Warga senior juga harus bugar hingga mereka dapat beraktivitas fisik dan melakukan fungsinya tanpa tergantung pada orang lain. Tak ada kata terlambat untuk memulainya.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Kompas
Ilustrasi: Peserta yang rata-rata telah berusia lanjut bersemangat mengikuti senam osteoporosis yang diasuh Perwatusi dan Perosi di depan pintu II dan IV, Gelora Senayan, Jakarta, Kamis (30/8). Apabila dilakukan teratur, olahraga yang tepat dapat membantu meningkatkan tingkat kepadatan tulang.
JAKARTA, KOMPAS — Untuk menjadikan warga lanjut usia aktif, mandiri, dan produktif, sehat saja tidak cukup. Warga senior juga harus bugar sehingga mereka dapat beraktivitas fisik dan melakukan fungsinya tanpa tergantung kepada orang lain.
Bugar bisa didapat dengan berolahraga secara teratur dan aktif bergerak. Meski lanjut usia (lansia), aktif bergerak justru makin diperlukan untuk menghambat pelemahan dan gangguan keseimbangan tubuh, mengendalikan penyakit degeneratif dan osteoporosis, serta mengurangi depresi. Olahraga pada lansia juga bisa meningkatkan kemampuan bekerja di rumah, mengingat, dan kualitas tidur.
”Bugar hanya bisa dilakukan dengan olahraga guna memperkuat otot. Tidak ada obat-obatan atau zat gizi yang bisa mengembangkan otot,” kata dokter spesialis kedokteran olahraga, Daniel Nugroho Wattimury, dalam lokakarya virtual Pendampingan Perawatan Jangka Panjang bagi Lansia, Rabu (2/9/2020).
Lansia umumnya enggan berolahraga karena khawatir jatuh, punya keropos tulang, memiliki penyakit degeneratif, dan merasa terlalu banyak bergerak justru membahayakan mereka. Padahal, semakin mereka tidak bergerak, justru akan memicu banyak masalah kesehatan lain, termasuk memperparah penyakit yang dideritanya.
Olahraga yang cocok dilakukan lansia tentu bukan tenis atau sepak bola. Jalan, taichi, senam lansia, atau melakukan sejumlah gerakan secara terstruktur bisa jadi pilihan olahraga lansia. Meski demikian, olahraga dan aktivitas fisik yang dilakukan itu harus memenuhi unsur kardiovaskuler, kekuatan, kelenturan atau fleksibilitas, serta keseimbangan.
Lansia yang memiliki penyakit kronis juga tetap harus berolahraga. Namun untuk penyakit jantung, perlu pengaturan olahraga yang sesuai anjuran dokter. Saat ini, jenis olahraga sudah bisa disesuaikan dengan jenis penyakit yang diidap lansia.
Tidak ada kata terlambat untuk berolahraga. (Daniel Nugroho Wattimury)
”Tidak ada kata terlambat untuk berolahraga,” kata Daniel. Lansia yang berumur 90 tahun dan sebelumnya kurang aktif pun bisa memulai untuk berolahraga. Sejumlah studi menunjukkan olahraga di usia tersebut masih bisa meningkatkan kekuatan otot dan menurunkan risiko kesehatan.
Malanutrisi
Selain kurang aktivitas fisik, lansia umumnya juga mengalami malanutrisi. Masalah ini menurut dokter spesialis gizi klinik Pande Putu Agus bisa memicu sarkopenia atau hilangya massa dan kekuatan otot. Sarkopenia tidak bisa dicegah, tapi bisa dihambat. Kondisi yang bisa dialami lansia sehat ataupun sakit ini bisa memicu penurunan aktivitas fisik, mobilitas, kecepatan berjalan, ataupun daya tahan fisik.
”Malanutrisi dan sarkopenia bisa memicu munculnya frailty,” katanya.
Frailty atau kerapuhan sering digambarkan sebagai sindrom klinis yang muncul akibat proses penuaan, fisik yang tidak aktif, turunnya berat badan, nutrisi buruk, penyakit penyerta, dan lingkungan yang kurang sehat.
