Menjaga Pertahanan Benteng Terakhir
Situasi pandemi Covid-19 selama enam bulan sejak kasus pertama ditemukan tak kunjung reda. Laju penularan terus melonjak, bahkan terus mencatatkan rekor tertinggi.
Penambahan kasus baru terkait Covid-19 di Indonesia terus melonjak. Rekor kasus baru yang tercatat pada 29 Agustus 2020 mencapai 3.308 kasus dari 21.166 orang yang diperiksa dengan tes usap. Artinya, rasio kasus positif (positivity rate) mencapai 15,63 persen.
Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas maksimal rasio kasus positif 5 persen. Kasus positif Covid-19 yang terus bertambah ini menimbulkan kekhawatiran pada peningkatan keterisian tempat tidur isolasi di rumah sakit rujukan Covid-19, terutama pada daerah dengan jumlah fasilitas dan tenaga kesehatan yang terbatas.
Berdasarkan data nasional per 25 Agustus 2020, tingkat keterisian tempat tidur untuk pasien rawat inap Covid-19 yang dirawat di rumah sakit (RS) sebesar 49,63 persen. Adapun tempat tidur isolasi yang tersedia kini berjumlah 33.688 tempat tidur yang tersebar di 838 RS rujukan pasien Covid-19.
Baca juga: Penanganan Covid-19 Belum Optimal
Rinciannya, kapasitas tempat tidur isolasi yang tersedia di Indonesia meliputi antara lain 11.315 tempat tidur dengan tekanan negatif tanpa ventilator, 1.019 tempat tidur unit perawatan intensif (ICU) tanpa ventilator, 1.152 tempat tidur tekanan negatif dengan ventilator, dan 1.345 tempat tidur ICU dengan ventilator.
Merujuk pada data nasional, kapasitas tempat tidur yang tersedia masih mencukupi. Namun, jika melihat lebih rinci, rasio kecukupan tempat tidur di sejumlah daerah lebih dari 50 persen. Bahkan, penggunaan tempat tidur isolasi untuk pasien Covid-19 di Provinsi Papua hampir mencapai 100 persen. Dari 500 tempat tidur yang tersedia, 453 tempat tidur di antaranya sudah terpakai.
Kewaspadaan ini juga perlu menjadi perhatian di daerah lain, terutama daerah dengan laju insidensi atau penambahan kasus baru Covid-19 yang tinggi. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 23 Agustus 2020 mencatat, laju insidensi kasus tertinggi terjadi di DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Gorontalo, Kalimantan Selatan, dan Bali.
Tingginya laju insidensi ini seiring dengan keterisian jumlah tempat tidur yang tersedia. Tingkat keterisian tempat tidur isolasi dan ICU di DKI Jakarta mencapai 62,94 persen, Kalimantan Timur mencapai 53,45 persen, Gorontalo 12,46 persen, Kalimantan Selatan 66,24 persen, dan Bali sebanyak 65,51 persen.
Baca juga Masih Santai di Saat Kurva Belum Melandai
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi mengatakan, peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit, terus dilakukan. Selain RS yang dirujuk untuk menangani kasus Covid-19, ada 2.938 rumah sakit yang diminta untuk melayani pasien Covid-19. Pada awal pandemi Maret 2020, hanya ada 100 RS rujukan yang ditunjuk untuk menangani kasus ini.
Sejumlah rumah sakit darurat dan rumah sakit lapangan juga telah disiapkan untuk menangani pasien Covid-19 dengan gejala ringan dan sedang. Itu meliputi antara lain RS Darurat Wisma Atlet di Jakarta, RS Darurat Pulau Galang di Kepulauan Riau, RS Lapangan Surabaya, RS Lapangan Ambon, dan RS Lapangan Nusa Tenggara Timur.
Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo menyampaikan, RS juga terus berupaya meningkatkan kesiapan menangani pasien Covid-19. Meski begitu, jika jumlah kasus bertambah serta kondisi pasien yang ditangani sudah dalam kondisi berat, kapasitas pelayanan kesehatan tidak akan mencukupi.
