Regulasi Pengendalian Lemah, Aturan Promosi Rokok Perlu Dipertegas
Promosi dan iklan rokok di berbagai media perlu dibatasi dengan tegas, bahkan dilarang secara total untuk mengoptimalkan upaya pengendalian konsumsi rokok pada anak dan remaja.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Promosi dan iklan rokok di berbagai media perlu dibatasi dengan tegas, bahkan dilarang secara total untuk mengoptimalkan upaya pengendalian konsumsi rokok pada anak dan remaja. Hal ini termasuk pada larangan iklan secara daring.
Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari menuturkan, iklan, promosi, dan sponsor rokok dapat memicu anak dan remaja untuk mulai merokok. Meski begitu, aturan yang berlaku untuk membatasi promosi tersebut masih lemah.
”Setidaknya ada tujuh dari sepuluh pelajar yang melihat iklan ataupun promosi rokok di televisi dan tempat penjualan. Selain itu, sepertiga pelajar pernah melihat iklan rokok di internet dan media sosial,” tuturnya di Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Paparan iklan rokok lewat media daring semakin tinggi di masa pandemi Covid-19. Metode pembelajaran jarak jauh yang banyak menggunakan internet semakin memudahkan anak mengakses iklan rokok. Sementara aturan terkait pembatasan iklan rokok di internet belum jelas.
Menurut Lisda, kondisi ini membuat upaya pengendalian rokok pada perokok pemula menjadi semakin sulit. Data perokok pemula usia 10-18 tahun di Indonesia terus meningkat.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, prevalensi perokok pemula sebesar 7,20 persen. Jumlah ini meningkat menjadi 8,80 persen (2016) dan 9,10 persen (2018). Jika tidak ada pengendalian yang ketat, prevalensi perokok pemula bisa meningkat hingga 16 persen pada 2030.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan, pengendalian konsumsi rokok sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Namun, berbagai celah masih ditemukan sehingga aturan ini tidak mampu melindungi anak untuk menjadi perokok.
Aturan ini memiliki urgensi tinggi karena ada 142 juta masyarakat Indonesia yang sudah terakses oleh internet, termasuk anak-anak.
”Revisi PP No 109/2012 semakin mendesak. Ini terutama untuk memasukkan aturan terkait digitalisasi iklan rokok yang masif ditemukan. Aturan ini memiliki urgensi tinggi karena ada 142 juta masyarakat Indonesia yang sudah terakses oleh internet, termasuk anak-anak,” katanya.
Lisda menyampaikan, kelemahan lain yang ditemukan dalam aturan tersebut adalah tidak adanya pengawasan yang tegas. Iklan rokok di media penyiaran hanya boleh ditayangkan mulai pukul 21.30 sampai pukul 05.00. Namun, pengawas dari aturan ini tidak jelas sehingga banyak celah yang dimanfaatkan oleh industri rokok.
Penjualan rokok pada anak yang dilarang juga tidak dapat diimplementasikan dengan optimal. Tidak ada pengawasan yang memastikan larangan ini berjalan baik. Sekitar 60 persen pelajar tidak dicegah oleh penjual ketika membeli rokok. Para pelajar pun bisa membelinya secara eceran sehingga lebih terjangkau.
Tulus menambahkan, aturan lain yang juga perlu diterbitkan adalah terkait pembatasan rokok elektrik. Persoalan pembatasan rokok konvensional yang belum tertangani kini semakin berat dengan maraknya penggunakan rokok elektrik. Padahal, dampak rokok elektrik sama berbahanya dengan rokok komvensional.
Cukai rokok
Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menuturkan, argumen yang menyatakan cukai rokok berkontribusi besar dalam pendapatan negara tidak benar. Cukai rokok merupakan denda yang diberikan kepada orang yang merokok karena bisa membahayakan diri sendiri dan orang di sekitarnya.
Keuntungan yang didapatkan oleh industri rokok jauh lebih besar daripada pajak yang diberikan kepada negara. Dari sekitar Rp 18 triliun yang diterima industri rokok, hanya sekitar Rp 4 triliun yang diterima oleh negara.
”Pemerintah harus lebih sadar bahwa kerugian yang diakibatkan dari konsumsi rokok lebih besar dibanding cukai yang diterima negara. Semakin dini usia perokok pemula, maka semakin lama orang tersebut menghabiskan uangnya untuk belanja yang tidak produktif. Belum lagi risiko beban penyakit yang semakin besar,” ujar Hasbullah.