Demensia alzheimer bisa dicegah ataupun dihambat perkembangannya dengan gaya hidup sehat sejak muda. Karena itu, stop memaklumi kepikunan ini dengan memiliki pola hidup sehat.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Kepikunan memang bagian dari penuaan. Namun, tidak semua orang tua akan mengalami kepikunan. Gaya hidup sehat sejak muda, stimulasi otak, hingga pikiran positif dan menghindari stres bisa mengurangi risiko pikun.
Pengurangan risiko pikun itu mendesak dilakukan karena berdampak besar baik bagi kesejahteraan warga lanjut usia yang mengalaminya maupun pelaku rawat (caregiver) dan keluarga yang mendampinginya. Kesiapan itu makin penting karena Indonesia mulai tahun ini diprediksi memasuki struktur penduduk menua dengan jumlah warga lansia mencapai lebih dari 10 persen dari total penduduk.
Direktur Regional Asia Pasifik Alzheimer’s Disease International DY Suharya dalam diskusi virtual ”Pandemi, Kesehatan Mental, dan Demensia”, Jumat (4/9/2020), menyebut, ada 1,2 juta orang demensia di Indonesia dengan beban ekonomi untuk berbagai biaya perawatan mencapai 2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 29 triliun per tahun. Jumlah penderita demensia itu diperkirakan mencapai 4 juta orang pada 2050.
Demensia adalah urusan semua orang. Ada satu saja penderita demensia dalam keluarga bisa memorakporandakan kesejahteraan orang satu rumah.
”Demensia adalah urusan semua orang. Ada satu saja penderita demensia dalam keluarga bisa memorakporandakan kesejahteraan orang satu rumah,” katanya.
Dokter spesialis saraf yang juga Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Yuda Turana, mengatakan, kepikunan yang dikenal masyarakat sebenarnya merupakan bagian dari demensia alzheimer.
Demensia merupakan kumpulan gejala gangguan kognitif dan perilaku yang mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan seseorang. Gangguan itu mencakup hilangnya memori, perubahan suasana hati, serta munculnya masalah dalam komunikasi dan penalaran. Gejala itu muncul karena otak mengalami kerusakan akibat penyakit atau kondisi tertentu, seperti penyakit alzheimer.
Sementara alzheimer adalah penyakit fisik yang memengaruhi otak. Seiring waktu, plak protein dan serat yang berbelit berkembang di otak hingga memicu kematian sel otak. Penderita alzheimer juga memiliki kekurangan bahan kimia tertentu yang terlibat dalam pengiriman pesan di otak. Berbagai kondisi itu berkembang progresif alias makin parah seiring waktu.
Gill Livingston dan rekan di jurnal The Lancet Commissions, 30 Juli 2020, menyebut, faktor risiko yang bisa memicu demensia antara lain pendidikan yang rendah dalam arti otak yang jarang distimulasi, hipertensi, trauma pada otak, konsumsi alkohol berlebih, gangguan pendengaran, merokok, obesitas, hingga diabetes. Persoalan depresi, rendahnya aktivitas fisik, isolasi sosial, dan polusi udara juga berperan.
”Rasa kesepian, kesendirian, ataupun perasaan tidak dihargai yang berlangsung kronik atau menahun juga bisa memicu demensia,” tambah Yuda. Dalam sejumlah kasus, persoalan genetik bisa memicu demensia, tetapi sebagian besar pemicu demensia alzheimer adalah masalah pola hidup yang sejatinya bisa dimodifikasi dengan gaya hidup sehat.
Penyakit ini umumnya ditemukan pada warga lanjut usia atau yang berumur lebih dari 60 tahun. Namun, dalam sejumlah kasus, ujar Suharya, penyakit ini bisa muncul dalam usia yang lebih muda. Kasus demensia termuda di Inggris ditemukan pada usia 29-30 tahun, sedangkan di Singapura 50 tahun.
Pandemi
Kemunculan demensia itu, lanjut Yuda, bisa ditandai dari hal-hal kecil, seperti mudah lupa menaruh barang atau lupa sudah makan. Seiring berkembangnya penyakit, dalam 3-4 tahun berikutnya, penderita umumnya mulai curiga berlebihan terhadap orang lain atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Dalam kondisi berat, penderita bisa mengalami delusi atau halusinasi.
