BPOM: Uji Klinis Obat yang Dikembangkan Unair Belum Valid
Hasil uji klinis obat kombinasi untuk pasien Covid-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga dinilai belum valid. Sejumlah proses mesti diperbaiki terlebih dulu untuk melanjutkan uji klinis.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan hasil uji klinis obat kombinasi untuk pasien Covid-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga belum memenuhi aspek validitas yang diperlukan. Untuk itu, sejumlah proses perlu diperbaiki agar pengujian bisa dilanjutkan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito menyampaikan, inspeksi pada uji klinis obat yang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair) bersama TNI Angkatan Darat dan Badan Intelijen Negara itu telah dilakukan pada 28 Juli 2020. Dari inspeksi itu, ditemukan ada sejumlah celah yang sifatnya minor dan kritis yang harus diperbaiki.
”Dari (hasil) inspeksi tersebut belum direspons, diproses, dan belum ada perbaikan sehingga status (obat kombinasi yang dikembangkan Unair) masih belum valid. Proses riset itu harus melalui dan mengikuti kaidah protokol riset yang ketat agar validitasnya bisa dipercaya,” tuturnya di Jakarta, Rabu (19/8/2020).
Adapun hasil inspeksi dari BPOM menunjukkan, obat kombinasi yang dikembangkan Unair memerlukan beberapa klarifikasi terkait data yang kritikal. Itu meliputi, antara lain, data laboratorium yang dapat membuktikan efektivitas kombinasi obat Covid-19 yang diuji lebih baik daripada obat standar serta efektivitas pada subyek dengan derajat penyakit sedang dan berat.
Selain itu, subyek riset merupakan pasien Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru dengan gejala ringan. Bahkan, ada pasien tanpa gejala yang seharusnya tidak perlu diberikan obat tersebut. Selain itu, subyek penelitian tidak merepresentasikan populasi masyarakat di Indonesia, terutama terkait dengan keberagaman yang menyangkut variasi demografi dan derajat kesakitan pasien.
Penny memaparkan, protokol uji klinis untuk kombinasi obat itu diajukan ke BPOM pada 12 Juni 2020. Kemudian, persetujuan diberikan BPOM pada 3 Juli 2020. Setelah hasil inspeksi uji klinis yang dilakukan pada 28 Juli 2020 diberikan kepada tim peneliti, BPOM baru menerima laporan hasil uji klinis yang diserahkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa pada 19 Agustus 2020.
Dari (hasil) inspeksi tersebut belum direspons, diproses, dan belum ada perbaikan sehingga status (obat kombinasi yang dikembangkan Unair) masih belum valid.
”Kami sudah laporkan juga ke KSAD semalam. Beliau sangat mendukung untuk memperbaiki proses yang diperlukan sehingga uji klinik bisa dilanjutkan dan mendapatkan hasil yang valid,” ucapnya.
Sebelumnya, Rektor Unair Mohammad Nasih mengatakan, uji klinis obat kombinasi sudah dilaksanakan sesuai protokol yang disetujui BPOM melalui persetujuan pelaksanaan uji klinik (PPUK).
Tiga obat kombinasi itu meliputi lopinavir/ritonavir dan azithromycin, lopinavir/ritonavir dan doxycycline, serta hydrochloroquine dan azithromycin. Tim peneliti Unair melaksanakan uji klinis obat kombinasi di 13 lokasi. Ada 754 subyek uji klinis di pasien bergejala ringan hingga gejala berat tanpa memakai ventilator (Kompas, 19/8/2020).
Anggota Komisi Nasional Penilai Obat, Anwar Santoso, menyampaikan, penelitian suatu obat harus memenuhi syarat saintifik dan validitas yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Itu bertujuan agar obat yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi nilai sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sejumlah tahapan harus dipenuhi dalam pengembangan suatu obat. Sebelum melalui uji klinis, tim pengembangan obat harus melalui proses uji preklinis, mulai dari pengujian di hewan uji, lolos dalam kajian etik, hingga mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji klinis. Dalam uji klinis pun harus melewati beberapa fase hingga bisa mendapatkan registasi dari BPOM.
Penny memaparkan, semua keputusan dilakukan berdasarkan bukti ilmiah yang kuat dan dilakukan tim Komnas Penilai Obat. Badan POM akan memberi persetujuan penggunaan obat pada masa darurat jika hasil evaluasi data uji klinis itu dinyatakan valid dan memenuhi aspek mutu dalam proses pembuatannya.
”Kami terus berupaya agar standar dan persyaratan minimal terpenuhi untuk memastikan keamanan, khasiat, dan mutu obat melalui berbagai tahapan uji yang diakui secara internasional. Ini dilakukan untuk melindungi keselamatan dan keamanan masyarakat,” ungkapnya.