Revisi Aturan Pengendalian Produk Tembakau Perlu Segera Disahkan
Revisi aturan pelaksanaan pengendalian produk tembakau perlu segera disahkan. Hal itu disebabkan aturan yang ada belum mampu menekan angka perokok dan dampak buruk rokok bagi kesehatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta segera mengesahkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 yang mengatur tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Hal itu disebabkan regulasi yang ada belum mengacu pada praktik terbaik dalam pengendalian produk tembakau.
Selain telah diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2018, pengesahan revisi peraturan pemerintah (PP) tersebut akan menjadi momentum dalam meningkatkan kesehatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Tubagus Haryo Karbiyanto, menjelaskan, PP No 109/2012 perlu direvisi karena belum mengacu pada praktik terbaik dalam pengendalian tembakau. Dari sisi sosiologis, PP tersebut juga dinilai sudah tidak efektif untuk diberlakukan, terutama pada aspek pengawasan dan sanksi.
”Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun ini, PP 109 termasuk item yang akan direvisi. Seharusnya PP 109 menjadi sandaran utama (pengendalian produk tembakau), tetapi aturan ini secara filosofis, sosiologis, dan yuridis sudah tidak memadai,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Senin (31/8/2020).
Komnas Pengendalian Tembakau merekomendasikan enam substansi yang harus diperkuat dalam revisi PP No 109/2012. Substansi itu meliputi, antara lain, penguatan kawasan tanpa rokok di sejumlah daerah, termasuk rokok elektronik, pelarangan iklan atau promosi di media, dan perluasan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 90 persen pada kemasan produk tembakau.
”Saat ini Indonesia termasuk dalam negara dengan peringatan kesehatan bergambar yang paling kecil luasannya. Bahkan, kita kalah dari Timor Leste dan seluruh dunia juga sudah ada yang mencapai 85 persen. Inilah yang bisa menjadi acuan revisi,” tuturnya.
Selain itu, substansi lain yang direkomendasikan adalah larangan penggunaan bahan tembakau berupa perisa pada produk tembakau, penguatan terkait pengawasan dan penegakan hukum, serta penyebutan rokok elektronik dalam revisi PP tetapi pengaturannya didelegasikan melalui peraturan menteri kesehatan.
Seharusnya PP 109 menjadi sandaran utama (pengendalian produk tembakau), tetapi aturan ini secara filosofis, sosiologis, dan yuridis sudah tidak memadai.
Tubagus mengatakan, pemerintah harus menegaskan keberpihakannya terhadap upaya pengendalian tembakau atau industri tembakau. Sebab, keduanya memiliki tujuan sangat bertentangan. Tujuan pertama, mengendalikan konsumsi produk tembakau karena berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan. Di sisi lain, industri tembakau selalu bertujuan meningkatkan produk tembakau.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo menyampaikan, kanker tidak bisa diturunkan hanya dengan pengadaan fasilitas atau obat-obatan terbaru. Namun, kanker dapat diturunkan dengan cara prevensi dan deteksi dini. Akan tetapi, pada praktiknya, upaya prevensi melalui peraturan yang ada saat ini belum dapat menurunkan jumlah perokok sebagai salah satu penyebab kanker.
”Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penguatan aturan pengendalian konsumsi rokok. Kebiasaan merokok akan kontraproduktif terhadap upaya mengedukasi masyarakat dan menurunkan angka penderita kanker,” tuturnya.
Pengurus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Feni Fitriani Taufik, mengatakan, orang yang merokok akan lebih berisiko terkena Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru. Ketika sudah terinfeksi virus tersebut, pasien perokok ini juga akan mengalami kondisi yang lebih sulit dibandingkan dengan pasien lain seperti gagal napas.
”Pada momen ini kami meminta pemerintah juga memperkuat regulasi pengendalian konsumsi rokok melalui revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. Ini harus dilakukan segera karena masalah kronik akibat rokok saja belum selesai, apalagi ditambah adanya Covid-19,” ungkapnya.
Presiden Green Crescent Indonesia Era Catur Prasetya menambahkan, revisi PP No 109/2012 tidak bisa ditawar lagi jika Indonesia ingin menurunkan prevalensi perokok anak hingga 0,4 persen pada 2024. Kebijakan pengaturan iklan rokok, larangan penjualan eceran, hingga pengaturan harga terbukti berhasil mengendalikan konsumsi tembakau di sejumlah negara.
”Di puskesmas-puskemas ada upaya agar warga berhenti merokok. Akan tetapi, ketersediaan obat-obatan untuk membantu menghentikan rokok sama sekali tidak ada. Kami berharap, dengan revisi ini, masyarakat dan generasi penerus bangsa lebih terlindungi dari efek merugikan konsumsi rokok,” tambahnya.