”Sebanyak apa pun jumlah tempat tidur yang ditambah kalau jumlah pasien terus meningkat, rumah sakit tetap akan kewalahan. Risiko terburuk, pasien bisa tidak tertangani secara optimal jika jumlah kasus yang dirawat terlalu banyak,” ungkapnya.
Baca juga: Tenaga Kesehatan Rawan Tertular dari Pasien Asimtomatik
Dampak lebih lanjut, bias penanganan pada pasien yang tiba di rumah sakit rentan terjadi. Ketika jumlah pasien yang datang tidak terkendali, prioritas penanganan pasien sulit dilakukan. Pasien dengan kondisi berat pun berisiko tidak segera ditangani karena kapasitas pelayanan kesehatan sudah penuh.
Karena itu, Wibowo mengatakan, upaya pencegahan penularan yang lebih agresif sangat diperlukan. Meski sebagian besar kasus Covid-19 terjadi pada orang tanpa gejala, risiko penularan pada masyarakat dengan komorbid atau penyakit penyerta bisa berbahaya. Hal ini perlu diwaspadai karena jumlah penduduk Indonesia dengan komorbid cukup tinggi.
Kondisi pasien dengan komorbid yang tertular Covid-19 sangat berisiko mengalami perburukan, bahkan kematian. Berdasarkan pendataan yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 999 kasus meninggal, 344 kasus di antaranya memiliki penyakit penyerta berupa pneumonia. Selain itu, penyakit lain yang banyak diderita pada pasien yang meninggal antara lain, hipertensi, diabetes, jantung, dan ginjal.
Sebanyak apa pun jumlah tempat tidur yang ditambah kalau jumlah pasien terus meningkat, rumah sakit tetap akan kewalahan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Rita Rogayah mengklaim, skenario terburuk untuk mengantisipasi lonjakan kasus sudah disiapkan. Komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk menambah kapasitas sarana prasarana di RS telah dilakukan.
Peningkatan kapasitas ini terutama pada wilayah dengan jumlah kasus tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Jumlah tenaga kesehatan juga ditingkatkan melalui relawan dan implementasi program Nusantara Sehat. Setidaknya ada 13.918 orang yang sudah ditempatkan untuk menanganani kasus Covid-19.
Hal lain yang perlu diperbaiki yakni pendataan laporan pasien. Pendataan kini menjadi kunci untuk menangani pandemi ini secara terstruktur dan terencana. Data yang tidak dilaporkan dengan baik dapat menyebabkan intervensi yang dilakukan tidak tepat.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyatakan, laporan pendataan dari seluruh RS belum berjalan baik. Pada awal pandemi berlangsung, laporan yang diterima ke Gugus Tugas, sebelum berganti menjadi Satuan Tugas, hanya berasal dari 150 RS dari sekitar 2.900 RS di Indonesia.
Pendataan yang tidak terekam dengan baik ini menimbulkan persoalan dalam pelaporan data pasien dan diperbaiki secara bertahap. ”Dari hanya 150 rumah sakit sekarang sudah ada sekitar 1.800 rumah sakit di seluruh Indonesia yang melaporkan. Pencatatannya pun lebih baik,” tuturnya.
Banyaknya hal yang harus dibenahi dapat menggambarkan bahwa Indonesia belum siap menghadapi pandemi. Tidak hanya Indonesia, sebagian besar negara lain juga tergagap dengan pandemi yang sudah mengakibatkan lebih dari 844.000 orang meninggal dunia dan 25 juta orang terinfeksi.
Meski begitu, kita tidak bisa hanya berjalan di tempat. Gerak cepat harus dilakukan. Kekurangan yang ada perlu segera diketahui agar bisa diselesaikan bersama. Jika terus ditutupi, pandemi ini sulit diselesaikan dalam waktu dekat.
