Fitur Pelacakan Pasien Belum Maksimal Dimanfaatkan Warga
Fitur pelacakan riwayat kontak Covid-19 lewat aplikasi ponsel belum banyak digunakan publik. Ada kekhawatiran terkait privasi yang turut menyertai penggunaan fitur tersebut.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran sejumlah fitur teknologi pelacakan riwayat bepergian untuk mencegah persebaran Covid-19 belum cukup dimanfaatkan publik. Ada sejumlah warga yang belum mengerti dan enggan membagikan privasi karena takut disalahgunakan.
Selama enam bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah menyediakan sedikitnya dua aplikasi pelacakan riwayat bepergian dan kontak fisik lewat ponsel. Pertama, aplikasi PeduliLindungi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) serta, kedua, adalah melalui aplikasi JAKI dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Walakin, kedua aplikasi ponsel itu belum banyak digunakan oleh warga di berbagai lokasi.
Rokhidin (41), penyintas Covid-19 di Kelurahan Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara, tidak pernah memanfaatkan fitur pelacakan riwayat kontak sejak dirinya dinyatakan positif pada awal Agustus 2020. Dirinya yang kini dinyatakan sembuh pun belum merasa butuh menggunakan fitur tersebut.
”Ketika hasil tes saya dan keluarga positif hingga akhirnya harus isolasi mandiri di rumah, tidak ada permintaan untuk merunut riwayat bepergian secara spesifik. Sempat ditanya, tetapi seperti sekadar formalitas petugas. Tidak dirunut hari per hari, apalagi sampai menganjurkan untuk instal aplikasi pelacakan riwayat kontak fisik,” tutur Rokhidin saat dihubungi, Jumat (4/9/2020) sore.
Rokhidin khawatir pelacakan riwayat bepergian malah berujung pada penyalahgunaan data. Kalau memang warga harus pakai aplikasi itu, menurut dia, perlu ada sosialisasi yang jelas serta jaminan bahwa data warga aman.
Siti Nurhayati (28), warga Pademangan Barat yang juga mendampingi pasien positif di kalangan keluarga, belum melihat urgensi dari teknologi pelacakan riwayat kontak fisik. Dia sendiri mengetahui ada fitur pelacakan bernama ”Jejak” dalam aplikasi JAKI. Saat mencoba instalasi di ponsel beberapa waktu lalu, dia kebingungan karena ada fitur kode pembaca cepat (QR code) yang mesti digunakan saat tiba di lokasi tertentu.
Siti memilih tidak menginstal aplikasi itu sementara waktu sampai ada instruksi resmi dari pemerintah. ”Sepertinya belum wajib, ya, banyak juga warga di RT dan RW saya yang belum pakai,” ujarnya.
Subeni (43), warga di Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, yang mendampingi penyintas Covid-19 juga tidak tahu adanya pelacakan riwayat kontak lewat aplikasi ponsel. Dia merasa tidak ada sosialisasi fitur tersebut saat tes atau kedatangan petugas dinas.
Kecenderungan serupa ditemukan pada sejumlah warga lain beberapa hari terakhir. Apabila merujuk pada total pengguna aplikasi PeduliLindungi dan JAKI di laman Google Playstore, jumlah pengguna masih terhitung sedikit. PeduliLindungi diinstal oleh sedikitnya 1 juta pengguna ponsel, sementara JAKI sekitar 500.000 pengguna ponsel.
Jumlah pengguna yang masih berada di angka paling tinggi 1 juta masih terbilang sedikit untuk lingkup DKI Jakarta yang kini memiliki sekitar 10 juta penduduk. Artinya, mungkin hanya sekitar 10 persen pengguna atau kurang dari itu, yang memanfaatkan fitur riwayat pelacakan kontak.
Kepala Unit Pengelola Jakarta Smart City (JSC) Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistika DKI Jakarta Yudhistira Nugraha memerinci, total pengguna aplikasi JAKI per 3 September sebanyak 679.694 pengguna. Adapun pengguna aktif fitur Jejak untuk pelacakan riwayat kontak baru 4.301 orang.
Padahal, fitur pelacakan riwayat kontak amat penting sebagai langkah untuk mencegah persebaran Covid-19. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate sebelumnya mengemukakan, aplikasi ini berguna untuk memberi peringatan langsung kepada orang yang bepergian ke wilayah berisiko. ”Misalnya, ada semacam peringatan langsung saat pasien positif keluar dari lokasi isolasinya,” kata Jonny (Kompas, 26/3/2020).
Fitur pelacakan akan mencatat pergerakan orang selama 14 hari ke belakang. Apabila seseorang dinyatakan positif, hasil pelacakan juga akan mencatat perangkat ponsel yang saling berpapasan publik. Pasien yang terdeteksi positif akan diberi peringatan untuk segera menjalankan protokol orang dalam pemantauan (ODP).
Berbeda dengan PeduliLindungi, aplikasi JAKI justru memanfaatkan pemindaian
QR code yang dipasang di setiap lokasi. Yudhistira menuturkan, masih banyak kendali teknis soal pelaksanaan di lapangan. Hal tersebut terutama soal cara mewujudkan kepatuhan warga untuk memindai kode yang ada di lokasi berbeda. ”Jejak masih butuh penyempurnaan dan proses integrasi dengan aplikasi JAKI. Seiring dengan itu, Pemprov DKI Jakarta juga tengah menyusun regulasi terkait pelacakan riwayat kontak yang menyatukan kajian epidemiologi dan teknologi informatika,” tutur Yudhistira.
Terkait itu, Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, mengatakan, teknologi ada untuk mempermudah upaya pelacakan pasien positif Covid-19. Apabila ingin mencapai tujuan itu, semestinya pemerintah mengomunikasikan maksud serupa kepada publik.
Dengan kasus harian Covid-19 di Indonesia yang terus melonjak hingga 3.269 pasien, serta angka rasio positif 13,7 persen per 4 September, Syahrizal menilai butuh upaya ekstra untuk menekan penularan. ”Teknologi lewat ponsel semestinya turut memudahkan upaya pelacakan itu,” ujarnya.