Hasil penelitian di Islandia menemukan, antibodi Covid-19 bisa bertahan selama empat bulan setelah infeksi. Penelitian-penelitian sebelumnya dari beberapa institusi menemukan antibodi bertahan paling lama 2-3 bulan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
MASSACHUSETTS, KOMPAS — Sebuah studi oleh peneliti di Islandia menemukan bahwa antibodi pasien Covid-19 dapat bertahan hingga empat bulan setelah infeksi. Kendati demikian, pasien sembuh tidak lepas dari ancaman reinfeksi.
Penelitian tersebut dirilis oleh The New England Journal of Medicine, Selasa (1/9/2020), dengan judul ”Hummoral Immune Response to SARS-CoV-2 in Iceland”. Peneliti mengukur antibodi dari sampel darah 30.576 orang di Islandia. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok, yakni yang terkonfirmasi positif Covid-19, yang menjalani isolasi mandiri karena terpapar virus, dan yang tidak diketahui pernah terpapar atau tidak.
Dari 1.215 orang yang positif dan sembuh dari Covid-19, ada 91,1 persen yang membentuk antibodi terhadap virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Antibodi juga terbentuk pada 2,3 persen (dari 4.222 orang) yang menjalani isolasi mandiri dan 0,3 persen (dari 23.452 orang) yang riwayat paparan virusnya tidak diketahui.
”Hasil penelitian mengindikasi bahwa (jumlah) antibodi terhadap SARS-CoV-2 tidak menurun empat bulan setelah diagnosis (Covid-19). Kami memperkirakan risiko kematian karena infeksi (Covid-19) adalah 0,3 persen (di Islandia),” tulis Daniel F Gudbjartsson dan kolega pada studi tersebut.
Sebelumnya, penelitian tentang antibodi terhadap Covid-19 pernah dilakukan pula oleh King’s College London di Inggris. Hasilnya, antibodi hanya bertahan tiga bulan dalam tubuh.
Penelitian yang dipublikasi pada Juli 2020 ini melibatkan lebih dari 90 pasien dan tenaga kesehatan di dua rumah sakit, yaitu Guy’s Hospital dan St Thomas’ Hospital, London. Hasil tes darah menunjukkan bahwa 60 persen partisipan mampu membangun jumlah antibodi yang memadai untuk melawan SARS-CoV-2. Hanya 17 persen partisipan yang jumlah antibodinya tetap setelah tiga bulan.
”Orang-orang menghasilkan antibodi yang memadai untuk merespons virus, tetapi jumlah antibodi itu akan menurun dalam jangka waktu yang pendek,” kata ketua studi di King’s College London, Katie Doores, kepada The Guardian.
Chongqing Medical University di China juga menerbitkan hasil studi tentang antibodi Covid-19. Hasilnya, antbodi bisa bertahan di tubuh 2-3 bulan pascainfeksi Covid-19. Hal ini utamanya berlaku untuk pasien Covid-19 yang tidak bergejala atau asimtomatik.
Di sisi lain, David Ho dan kolega, peneliti dari Fakultas Kedokteran dan Bedah Vagelos, Universitas Columbia, New York, menyatakan telah mengidentifikasi antibodi yang mampu menghambat infeksi SARS-CoV-2 terhadap sel. Mereka menemukan 19 antibodi yang berpotensi mencegah infeksi pada penelitian di laboratorium (in vitro).
Antibodi itu menempel pada berbagai lokasi protein paku SARS-CoV-3, yaitu protein yang mengikat reseptor pada sel inang. Dengan demikian, virus sulit menempel ke sel target ataupun bermutasi (Kompas.id, 25/7/2020).
Kendati ada antibodi, pasien yang sembuh dari Covid-19 tidak bebas dari ancaman reinfeksi. Kasus reinfeksi terjadi beberapa kali di beberapa negara. Pada Agustus 2020, seorang warga Hong Kong terdeteksi Covid-19 setelah pergi ke Eropa. Padahal, pada Maret 2020 ia sembuh dari Covid-19 setelah dirawat selama dua minggu (Kompas.id, 25/8/2020). Kasus infeksi ulang juga ditemukan di Belanda dan Belgia pada Agutsus 2020.
Terapi antibodi
Sejumlah pihak berencana menguji pengobatan Covid-19 dengan terapi antibodi dalam waktu dekat. Perusahaan obat yang berbasis di China, BeiGene Ltd, bekerja sama dengan Singlomics Biopharmaceuticals Co Ltd untuk mengembangkan, memproduksi, dan menjual antibodi anti-Covid-19 untuk luar China.
Untuk itu, mereka akan melakukan studi tahap awal terhadap manusia pada September 2020. Mengutip Reuters, uji coba akan melibatkan 30 orang sehat di Australia. Sementara uji coba untuk pasien Covid-19 ringan hingga sedang direncanakan mulai pada awal Oktober.
Terapi antibodi menggunakan antibodi yang dihasilkan pasien yang terinfeksi Covid-19. Terapi ini berbeda dengan vaksin. Vaksin bertujuan untuk membangun sistem imunitas terhadap suatu penyakit, sementara terapi antibodi untuk mengobati penyakit.