Dukungan Komunitas Berperan Penting bagi Pasien Kanker
Keberadaan komunitas yang saling menyemangati dan membagi info berperan penting bagi perawatan pasien kanker. Ini untuk menjaga agar pasien terus mengikuti terapi hingga tuntas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perawatan yang harus dijalani oleh pasien kanker tidak mudah. Selain berdampak pada kondisi fisik, pasien yang sedang dalam perawatan juga mengalami dampak psikis cukup berat. Untuk itu, dukungan orang terdekat serta komunitas sangat dibutuhkan.
Koordinator Kanker Paru Cancer Information and Support Center (CISC) yang juga penyintas kanker paru, Megawati Tanto, mengatakan, komunitas sesama pasien kanker berperan penting untuk mendukung keberhasilan perawatan. Adanya semangat sama rasa antarpasien dapat memicu seseorang terus melanjutkan terapi.
”Harus menjalani berkali-kali terapi dengan kondisi fisik yang semakin menurun cukup membuat saya terpuruk. Namun, keberadaan komunitas pendukung membuat saya merasa tidak sendirian. Kami bisa saling berbagi serta saling memberikan semangat dan harapan bahwa kita pasti bisa melewati saat sulit ini,” tuturnya di Jakarta, Rabu (26/8/2020).
Selain itu, komunitas pendukung juga membantu pasien kanker untuk mendapatkan informasi yang benar seputar perawatan kanker. Berita menyesatkan atau hoaks yang banyak ditemui di media sosial sering membuat pasien kanker salah mengambil pilihan dalam pengobatan. Padahal, jika tidak segera ditangani, dapat memperburuk kondisi pasien.
Wakil Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Sita Laksmi Andarini mengatakan, pasien kanker cenderung banyak yang ditangani sudah dalam stadium lanjut. Selain karena deteksi yang terlambat, keengganan pasien untuk langsung datang ke rumah sakit menjadi penyebabnya.
Untuk pasien kanker paru yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, misalnya, lebih dari 85 persen sudah dalam kondisi stadium lanjut. Akibatnya, perawatan yang diberikan menjadi lebih sulit dan butuh biaya besar. Tingkat kesembuhan pun semakin kecil.
”Karena itu, deteksi dini menjadi sangat penting. Jika pasien kanker ditemukan pada stadium awal, potensi kesembuhan tinggi, bahkan benar-benar bisa sembuh dari kanker. Deteksi dini bisa dilakukan melalui pemeriksaan rutin, terutama pada kelompok rentan,” kata Sita.
Perokok berisiko
Ia menyebutkan, seseorang yang rentan mengalami kanker paru adalah orang dengan usia lebih dari 40 tahun dengan kebiasaan merokok. Selain perokok aktif, perokok pasif pun rentan terhadap kanker paru.
Perokok aktif berisiko 13,6 kali mendapatkan kanker paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Sementara perokok pasif empat kali lipat lebih berisiko terkena kanker paru dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap rokok.
Sekretaris Umum PDPI Erlang Samoedro menyampaikan, prevalensi kanker paru di Indonesia seiring dengan prevalensi perokok yang juga tinggi. Data Globocan 2018 menunjukkan terdapat 348.809 kasus kanker paru di Indonesia dengan angka kematian 207.210 jiwa. Kanker paru merupakan jenis kanker terbanyak pertama yang dialami oleh laki-laki dan terbanyak kelima yang dialami oleh perempuan.
”Kalau mau menurunkan prevalensi kanker paru, jumlah perokok juga harus bisa turun. Rokok menjadi faktor risiko terbesar penyebab kanker paru. Pencegahan harus diutamakan karena deteksi kanker paru cukup sulit, yakni harus dengan pemeriksaan laboratorium,” katanya.
Pandemi Covid-19
Sita mengatakan, pandemi Covid-19 juga berdampak pada layanan bagi pasien kanker paru. Sejumlah pasien sempat mengalami henti obat karena kesulitan mengakses layanan kesehatan di rumah sakit. Ini terutama pada pasien yang tinggal di luar kota.
Untuk itu, ia mengimbau, pasien harus tetap mendapatkan terapi obat sesuai dengan jadwal. Konsultasi sementara bisa dilakukan secara daring sehingga tidak perlu tatap muka langsung dengan dokter di rumah sakit. Pemberian obat pun bisa dilakukan dengan jangka waktu lebih panjang bergantung pada kondisi pasien.
”Terapi obat jangan sampai terputus. Selalu konsultasi dengan dokter. Jika perlu, minta kontak dokter yang merawat agar konsultasi lebih mudah dilakukan. Terapi obat yang terhenti dapat memperburuk kondisi pasien,” tutur Sita.