Perempuan dan anak perempuan menanggung dampak pandemi Covid-19 lebih besar dibandingkan pria. Hal itu disebabkan kemampuan ekonomi dan layanan kontrasepsi yang terbatas.
Oleh
M ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Meski risiko tertular Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru pada laki-laki dan perempuan sama, perempuan dan anak perempuan menanggung dampak pandemi lebih besar dibandingkan pria. Memburuknya ekonomi, keterbatasan layanan kesehatan, hingga pembatasan sosial yang memaksa beraktivitas di rumah memberi beban lebih besar pada perempuan.
Selama pandemi, layanan kesehatan menjadi terbatas. Situasi itu berdampak besar bagi perempuan yang membutuhkan layanan kesehatan reproduksi jauh lebih intensif daripada laki-laki. Berkurangnya layanan itu membuat kesehatan dan keselamatan perempuan makin terancam, meningkatkan risiko kematian ibu, hingga menjebak mereka dalam kemiskinan.
Padahal, kebutuhan perempuan untuk mendapat layanan kesehatan reproduksi, mulai dari hamil, bersalin, nifas, menyusui, hingga layanan kontrasepsi, terus ada, tidak bisa dihentikan meski terjadi pandemi.
Dosen Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran Jakarta yang juga anggota jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Nur Rofiah, dalam webinar peringatan Hari Kependudukan Sedunia yang diselenggarakan Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Indonesia, Selasa (25/8/2020), mengingatkan pentingnya mengintegrasikan pengalaman perempuan dalam kemaslahatan agama dan kebijakan negara.
Secara biologis, organ reproduksi perempuan lebih banyak dan fungsinya lebih kompleks. Berfungsinya organ reproduksi perempuan itu bisa menimbulkan rasa sakit yang panjang, mulai dari hitungan minggu hingga tahunan. Mereka mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, hingga menyusui yang tidak dialami oleh laki-laki.
Namun, kondisi kodrati perempuan itu justru membuat mereka sering mengalami stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, ketidakadilan jender, hingga pemberian beban ganda. Pandemi membuat persoalan sosial yang dihadapi perempuan makin besar, termasuk dalam mendapatkan hak kesehatan reproduksi mereka.
Kehamilan tidak diinginkan
Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Eni Gustina mengatakan, layanan kontrasepsi selama April-Juni 2020 mengalami penurunan sekitar 10 persen dibandingkan Januari-Maret 2020. Situasi itu diprediksi akan memicu 420.000 kehamilan tak diinginkan pada tahun depan.
Kaum ibu takut pergi ke fasilitas kesehatan, baik untuk mendapat layanan KB maupun pemeriksaan kehamilan, karena khawatir tertular Covid-19. Fasilitas kesehatan pun terbatas karena sebagian dialihkan khusus untuk penanganan Covid-19 atau hanya menerima pasien dengan kondisi darurat. Di sisi lain, tenaga kesehatan membatasi layanan di awal masa pandemi karena keterbatasan alat pelindung diri.
Akses layanan kesehatan reproduksi yang terbatas itulah yang memicu lonjakan kasus kehamilan tak diinginkan. Kondisi itu akan berdampak panjang, mulai dari peningkatan kematian ibu dan bayi, abortus tidak aman, komplikasi selama kehamilan dan persalinan, tengkes pada anak balita, hingga gangguan tumbuh kembang anak.
”Perempuan dan anak perempuan termasuk kelompok rentan (akibat pandemi),” kata Eni. Situasi itu makin buruk karena banyak perempuan dan anak perempuan bergantung pada laki-laki di sekitarnya, baik suami, ayah, maupun anaknya, dalam mengambil keputusan terkait kesehatan reproduksi mereka.
Perempuan dan anak perempuan termasuk kelompok rentan (akibat pandemi).
Meski pandemi Covid-19 memberi tantangan besar dalam layanan kesehatan, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati berharap kaum ibu tidak takut dan khawatir berlebihan terhadap Covid-19 hingga kurang memperhatikan kesehatan kandungannya.
Munculnya risiko kehamilan dan persalinan bisa menimbulkan bahaya bagi ibu dan janin yang dikandungnya. ”Penting bagi ibu hamil untuk mengenali fasilitas kesehatan di sekitarnya, apakah mampu melayani kegawatdaruratan selama kehamilan dan persalinan atau tidak,” katanya.
Namun, keterbatasan layanan kesehatan reproduksi itu tak hanya dihadapi perempuan dewasa atau ibu hamil semata. Anak-anak perempuan juga menghadapi situasi sulit. Pandemi yang diikuti ekonomi yang memburuk dikhawatirkan meningkatkan kasus kekerasan seksual, kekerasan berbasis jender, dan pernikahan anak.
Hingga kini, survei dan laporan sejumlah lembaga menunjukkan lonjakan pelaporan kasus kekerasan pada perempuan selama pandemi. Namun, kasus nyata kekerasan yang terjadi dipastikan jauh lebih besar dibandingkan yang dilaporkan. Bukan hanya situasi sosial budaya di sekitarnya yang membuat kekerasan tersebut sulit dilaporkan, melainkan juga sistem pelaporannya pun terhambat.
Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indra Gunawan mengatakan, sistem pelaporan kekerasan perempuan dan anak ikut terhambat selama pandemi akibat pembatasan sosial yang berlangsung di sejumlah daerah ataupun penerapan jaga jarak sebagai protokol kesehatan selama masa pandemi. Namun, pelayanan di sejumlah daerah sudah bisa berpindah ke sistem daring.
Situasi global
Berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dan anak perempuan selama pandemi itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Spesialis program UNFPA Indonesia, Ima Aryanti, mengatakan, jika pembatasan sosial ataupun karantina wilayah berlangsung enam bulan saja, diperkirakan akan ada 47 juta perempuan yang tidak bisa mengakses layanan kontrasepsi modern dan 7 juta kehamilan tak diinginkan di 114 negara berpendapatan menengah dan miskin.
Khusus di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, kasus kehamilan tak diinginkan selama enam bulan pembatasan sosial itu diperkirakan akan mencapai 14,4 juta-20,7 juta kehamilan. Sementara kematian ibu akan bertambah 103.000-173.000 jiwa pada periode yang sama. Padahal, kematian ibu di Asia Pasifik pada 2020 diperkirakan hanya mencapai 66.000 jiwa.
”Lockdown (karantina wilayah) meningkatkan kematian ibu hingga 2-3 kali lipat,” katanya.
Selain itu, pembatasan wilayah juga membuat 31 juta perempuan akan mengalami kekerasan berbasis jender. Sementara itu, terganggunya upaya pencegahan sunat perempuan dan pernikahan anak selama pandemi ini diprediksi akan memunculkan 2 juta kasus sunat perempuan dan 13 juta perkawinan anak dalam satu dekade ke depan.
Menghadapi situasi yang menantang itu, Perwakilan UNFPA Indonesia Anjali Sen mengatakan, perlu melibatkan tokoh dan organisasi agama untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan perempuan. Upaya itu juga penting dilakukan karena makin banyak warga masyarakat menggunakan pendapat tokoh agama sebagai prefrensi mereka.
”Tokoh agama dan organisasi keagamaan memiliki andil besar dalam menyelamatkan hidup perempuan,” katanya.
Tokoh agama dan organisasi keagamaan bisa memberi pesan positif kepada masyarakat untuk lebih peduli dan berempati dengan persoalan-persoalan yang dihadapai perempuan dan anak perempuan di sekitarnya. Cara itu diharapkan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan secara nyata karena kondisi mereka sangat menentukan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.