Menghadapi Pandemi yang Berlarut-larut
Tekanan sosial ekonomi membuat masyarakat dan pemerintah melonggarkan pengendalian Covid-19. Namun, pelonggaran ini menyebabkan pandemi yang mestinya bisa selesai lebih cepat justru berlarut-larut.
Enam bulan terakhir menjadi waktu yang berat karena nyaris tiap hari kita mendengar tetangga, kenalan, atau kerabat yang tertular meninggal karena Covid-19. Namun, yang terburuk masih bisa terjadi karena kita masih di tengah pandemi yang belum jelas bagaimana mengakhirinya.
Sejak kasus pertama Covid-19 dideteksi di Indonesia pada awal Maret 2020 lalu, penularannya semakin cepat dan jumlah korban membesar. Butuh waktu hampir tiga bulan dari dua kasus pertama menjadi 50.000 kasus. Namun, untuk berlipat jadi 100.000 kasus hanya butuh satu bulan, dan menjadi 150.000 kasus dalam 25 hari.
Tingginya penularan juga terlihat dengan tren meningkatnya rasio kasus positif (positivity rate) Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru. Dalam sepekan terakhir, rasio positif 14,8 persen, jauh di atas ambang aman 5 persen yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, pada Minggu (30/8/2020) dari 11.317 orang yang diperiksa, 2.858 di antaranya positif sehingga rasionya 25 persen atau ada 1 dari empat orang yang positif.
Sebagaimana dikatakan epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, pemeriksaan ibarat jaring, ikannya adalah SARS-CoV-2—virus pemicu Covid-19—dan masyarakat sebagai lautannya. Makin besar jaring, peluang mendapat ikan kian tinggi. ”Tetapi, kalau dengan jaring kecil dan melemparnya asal-asalan dapat banyak ikan, artinya di laut banyak ikan. Virusnya di mana-mana,” tuturnya.
Sesuai standar WHO, kita harusnya memeriksa paling sedikit 1 orang per 1.000 peduduk per minggu. Ini berarti, jumlah orang yang diperiksa minimal 267.700 orang per minggu atau 38.000 per hari. Padahal, dari periode 24-30 Agustus 2020, jumlah orang yang diperiksa hanya 125.434, bahkan pada 17-23 Agustus lalu hanya 95.463 orang diperiksa. Jumlah ini belum separuh dari syarat minimal.
Bandingkan misalnya dengan India yang memeriksa 1 juta orang per hari dan rata-rata 4,34 tes per 1000 penduduk per minggu. Filipina juga sudah bisa melakukan 2 tes per 1000 penduduk per minggu, Malaysia, Thailand, dan Singapura lebih baik lagi. Menurut pemeringkatan di worldometers.info, jumlah tes per 1 juta populasi Indonesia berada di urutan ke-161 dari 215 negara.
Tak hanya kecil, sebaran pemeriksaan juga timpang. Sebanyak 47 persen pemeriksaan dilakukan di Jakarta, yang hanya memiliki 4 persen populasi Indonesia.
Masalah lain, surveilans untuk menemukan kasus sangat lemah. Sebanyak 62 persen kasus baru di Jakarta diidentifikasi setelah pasien sakit dan ke rumah sakit, 34 persen dari penelusuan kontak, dan hanya 4 persen dari upaya aktif mencari kasus baru.
Dengan minimnya jumlah tes dan lemahnya surveilans, jumlah kasus dan kematian Covid-19 di Indonesia serupa fenomena puncak gunung es. Banyak orang meninggal sebelum sempat diperiksa.
Data Rumah Sakit Online menyebutkan, total orang yang meninggal di seluruh jaringan rumah sakit Indonesia, dengan status terduga ataupun positif Covid-19 mencapai 21.241 orang pada Sabtu (29/8/2020). Jumlah ini tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan yang meninggal dengan status positif yang diumumkan.
Kelemahan mendasar
Pemeriksaan berbasis polymerase chain reaction atau PCR yang standar emas deteksi Covid-19 menjadi kelemahan mendasar sejak awal penanganan pandemi di Indonesia. Hilangnya kesempatan deteksi dini wabah pada Januari hingga Februari 2020, terutama disebabkan kegagalan pemeriksaan, yang saat itu dimonopoli Litbang Kementerian Kesehatan.
Hingga kini, kita masih terengah dengan pemeriksaan karena laju penularan melebihi kecepatan upaya menyiapkan laboratorium dan peralatan, penambahan tenaga, sistem kerja, dan pelaporannya. Tak hanya persoalan teknis, minimnya tes di Indonesia diperumit dengan tarikan kepentingan ekonomi-politik.
Tes cepat berbasis antibodi yang telanjur diimpor dipaksakan menjadi alat diagnosis, mulai dari syarat perjalanan hingga masuk kerja. Selain memperlambat penemuan kasus, merugikan masyarakat, hal ini juga kerap menimbulkan persoalan sosial karena hasilnya bisa positif atau negatif palsu.
Di sisi lain, banyak daerah diduga menekan pemeriksaan karena kepentingan politik menjelang pemilihan kepala daerah. ”Ada banyak dokter di daerah yang melaporkan ini, karena beranggapan kalau minim kasusnya sebagai prestasi,” kata Ketua Terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi.
Dengan adanya sistem zonasi sebagai syarat pembukaan aktivitas ekonomi hingga pendidikan, banyak daerah berlomba menjadi hijau, terutama petahana yang hendak kembali maju dalam pemilihan kepala daerah. Mereka kemudian memilih jalan pintas menjadikan daerahnya hijau dengan meminimalkan tes. Tanpa pemeriksaan, tanpa kasus.