Frailty ini membuat lansia menjadi bergantung kepada orang lain, termasuk saat melakukan fungsi sehari-hari, seperti pergi ke kamar mandi.
Malanutrisi pada lansia itu umumnya dipicu oleh berkurangnya asupan nutrisi mereka. Kondisi itu bisa disebabkan oleh adanya penyakit, depresi, konsumsi obat-obatan yang menurunkan nafsu makan, demensia, disfagia (sulit menelan), disgeusia (penurunan daya kecap), disfungsi organ tubuh, serta diare yang memicu gangguan penyerapan makanan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh perempuan berusia lanjut menambang pasir di Sungai Grawah, Desa Gubug, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (13/7/2020). Mereka mendapat upah Rp 20.000 per hari jika material sisa erupsi Gunung Merapi yang mereka kumpulkan tersebut laku terjual. Penjualan pasir dengan harga sekitar Rp 500.000 per bak truk itu saat ini lesu karena pandemi.
Karena itu, lanjut Pande, nutrisi lansia perlu menjadi perhatian, termasuk air. ”Jangan beri lansia makanan yang mereka tidak suka,” katanya.
Selain pemilihan bahan pangan bergizi, pengolahan dan penyajian makanan untuk lansia perlu diperhatikan. Makanan sebaiknya disajikan dalam potongan kecil agar mereka tak langsung kenyang hanya dengan melihatnya dan mempermudah mereka mengunyah. Pola pemberian makan perlu diatur jadi lebih sering tapi dalam porsi sedikit akibat turunya kemampuan serap makanan mereka.
Upaya menjaga lansia tetap sehat dan aktif hingga bisa produktif itu perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat akibat makin besarnya jumlah lansia. Tahun lalu, Indonesia memiliki 25,66 juta lansia atau 9,6 persen penduduk. Tahun ini, jumlah lansia secara nasional diprediksi telah mencapai lebih dari 10 persen dari penduduk hingga menempatkan Indonesia sebagai masyarakat yang menua.
Persoalannya, tidak semua lansia tersebut sehat. ”Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan 3,7 persen lansia mengalami ketergantungan sedang hingga total hingga butuh perawatan jangka panjang,” kata Guru Besar Geriatri yang juga Rektor Universitas Respati Indonesia Tri Budi W Rahardjo. Selain itu, ada 1,2 juta lansia mengalami demensia yang juga memerlukan perawatan panjang.
Perawatan jangka panjang lansia itu jadi persoalan yang menantang di Indonesia karena sebagian besar lansia dirawat dalam keluarga, baik oleh anak, cucu, saudara atau ipar, pasangan, hingga menantu. Hanya 2,9 persen lansia yang dirawat oleh orang lain. Mereka umumnya tak memiliki keterampilan dalam merawat lansia karena dilakukan hanya sebagai kewajiban dan penghormatan.
Di masa depan, situasi itu diyakini akan berubah. Seiring makin menuanya masyarakat, jumlah penduduk usia produktif yang merawat lansia akan semakin berkurang. Karena itu, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Keluarga dan Kelanjutusiaan (Ce-FAS), Universitas Respati Indonesia, Sudibyo Alimoeso mengingatkan pentingnya menjaga lansia Indonesia untuk tidak hanya sehat dan aktif, namun juga mandiri dan produktif.
”Jika satu lansia ditopang oleh 13 orang pekerja pada 2010, maka pada 2035 satu lansia hanya akan ditopang oleh 6,4 pekerja,” katanya.
Di samping itu, struktur keluarga Indonesia juga mengarah menjadi keluarga kecil, yaitu hanya keluarga inti dengan jumlah anak yang makin sedikit. Karena itu, lansia di masa depan tidak bisa lagi bergantung pada anak cucu mereka, baik untuk mendapat perawatan maupun penghidupan ekonomi. Karena itu, lansia yang aktif, mandiri, dan produktif itu harus disiapkan sejak dini, jauh sebelum mereka menjadi lansia.