Cerita Para Penyintas Covid-19
Meski sudah sembuh, para penyintas Covid-19 di Indonesia masih terus harus berjuang, dari belajar hidup bersama sindrom long Covid hingga melawan stigma negatif Covid-19.
Perjuangan untuk merengkuh kembali kehidupan sosial yang normal harus dilakukan keluarga wirausaha Simon Nainggolan (50) hampir lima bulan setelah hasil usap (swab) dinyatakan negatif Covid-19 pada awal April 2020.
Sejumlah teman dan kerabat masih menolak untuk bertemu. Padahal, besar harapan Simon bertemu kembali dengan mereka, apalagi setelah ibu mertuanya yang juga tinggal bersama mereka telah meninggal karena Covid-19 pada Maret 2020.
”Saya tentu merasa sedih, seperti dikucilkan dan dijauhi, padahal sudah sembuh,” ungkap Simon saat menceritakan pengalamannya di Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
Ia menyayangkan stigma terhadap penyintas Covid-19 masih ada setelah setengah tahun Covid-19 melanda Indonesia. Simon berpendapat, stigma yang membuat Covid-19 seakan-akan sebuah aib ini jelas membuat orang menjadi enggan untuk memeriksakan dirinya, terlebih lagi untuk berterus terang jika dinyatakan positif.
Padahal, di saat ia baru mengalami demam dan bahkan hasil usap belum keluar, Simon secara terbuka langsung memberitahukan kepada keluarga dan sejumlah kawan bahwa dirinya memiliki gejala yang mirip Covid-19.
Saya tentu merasa sedih, seperti dikucilkan dan dijauhi, padahal sudah sembuh. (Simon Nainggolan)
Hal itu dilakukan Simon sebagai bentuk peringatan dini bagi orang-orang yang dikasihinya untuk segera memeriksakan diri dan segera mendapat penanganan apabila benar tertular.
”Saya berharap mereka yang sudah merasakan gejala demam dan batuk, misalnya, lebih baik langsung mengisolasi diri dan memeriksakan diri. Tindakan itu bisa menyelamatkan orang-orang terdekat anda dari risiko tertular Covid-19,” kisahnya.
Di masa yang berat ini, Simon merasa sungguh dihargai ketika salah seorang sahabatnya mengajak untuk makan malam bersama di hari hasil usapnya menunjukkan hasil negatif, sebagai perayaan kesembuhan. ”Saya sungguh salut. Begitu saya dinyatakan negatif, saya diajak makan malam dalam satu meja yang sama,” kata Simon.
Baca juga : Penyintas Covid-19 Mengalami Stigma
Beban stigma sebagai penyintas Covid-19 juga harus dialami oleh Muhammad Adnan (59), Kepala Markas Palang Merah Indonesia (PMI) Jakarta Selatan. Ketika ia masih dalam suasana berkabung atas meninggalnya istrinya, Wenny Febrianti (54), yang meninggal juga akibat Covid-19, para tetangga bersikap berlebihan dalam menyikapi status Adnan dan anaknya yang positif Covid-19.
Adnan dan anaknya terkadang dianggap sebagai sumber bahaya yang begitu besar sehingga sejumlah tetangga yang berbatasan langsung dengan rumahnya juga diminta warga untuk mengisolasikan diri. Seorang tetangga yang sehat pun dijauhi karena dituduh positif Covid-19.
”Orang yang kena (Covid-19) jangan semakin ’dihukum’. Kalau orang itu tidak mau mengisolasi dirinya, barulah ditegur. (Warga) Tidak perlu ditakut-takuti,” kata Adnan.
Menurut Adnan, seharusnya di masa yang sulit semacam ini solidaritas harus semakin diperkuat untuk memberikan dukungan kepada warga yang terkena Covid-19. Dukungan tanpa henti yang diberikan oleh para sahabatnya dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi melalui grup Whatsapp dan video call, kata Adnan, membuatnya tetap dapat bersikap positif di tengah situasi ini.