Tiadanya indikator kecukupan pemeriksaan, sistem zonasi ini telah menjadi jebakan rasa aman palsu. Ketua Dewan Pakar sekaligus Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito dan Tim Pakar Satgas Peanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah mengakui kelemahan ini dan berencana menambahkan indikator kecukupan tes dalam penentuan zona.
Evaluasi kebijakan
Dengan tren saat ini, penambahan kasus di Indonesia dikhawatirkan terus membesar. Belajar dari kegagalan Amerika Serikat hingga Italia, cara terbaik melawan Covid-19 adalah pencegahan. Sekuat apa pun sistem kesehatan bisa babak belur jika laju penularan tidak dikendalikan karena Covid-19 merupakan virus yang sangat menular.
Kita mungkin bisa menambah ruang tempat tidur dan ruang isolasi, seperti dilakukan Jakarta, Surabaya, dan sejumlah kota lain. Namun, bagaimana dengan ketersediaan tenaga kesehatan?
Data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunjukkan, hingga akhir Agustus 2020, dokter yang meninggal di Indonesia karena Covid-19 mencapai 102 orang, dokter gigi 9 orang, dan perawat 68 orang dengan rasio kematian dibandingkan masyarakat biasa mencapai 2,4 persen. Padahal, di Amerika Serikat saja rasio tenaga kesehatan yang meninggal 0,37 persen. ”Kami sudah kelelahan dan kewalahan. Jika wabah terus membesar, akan sangat berat,” ujar Adib.
Kehilangan tenaga kesehatan ini merupakan pukulan besar mengingat jumlahnya terbatas. Data Bank Dunia (2020-2017) menunjukkan, jumlah dokter di Indonesia merupakan yang terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu hanya 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Kehilangan 100 dokter berarti mengurangi layanan kesehatan kepada 250.000 penduduk.
Secara statistik, penanganan pandemi ini tidak menggembirakan. Padahal, mereka yang meninggal bukan hanya angka-angka, melainkan memiliki kisah dan relasi sosial. Namun, dengan kondisi ini, publik dibingungkan dengan rencana pembukaan bioskop, sekolah, dan pemberian diskon kegiatan wisata.
Masalah yang kita hadapi saat ini memang tak melulu soal kesehatan. Kegagalan menekan penularan wabah sejak awal membuat kita kini menghadapi ancaman krisis ekonomi. Dengan pertumbuhan di kuartal kedua yang melorot minus 5,32 persen secara tahunan, bayangan resesi semakin jelas.
Situasi ini yang menjadi salah satu alasan digantinya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menjadi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020.
Alasan pembentukan komite itu adalah memberi keseimbangan dalam penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi. Istilah yang kerap digunakan Presiden Joko Widodo adalah gas dan rem. Rem untuk penanganan sektor kesehatan, sedangkan gas untuk mendorong kembali pergerakan ekonomi.
Sekalipun demikian, porsi anggaran ternyata berat sebelah ke ekonomi. Anggaran untuk pemulihan ekonomi mencapai Rp 297 triliun, di luar anggaran untuk perlindungan sosial dan belanja sektoral kementerian lembaga dan pemerintah daerah, sementara penanganan wabah Rp 87,5 triliun. Itu pun hingga pertengahan Agustus, serapan anggaran kesehatan baru 13,8 persen.
Angka-angka ini menguatkan kekhawatiran publik bahwa sejak semula pemerintah belum fokus mengendalikan wabah. Padahal, jelas bahwa sumber masalah multidimensi saat ini adalah krisis kesehatan. Tanpa bisa mengatasi aspek kesehatannya, ekonomi tidak akan pernah bisa dipulihkan.
Dengan penambahan kasus dan kematian yang meningkat, kini saatnya pemerintah menginjak rem. Itu berarti, kita tidak hanya bisa menyandarkan harapan pada ketersediaan vaksin atau obat-obatan.
Seperti diingatkan WHO, tidak akan pernah ada ”peluru perak” untuk SARS-CoV-2. ”Uji coba fase tiga yang sedang berlangsung tidak selalu berarti bahwa vaksin siap mengakhiri pandemi,” kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kesehatan Darurat WHO.
Dengan masih belum ditemukannya vaksin dan obat-obatan Covid-19, upaya terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah memperkuat pengendalian wabah melalui deteksi, isolasi, dan perawatan. Selain itu, pembatasan sosial harus diperketat dan masyarakat mesti mengubah perilaku kesehatannya.
Presiden Joko Widodo sebenarnya masih memiliki modal kuat untuk melewati krisis ini karena masih tingginya dukungan publik. Survei Litbang Kompas pada Agustus 2020 menunjukkan, kepuasaan publik terhadap kinerja pemerintah masih bertahan di 58,9 persen dan 41,6 persen optimis bisa melalui krisis.
Mereka yang optimis kebanyakan adalah kelas menengah bawah dengan pendidikan lebih rendah, dan merupakan pemilih Joko Widodo dalam pemilu lalu. Sebaliknya kalangan atas, termasuk pengusaha, mulai cenderung pesimistis.
Virus ini tidak akan memilih orang optimis ataupun pesimis. Bahkan, mereka yang ”terpaksa” optimis karena harus kembali bekerja di luar rumah bisa lebih berisiko terpapar. Rumus yang pasti, wabah akan membesar seiring tingginya mobilias orang yang tidak menaati protokol kesehatan.