunisasi lanjutan di usia sekolah dasar, kekebalan yang terbentuk bisa bertahan hingga 10 tahun. Apabila tidak terjadi wabah atau kejadian luar biasa, maka tidak perlu lagi mendapatkan tambahan imunisasi,” katanya.
Cissy menilai, cakupan imunisasi lanjutan pada anak usia sekolah dikhawatirkan menurun. Hal ini terjadi karena sebagian besar sekolah tidak lagi aktif menjalankan pembelajaran tatap muka sehingga pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah pun terkendala.
Selain itu, meski sebagian sekolah masih menyelenggarakan imunisasi bagi anak sekolah, tidak sedikit orangtua yang enggan membawa anaknya untuk diimunisasi karena takut terjadi penularan Covid-19. Dengan begitu, modifikasi dalam pemberian imunisasi sangat diperlukan agar anak bisa mendapatkan imunisasi tetapi tetap aman dari Covid-19.
Menurut dia, kekhawatiran orangtua terjadi karena mereka belum percaya pada protokol kesehatan yang dilakukan dalam pelaksanaan imunisasi di sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan. Karena itu, kepercayaan ini perlu dipastikan berjalan dengan baik.
”Orangtua tentu tidak akan ragu membawa anaknya untuk imunisasi apabila ia yakin pelaksanaan imunisasi aman untuk dilakukan. Jadi, membangun kepercayaan orangtua ini menjadi sangat penting selain edukasi serta pengertian yang lebih masif bahwa imunisasi wajib diberikan pada anak,” kata Cissy.
Ia menambahkan, ada tiga skenario yang bisa dilakukan untuk menjamin keamanan dalam pemberian imunisasi anak sekolah. Skenario pertama yaitu membagi jadwal pemberian imunisasi bagi anak di sekolah.
Setidaknya satu hari cukup lima anak yang mendapatkan imunisasi dengan selang waktu minimal satu jam antaranak. Imunisasi pun harus dilakukan di ruang terbuka. Jika jumlah anak kelas satu di sekolah tersebut berjumlah 20 anak, diharapkan imunisasi bisa selesai dalam waktu satu pekan.
Skenario kedua dengan menjadwalkan imunisasi di puskesmas ataupun posyandu yang dekat dengan tempat tinggal anak. Pastikan protokol kesehatan dipatuhi, antara lain menggunakan masker, mengatur jarak, dan melakukan temu janji terlebih dahulu agar tidak ada penumpukan anak yang diimunisasi.
”Sementara skenario ketiga bisa dilakukan dengan cara drive through (atau drive thru). Jadi anak cukup datang dengan menggunakan kendaraan pribadi kemudian diimunisasi dan menunggu sebentar sekitar 30 menit baru bisa pulang,” kata Cissy.
Imunisasi perlu didapatkan oleh seluruh anak di Indonesia agar bisa menciptakan kekebalan komunitas atau herd immunity. Kekebalan komunitas ini baru bisa terbentuk apabila lebih dari 90 persen anak sudah mendapatkan imunisasi.
Berdasarkan hasil survei Unicef Indonesia dengan Kementerian Kesehatan pada Januari-Mei 2020, tingkat cakupan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus, serta campak, dan rubela berkurang lebih dari 35 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penyebabnya, sebagian besar fasilitas pelayanan kesehatan terganggu akibat pandemi. Setidaknya 84 persen fasilitas kesehatan di Indonesia melaporkan layanan imunisasi terganggu, baik di posyandu maupun puskesmas.
Spesialis imunisasi dari Unicef Indonesia, Kenny Peetosutan, mengatakan, survei cepat yang dilakukan pada April 2020 tersebut juga mendapatkan data bahwa 49,3 persen orangtua tidak membawa anaknya untuk imunisasi selama dua bulan terakhir. Sementara, 50,7 persen orangtua lain yang membawa anaknya untuk imunisasi lebih banyak memanfaatkan rumah sakit atau klinik swasta.
Menurut sejumlah orangtua, ujar Kenny, mereka ragu untuk membawa anaknya ke posyandu atau puskesmas karena khawatir akan risiko terjadinya infeksi Covid-19. Selain itu, layanan di puskesmas dan posyandu tidak fleksibel melayani imunisasi anak sementara jumlah pelayanannya terbatas.
”Harus ada layanan khusus dalam pemberian imunisasi. Itu, antara lain, dengan mengadakan imunisasi di akhir pekan, imunisasi melalui kunjungan rumah, ataupun penjadwalan imunisasi yang fleksibel di luar jam kerja dari puskesmas dan posyandu. Untuk itu, petugas kesehatan harus punya data lengkap pada sasaran imunisasi di wilayahnya,” katanya.