Perhatikan tenaga kesehatan
Stigma yang diberikan masyarakat juga menjadi beban yang harus ditanggung juga oleh para tenaga kesehatan penyintas Covid-19. Kepala Instalasi Gawat Darurat RS Daha Husada, Kediri, Tri Maharani (48) menyampaikan bahwa rumahnya dijaga polisi dan keluarganya tidak boleh keluar dari rumah.
Baca juga : Tenaga Kesehatan Berisiko Terinfeksi Korona dan Stigma
Dari komunikasinya dengan sejumlah dokter di seluruh Indonesia, ia juga mendengar berbagai kejadian serupa; ada yang jalan menuju rumah seorang dokter ditutup hingga perawat yang diusir dari tempat tinggalnya.
Padahal, ketakutan terhadap stigma ini secara tidak langsung yang menyebabkan fatalitas terus bertambah, menurut Maha. ”Covid-19 ini memang realitas yang harus diterima, tetapi yang ditakuti itu seharusnya adalah virusnya, bukan orangnya. Stigma ini yang membuat para pasien takut berterus terang ketika diperiksa,” kata Maha, panggilan akrabnya, ketika dihubungi awal pekan lalu.
Di sisi lain, meskipun lebih dari dua bulan dinyatakan negatif, kondisi fisik Maha juga belum pulih sepenuhnya. ”Ketika saya presentasi, misalnya, napas tidak sepanjang dulu. Saya sering batuk-batuk dan badan terasa linu semua. Jadi efeknya penyakit ini masih ada,” katanya.
Baca juga : Tanggung Stigma Covid-19, Tenaga Kesehatan Dihantui Risiko Gangguan Jiwa
Secara khusus, Maha meminta perhatian khusus kepada tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan pasien Covid-19. Ia berharap, dengan risiko paparan virus yang tinggi, tenaga kesehatan bisa mendapat tes usap secara rutin.
Covid-19 ini memang realitas yang harus diterima, tetapi yang ditakuti itu seharusnya adalah virusnya, bukan orangnya. Stigma ini yang membuat para pasien takut berterus terang ketika diperiksa. (Tri Maharani)
Berkaca pada pengalamannya sendiri, Maha menilai, jika uji usap dapat dilakukan tanpa harus menunggu dua kali tes cepat antibodi berselang 14 hari, maka akan lebih banyak tenaga kesehatan yang dapat diselamatkan.
”Selain itu, tenaga kesehatan itu load virusnya tinggi. Kalau tenaga kesehatan bisa dipastikan aman, masyarakat yang datang ke rumah sakit akan aman juga,” ujarnya.
Padahal, menurut Maha, tes yang kemudian diikuti dengan tracing dan juga penanganan yang sedini mungkin adalah kunci untuk mengendalikan penyakit ini. Menggantungkan harapan sepenuhnya pada vaksin, menurut dia, bukan langkah yang bijak mengingat pengembangan vaksin yang bisa membutuhkan waktu lebih lama dari yang diharapkan.
”Kita harus kembali ke fitrahnya, yakni preventif dan promotif. Screening dini dan perawatan dini,” kata Maha.
Ia kini berharap bahwa baik penanganan Covid-19 maupun sikap masyarakat di Indonesia dapat menjadi lebih baik sebelum tenaga kesehatan semakin banyak yang berguguran terkena penyakit menular ini. Berdasarkan catatannya, hingga Rabu (26/8/2020) sudah ada 92 dokter yang meninggal akibat Covid-19.
”Saya yakin, kalau kita perbaiki tata cara penanganan dan edukasi serta beri semangat ke masyarakat, kurang dari satu tahun kita bisa mengeradikasi penyakit Covid-19,” katanya.
Sindrom
Sudah lebih dari 100 hari sejak hasil tes usapnya menunjukkan hasil negatif dan diperbolehkan pulang dari RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Jakarta. Namun, hasil usap negatif tidak serta-merta berarti kesehatan yang kembali bagi Juno (36). Hingga kini, ia masih mengalami berbagai persoalan kesehatan dan belum pulih seratus persen, ungkapnya.
Di tengah-tengah melakukan pekerjaan dari rumah, karyawan swasta asal Jakarta itu mengungkapkan, ia mengalami sejumlah keluhan yang terus berlanjut setelah bebas dari Covid-19, seperti rasa lemas dan kelelahan yang berlebih. Ia juga sering merasakan nyeri di dada, jantung berdebar, lengan dan tangan yang terasa nyeri menusuk, hingga telinga berdengung.
