Pasien Positif Covid-19 yang Sembuh Dapat Kembali Terinfeksi
Penelusuran genom virus korona dari seorang warga Hong Kong menjadi bukti bahwa ia terinfeksi kembali setelah lima bulan. Masyarakat yang sudah sembuh diharapkan tetap mempraktikkan jaga jarak dan protokol kesehatan.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
HONG KONG, SELASA — Orang yang pulih dari infeksi Covid-19 belum tentu akan memiliki kekebalan sepanjang hayat terhadap virus penyebabnya, SARS-CoV-2. Meski demikian, diduga gejala yang muncul tidak akan separah ketika terpapar untuk pertama kali.
Karakteristik Covid-19 ini terbukti setelah seorang warga Hong Kong berusia 33 tahun terdeteksi terinfeksi Covid-19 di Bandar Udara Hong Kong setelah bepergian dari Eropa pada pertengahan Agustus 2020. Padahal, lima bulan sebelumnya, pada Maret, ia sembuh dari Covid-19 setelah dirawat di rumah sakit selama dua minggu.
Peneliti dari University of Hong Kong (HKU) kemudian memetakan genom—seluruh rangkaian kode genetika—dan membandingkan dua sampel virus yang diambil pada Agustus dan infeksi pertama pada Maret.
Para peneliti membuktikan bahwa virus SARS-CoV-2 yang menginfeksi kedua kalinya adalah strain virus yang berbeda dari virus yang menginfeksinya pada Maret lalu. Ditemukan ada 24 titik perbedaan pada rangkaian genom virus tersebut.
”Tim peneliti kami menunjukkan bahwa sekuens genom dari infeksi yang pertama jelas berbeda dibandingkan dengan virus yang menginfeksi di gelombang kedua,” tulis keterangan resmi dari Kwok-Yung Yuen, Kelvin Kai-Wang To, dan Ivan Fan-Ngai Hung, para profesor kedokteran dari HKU yang melakukan penelitian ini pada Senin (24/8/2020) seperti yang dilaporkan MIT Technology Review.
Dilaporkan bahwa laki-laki Hong Kong tersebut tidak memiliki gejala apa pun dan bahkan tidak merasa sakit meski sampel tesnya positif mengandung SARS-CoV-2.
Selama ini sebetulnya sudah lama muncul dugaan adanya reinfeksi pada Covid-19, tetapi belum ada bukti yang solid. Beberapa waktu lalu, sejumlah orang di Jepang mendapati hasil tesnya kembali positif setelah berminggu-minggu. Namun, pada saat itu, dokter menyimpulkan bahwa hasil tersebut akibat kesalahan tes atau infeksi yang berkepanjangan.
Para peneliti meminta masyarakat tidak panik. Namun, mereka mengingatkan bahwa tidak seharusnya beranggapan bahwa sekali terkena Covid-19 akan selamanya kebal. ”Pasien yang sudah sembuh harus tetap melakukan praktik menjaga jarak dan protokol kesehatan untuk menghindari tertular lagi,” kata Kelvin To.
”Herd immunity” tidak akan terbentuk
Dengan temuan ini, para peneliti meyakini kekebalan komunitas atau herd immunity tidak akan terbentuk secara alami. Herd immunity alami adalah konsep epidemiologi yang merujuk fenomena apabila sebagian besar populasi sudah kebal terhadap suatu penyakit, individu yang belum pernah terpapar akan terlindungi juga dan menghentikan transmisi sebuah penyakit menular.
Tim peneliti kami menunjukkan bahwa sekuens genom dari infeksi yang pertama jelas berbeda dibandingkan dengan virus yang menginfeksi di gelombang kedua.
Mengapa para peneliti meyakini reinfeksi akan menghilangkan peluang terjadinya herd immunity alami? Hal ini karena konsep ini berpegang pada asumsi bahwa individu yang sudah pulih dari penyakit tidak akan tertular lagi. Apabila individu yang sudah pulih ini dapat tertular, pada prinsipnya, tidak akan ada kekebalan.
”Temuan ini membuktikan bahwa sebagian pasien tidak akan memiliki kekebalan sepanjang hayat. Herd immunity juga diyakini tidak akan dapat menghentikan SARS-CoV-2. Lalu, vaksin tidak akan dapat memberikan kekebalan sepanjang hayat pula,” tutur Kelvin To.
Imunolog Oregon Health and Science University, Mark Slifka, menilai, temuan ini justru kabar baik. Hal ini menunjukkan bahwa, meski terinfeksi virus untuk kedua kali, si individu terbukti tidak menderita sakit Covid-19.
Virolog dari Columbia University, Angela Rasmussen, bahkan tidak setuju dengan kesimpulan yang diambil para peneliti dari HKU tersebut.
”Saya tidak setuju bahwa temuan ini mengimplikasikan bahwa vaksin dan kekebalan tidak bertahan lama. Saya menduga bahwa ini adalah kasus khusus di mana pasien tidak berhasil membangun kekebalan yang memadai ketika terkena infeksi untuk pertama kali,” kata Rasmussen dalam wawancaranya dengan majalah dan jurnal ilmiah Science.
Mengenai temuan ini, epidemiolog Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Maria van Kerkhove, memperingatkan masyarakat untuk tidak mengambil kesimpulan secara dini.
”Kita perlu melihat fenomena ini pada tingkat populasi. Hingga saat ini, jumlah kasus Covid-19 sudah melebihi 24 juta dan setiap infeksi bisa jadi adalah sebuah kejadian langka. Selalu ada pengecualian yang tidak lumrah,” kata Van Kerkhove.