Publik Lebih Khawatir Covid-19 pada Orang Lain daripada Diri Sendiri
Penelitian terbaru menyatakan bahwa tingkat altruisme masyarakat saat pandemi Covid-19 cukup tinggi. Publik lebih mengkhawatirkan keselamatan keluarga dan orang lain dibandingkan diri sendiri.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian masyarakat lebih khawatir pada keselamatan keluarga dan orang lain dari wabah Covid-19 dibandingkan diri sendiri. Kekhawatiran perlu diatasi agar tidak mengganggu kesehatan jiwa.
Penelitian ini dilakukan oleh Lifespan Brain Intitute (LiBI) dari Children’s Hospital of Philadelphia (CHOP) dan Perelman School of Medicine di University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Hasil penelitian dirilis di Translational Psychiatry, Kamis (20/8/2020). Survei itu mengukur tingkat stres dan ketahanan terhadap stres selama pandemi.
Ada 3.042 warga AS dan Israel berusia 18-79 tahun yang diteliti pada 6-15 April 2020. Mayoritas responden tinggal di area dengan aturan pembatasan sosial (stay at home) saat survei berlangsung. Adapun 20 persen responden merupakan tenaga kesehatan.
Hasil penelitian menyatakan sebagian besar responden khawatir ada keluarga yang tertular virus korona baru atau SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 (48,5 persen). Responden juga khawatir jika tanpa sadar menularkan penyakit ke orang lain (36 persen). Dua hal itu melebihi kekhawatiran bahwa diri sendiri berpotensi tertular (19,9 persen).
Penelitian yang sama menunjukkan tingkat kecemasan responden sebesar 22,2 persen dan depresi 16,1 persen. Tidak ada perbedaan tingkat stres yang signifikan pada warga biasa dan tenaga kesehatan.
”Berdasarkan studi kami, rupanya orang-orang lebih mengkhawatirkan orang lain daripada dirinya sendiri saat melaporkan kekhawatiran mereka seputar Covid-19. Namun, ketahanan (mental) bisa menurunkan kekhawatiran, begitu pula kecemasan dan depresi,” kata profesor psikiatri di University of Pennsylvania sekaligus Direktur LiBI Raquel Gur.
Penelitian ini memberi gambaran dan pemahaman tentang kondisi dan ketahanan mental publik selama pandemi. Dengan pemahaman ini, Gur berharap mereka bisa segera menginformasikan intervensi yang dibutuhkan untuk meningkatkan ketahan mental. Ini penting untuk mencegah dampak negatif pandemi terhadap kesehatan jiwa.
Penulis utama penelitian ini dan psikiater di CHOP, Ran Barzilay, mengatakan, studi tentang ketahanan mental saat pandemi belum pernah dilakukan. Studi ini penting karena publik sadar akan tantangan kesehatan jiwa yang mereka hadapi, khususnya para tenaga kesehatan.
”Ada kebutuhan mendesak untuk mengukur efek ketahanan (mental) dan menentukan bagaimana penelitian di masa depan memandu kita meningkatkan kesehatan jiwa, terlebih pada keadaan yang terus berubah ini,” kata Barzilay.
Untuk itu, para responden diberi informasi tentang kondisinya setelah mengikut survei. Mereka menerima umpan balik yang sesuai dengan diri mereka, termasuk profil ketahanan mental mereka dalam menghadapi pandemi.
”Menurut beberapa responden, umpan balik yang dipersonalisasi berguna ketika mereka menghadapi masa sulit,” kata Barzilay.
Berdasarkan hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbangkes) Kesehatan Kementerian Kesehatan, sejumlah tenaga kesehatan mengalami beban psikologis akibat bekerja di rumah sakit rujukan Covid-19. Survei ini dilakukan sejak 30 April 2020 selama 30 hari.
Sebanyak 21,7 persen orang dari 277 tenaga kesehatan merasa dijauhi oleh teman dan keluarga karena pekerjaannya saat ini. Ketakutan ini berkembang dan menyebabkan kecemasan pada tenaga kesehatan.
Ada 67,9 persen orang yang merasa membahayakan keluarga. Sebanyak 28,2 persen lainnya merasa stigma negatif dari masyarakat membuat kondisi mereka memburuk.
”Salah satu bentuk stigma sosial adalah munculnya prasangka dan stereotip. Kedua hal ini kerap diterima oleh tenaga kesehatan. Itu antara lain stereotip yang menganggap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit rujukan pasti tertular Covid-19 sehingga mereka patut untuk dijauhi,” kata peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbangkes Kemenkes, Ika Saptarini (Kompas, 3/7/2020).