Pada masa pandemi ini, tantangan penderita demensia ataupun pelaku rawatnya makin besar. ”Dalam situasi normal saja, mereka sulit, kini mereka harus dihadapkan pada situasi dan kebiasaan baru,” kata Yuda.
Di sisi lain, warga lansia merupakan kelompok yang rentan terpapar Covid-19. Tingkat kematian mereka pun tertinggi dibandingkan kelompok populasi lain. Data sejumlah negara menunjukkan, sebagian warga lansia yang meninggal akibat Covid-19 merupakan penderita demensia. Belum lagi, mereka umumnya juga memiliki penyakit degeneratif penyerta lain sehingga memperburuk kondisinya saat terkena Covid-19.
Pelaku rawat dan keluarga umumnya perlu melakukan sejumlah upaya ekstra untuk membuat warga lansia ataupun penderita demensia mengerti situasi yang sedang terjadi serta tetap menghubungkan mereka dengan rekan sebaya atau anggota keluarga lain. Karena itu, dalam masa adaptasi baru ini, pelaku rawat dianjurkan tetap mendorong penderita demensia melakukan kebiasaan lamanya sehingga tidak mengalami disorientasi.
Meski demikian, upaya tersebut tetap perlu disesuaikan dengan kebiasaan baru yang sesuai protokol kesehatan untuk pencegahan penularan Covid-19. Terlebih saat sejumlah anggota keluarga sudah beraktivitas di luar rumah pada era kenormalan baru ini, risiko menularkan Covid-19 pada warga lansia di rumah semakin besar.
Direktur Eksekutif Alzheimer Indonesia Michael Dirk Roelof Maitimoe mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap penderita demensia di sekitar kita. Demensia bukan sesuatu yang tabu atau hal memalukan karena itu proses yang wajar dalam penuaan.
Yuda menambahkan, keluarga tak perlu menyembunyikan penderita demensia yang ada di rumah. Tetangga ataupun petugas keamanan di kompleks rumah justru perlu tahu bahwa ada penderita demensia di rumah kita. Dengan demikian, jika penderita demensia itu masuk rumah tetangga tanpa izin atau hilang, masyarakat sekitar lebih mudah membantu.
Meski demikian, lanjut Michael, dibutuhkan upaya lebih besar untuk membangun kesadaran semua pihak tentang demensia. Karena demensia merupakan urusan semua orang, kesadaran dan kepedulian itu perlu terus dibangun, tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga oleh anak muda, tenaga kesehatan, petugas keamanan, hingga kepolisian.
Di samping itu, upaya membangun gaya hidup sehat sejak dini perlu terus dikampanyekan, khususnya bagi anak muda. Kondisi kesehatan pada masa tua dibentuk sejak mereka masih muda. Karena itu, investasi kesehatan itu perlu dilakukan sejak jauh sebelum memasuki usia lanjut.
Bintang film Widyawati (70) mengatakan, kebiasaan berolahraga di masa muda dan pekerjaan di dunia seni yang menuntutnya banyak menghafal naskah turut membantunya tetap aktif dan terhindar dari demensia di usia sekarang ini. Kesibukannya di dunia akting itu sempat membuatnya kurang aktif berolahraga. Namun, saat usia 40-an tahun, dia mulai memperbaiki kesalahan itu.
Anak muda perlu tahu dan peduli karena suatu saat nanti mereka juga akan menjadi tua.
”Demensia bukan hanya masalah mereka yang sudah berusia matang. Anak muda perlu tahu dan peduli karena suatu saat nanti mereka juga akan menjadi tua,” katanya.
Karena itu, stop memaklumi kepikunan. Demensia alzheimer ini bisa dicegah ataupun dihambat perkembangannya dengan gaya hidup sehat sejak muda. Kepedulian bersama masyarakat dan pemerintah untuk melawan kepikunan akan bisa mencegah makin banyaknya warga lansia yang pikun hingga membebani ekonomi dan kesejahteraan keluarga dan bangsa.