Tenaga kesehatan
Pandemi yang tidak kunjung usai dengan kasus penularan yang terus melonjak juga berdampak pada kondisi tenaga kesehatan. Apabila jumlah pasien semakin banyak, waktu kerja dari tenaga kesehatan pun kian panjang. Itu terjadi karena kuantitas tenaga kesehatan di Indonesia terbatas. Untuk jumlah dokter, misalnya, masih menumpuk di kota besar.
Pada Januari 2019, rasio dokter di Indonesia mencapai 50,2 per 100.000 penduduk. Jumlah ini melampaui target WHO sekitar 40 dokter untuk 100.000 penduduk. Namun, ada 17 provinsi yang rasionya masih di bawah target WHO, antara lain Sulawesi Barat dengan rasio 11,2 : 100.000, disusul Nusa Tenggara Timur 17 : 100.000, dan Maluku 20 : 100.000. Kesenjangan ini tampak jika dibandingkan dengan rasio dokter di DKI Jakarta sebanyak 180 : 100.000 dan Sulawesi Utara 110 : 100.000 penduduk.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M Faqih menyampaikan, beban kerja yang meningkat bisa menyebabkan kelelahan pada dokter dan tenaga kesehatan lain. Kondisi ini bisa berdampak buruk pada kesehatan tenaga kesehatan itu sendiri sehingga rentan tertular berbagai penyakit, termasuk Covid-19.
Setidaknya, PD IDI mencatat hingga akhir Agustus 2020 ada lebih dari 100 dokter meninggal akibat Covid-19. Kematian tertinggi terjadi di daerah yang banyak ditemukan kasus penularan. Selain itu, sembilan dokter gigi dan 68 perawat menjadi korban jiwa.
”Strategi untuk melokalisasi kasus harus lebih gencar. Jangan sampai yang sakit menularkan kepada orang lain yang memilki penyakit penyerta. Penemuan kasus dengan testing (pemeriksaan) dan tracing (pelacakan) mutlak ditingkatkan. Ini juga diiringi dengan isolasi kasus yang diawasi secara ketat,” kata Daeng.
Pengendalian pandemi Covid-19 tidak akan efektif jika upaya penanganan di aspek hulu tidak berjalan optimal. Upaya pencegahan seharusnya menjadi fokus penanganan yang diutamakan. Jika protokol kesehatan dipatuhi serta angka penularan bisa ditekan, penanganan pasien di rumah sakit bisa terkendali.
Daeng berpendapat, gerak bersama dari seluruh elemen masyarakat, termasuk organisasi massa, organisasi kepemudaan, dan organisasi profesi, sangat diperlukan sehingga penerapan protokol kesehatan bisa kian digelorakan. Perubahan perilaku untuk mencegah penularan Covid-19 perlu lebih intensif.
Keberadaan vaksin dan obat tidak akan menyelesaikan masalah pandemi ini secara tuntas. Dampak penurunan ekonomi tetap akan terjadi jika masalah kesehatan tidak terselesaikan. Berbagai aktivitas ekonomi yang mulai berjalan justru memperburuk penularan kasus jika protokol kesehatan masih lemah.
Fokus penanganan Covid-19 perlu lebih diutamakan pada aspek hulu, yakni pencegahan dan edukasi. Selain itu, upaya pelacakan dan pemeriksaan harus digencarkan, khususnya daerah yang jumlah pemeriksaanya masih kurang. Dari data Kementerian Kesehatan pada 27 Agustus 2020, provinsi dengan jumlah pemeriksaan minim antara lain, Provinsi Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat.
Semua cara itu diperlukan untuk menyelematkan benteng terakhir dalam ”perang” melawan virus korona jenis baru ini. Rumah sakit, dokter, perawat, serta tenaga kesehatan lainnya merupakan garda paling belakang dalam pengendalian pandemi. Jangan ada lagi korban jiwa yang berjatuhan.