Pengembangan Vaksin yang Terburu-buru dapat Memperburuk Pandemi
Harapan yang begitu besar terhadap kehadiran vaksin yang dapat membuat kehidupan masyarakat normal kembali telah memunculkan tekanan ekonomi dan politik. Namun, pengembangannya tetap tidak bisa dengan buru-buru.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harapan warga begitu besar pada kehadiran vaksin penyembuh Covid-19. Hal ini didasari keinginan untuk memulihkan kehidupan warga terutama karena tekanan ekonomi. Meski demikian, sejumlah pakar mengingatkan bahwa kelak vaksin yang disiapkan itu harus efektif menyembuhkan penyakit.
Jika vaksin Covid-19 tidak berdampak terhadap proses penyembuhan, sebagian kalangan khawatir bakal memperumit penanganan pandemi. Beberapa negara saat ini bersaing untuk mempercepat proses pengembangan vaksin Covid-19. Pemerintah Inggris sedang menyiapkan perubahan regulasi yang memungkinkan Badan Pengawas Obat dan Produk Kesehatan Inggris menyetujui penggunaan vaksin sebelum akhir 2020.
Sementara Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga telah menyampaikan bahwa vaksin akan dibagikan kepada warga sebelum Pemilu AS pada 3 November 2020. Di Tanah Air, Presiden Joko Widodo berharap vaksin Sinovac yang sedang menjalani uji klinis fase ketiga di Bandung dapat segera diproduksi pada Januari 2021.
Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada April lalu telah merekomendasikan angka 30-50 persen sebagai target efikasi vaksin yang dikembangkan berbagai perusahaan dan perguruan tinggi di seluruh dunia. Jika uji klinis menunjukkan data efikasi yang lebih rendah, sebaiknya kandidat vaksin tersebut tidak digunakan.
Karena itu, akhir pekan lalu, sekelompok pakar vaksin yang tergabung dalam WHO Solidarity Vaccines Trial Expert Group memberikan pernyataan melalui jurnal kedokteran terkemuka The Lancet untuk mengingatkan seluruh pemangku kepentingan untuk tidak terburu-buru dalam mengembangkan vaksin dan tetap memenuhi target efikasi yang telah direkomendasikan WHO.
Salah satu pakar, Philip Krause, memahami bahwa saat ini ada tekanan politik dan ekonomi untuk mempercepat proses introduksi vaksin ke warga. Namun, ia meyakini, proses yang terburu-buru dapat berujung pada penggunaan vaksin di masyarakat tidak memiliki efikasi yang cukup, misalnya vaksin itu hanya dapat menangkal 10-20 persen penularan Covid-19.
”Efikasi yang rendah ini bisa diakibatkan oleh proses uji klinis yang kurang sempurna,” tulis Krause, yang juga merupakan Deputi Direktur Divisi Pengawasan Produk Vaksin di BPOM AS (FDA).
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko mengatakan, efikasi vaksin yang kurang dari 50 persen tidak akan dapat menciptakan kekebalan komunitas atau herd immunity yang diharapkan muncul dari program imunisasi masyarakat.
”Kalau efikasi cuma 50 persen, yang diimunisasi 100 persen populasi masyarakat Indonesia pun artinya hanya setengahnya yang imun. Nah itu pasti tidak bisa memunculkan herd immunity,” kata Miko saat dihubungi pada Senin (31/8/2020).
Miko meyakini, seluruh vaksin yang kini sudah sampai uji klinis fase ketiga seharusnya memiliki efikasi di atas 50 persen apabila melihat hasil uji klinis fase pertama dan kedua.
Penggunaan vaksin yang efektivitasnya rendah ini bahkan dapat memperparah kondisi pandemi Covid-19. Pertama, jika pemerintah ataupun otoritas lainnya memercayai bahwa vaksin lemah tersebut dapat mengurangi risiko tertular Covid-19 secara signfikan, penerapan protokol kesehatan di masyarakat dapat berkurang. Kedua, masyarakat yang merasa sudah diimunisasi kemudian juga dapat merasa sudah kebal sehingga meninggalkan protokol kesehatan.
”Untuk itu, hingga vaksin benar-benar terbukti memiliki efikasi yang tinggi, masyarakat harus tetap patuh dengan protokol kesehatan dan menjaga jarak,” kata Miko.
Selain itu, secara terpisah, pakar epidemiologi University of Oxford Inggris Sir Richard Peto mengatakan, penerapan vaksin yang lemah ini juga akan mempersulit pengembangan vaksin selanjutnya yang mungkin lebih efektif dalam membangun kekebalan tubuh di masyarakat.
Karena vaksin yang lemah ini sudah beredar luas di masyarakat, vaksin yang lebih baru membutuhkan jumlah partisipan uji klinis yang lebih besar dan di lebih banyak lokasi. Penambahan jumlah sampel ini membuat uji klinis membutuhkan waktu lebih lama. Pada akhirnya, masyarakat tidak segera mendapat vaksin yang lebih efektif ini.
”Kita memang membutuhkan vaksin saat ini. Tetapi, kita butuh bukti yang kuat bahwa efikasinya memadai,” kata Peto kepada Guardian.
Selain berkontribusi dalam uji klinis fase ketiga untuk vaksin ciptaan Sinovac China, Indonesia juga mengembangkan vaksin sendiri yang disebut dengan vaksin merah putih. Vaksin yang dikembangkan oleh Lembaga Biologi Molekukar Eijkman tersebut diharapkan dapat selesai dan sampai ke industri pada Februari-Maret 2021.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga Jumat (28/8/2020), ada tujuh kandidat vaksin Covid-19 lainnya yang juga sudah mencapai fase terakhir uji klinis, yakni fase tiga. Dalam direktorat daftar uji klinis dinyatakan bahwa uji klinis fase tiga hampir seluruh vaksin tersebut direncanakan selesai pada 2022, kecuali Sinovac yang menyatakan uji klinis fase ketiganya rampung pada Oktober 2021.
Pada pertengahan Agustus lalu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amien Soebandrio mengatakan, progres pengembangan sudah mencapai 40 persen sebelum dapat masuk ke fase uji preklinik, yakni uji coba ke hewan (Kompas, 12 Agustus 2020).