Bahkan, ia juga mengalami kesusahan berpikir dan mengingat atau dikenal dengan istilah brain fog. Kesulitan untuk kembali beraktivitas penuh bahkan membuatnya memutuskan untuk diobservasi selama seminggu oleh dokter spesialis jantung, paru-paru, dan internis setelah pulang dari RS Wisma Atlet.
Juno sudah setengah pasrah ketika para dokter menyebut ia sekadar mengalami gejala psikosomatis. Bahkan, ada yang menganggapnya depresi akibat dirawat dan diisolasi. Namun, ia tetap mencari penjelasan mengenai berbagai gejala yang ia terus alami.
”Saya sungguh merasa sendirian karena orang-orang terdekat saya terkadang susah memahami apa yang saya alami,” kata Juno saat dihubungi pada Jumat (28/8/2020).
Ia pun berusaha mencari teman dari komunitas penyintas Covid-19 di seluruh dunia, berharap mendapat dukungan sekaligus jawaban. Dari salah satu forum pasien yang berbasis di Inggris, ia ternyata menemukan banyak orang yang juga mengalami keluhan yang sama. Dari situlah Juno merasa ada sedikit kejelasan dan kelegaan bahwa ternyata ia tidak sendiri.
”Di forum ini, orang yang memiliki keluhan yang sama bisa saling support sehingga kita enggak merasa sendirian. Itu yang paling penting bagi saya,” ujarnya. Istilah long Covid syndrome akhirnya menjadi nama yang dipilih untuk merujuk kondisi yang mereka alami.
Pertemanan Juno dan kawan-kawan sesama penderita long Covid dari seluruh dunia itu pun membukakan jalan untuk bertemu langsung secara virtual dengan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Jumat (21/8/2020) pekan lalu.
Dalam pertemuan itu, Juno sebagai satu-satunya perwakilan Indonesia bersama penderita LCS dari India, Singapura, Hong Kong, hingga Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa menyampaikan pengalaman masing-masing mengenai dampak jangka panjang Covid-19 kepada petinggi WHO tersebut. Ada tiga hal yang diinginkan dari para penderita long Covid, pengakuan (recognition); rehabilitasi (rehabilitation), dan penelitian (research).
Menanggapi permintaan itu, Tedros menyanggupi akan menerima permintaan para penderita long Covid syndrome ini. Ia juga mengakui bahwa usia penyakit yang baru dikenal selama delapan bulan ini menunjukkan belum ada pemahaman yang baik mengenai dampak jangka panjangnya.
Sejumlah penelitian memang menunjukkan adanya fenomena long Covid ini. Sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS pada akhir Juli menemukan 35 persen penderita Covid-19 yang sembuh akan mengalami ini. Sebuah studi di Italia menunjukkan 87,4 persen dari pasien tetap merasakan kelelahan kronis dan sesak napas setelah sembuh dari Covid-19.
”Jadi, ada kemungkinan cukup besar mereka yang sembuh, tetapi berubah jadi long Covid seperti saya begini,” kata Juno.
Kini, Juno telah membuat grup Facebook yang ditujukan menjadi wadah warga Indonesia yang masih merasakan efek buruk Covid-19 meski sudah negatif seperti dirinya.
Baca juga : Asimtomatik Covid-19 Bukan Berarti Tidak Terjadi Kerusakan Tubuh
Juno berharap masyarakat Indonesia dapat mengambil pelajaran dari apa yang ia alami saat ini sebagai penderita long Covid. Meski ia berhasil sembuh, kondisi kesehatannya belum benar-benar pulih. Dan, dapat berpengaruh ke berbagai aspek kehidupan lainnya, misalnya kehilangan penghasilan karena sulit bekerja dengan produktif.
”Apa yang saya rasakan saat ini sudah menurunkan kualitas hidup saya. Bagi yang belum kena, janganlah sampai lalai, jangan sampai kena. Kalau kena dan berlanjut long Covid, kita belum tahu berakhirnya dan ujungnya apa,” tuturnya.