Air Susu Ibu Mutlak untuk Tumbuh Kembang Optimal Bayi
Air susu ibu bisa memperbaiki tingkat kecerdasan anak dan kesehatannya, serta dikaitkan dengan pendapatan yang lebih tinggi dalam kehidupan dewasa. Perlu edukasi dan menyiapkan ibu agar mampu memberi ASI secara optimal.
Kemajuan teknologi dan peningkatan kemakmuran masih menyisakan masalah gizi. Catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan ada 144 juta anak balita yang mengalami stunting atautengkes dan 47 juta anak balita terlalu kurus. Di sisi lain, ada 38,3 juta anak balita kegemukan dan mengalami obesitas.
Kurang gizi menjadi penyebab 45 persen kematian anak di dunia, yakni sekitar 2,7 juta anak balita. Disebutkan, lebih dari 820.000 anak balita bisa terselamatkan setiap tahun jika pada usia 0-23 bulan mereka mendapat air susu ibu (ASI) yang optimal.
Selama masa itu, peran ASI menjadi sangat penting. ASI merupakan paket lengkap zat gizi disertai hormon pertumbuhan, enzim antivirus dan antibakteri, sel darah putih peningkat kekebalan tubuh, serta bakteri baik untuk pertumbuhan bayi dan pembentukan antibodi.
Meski demikian, menurut WHO, hanya sekitar 40 persen bayi usia 0-6 bulan yang mendapat ASI eksklusif. Lewat berbagai upaya, termasuk kampanye Pekan Menyusui Dunia setiap tahun, WHO bersama Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menargetkan, tahun 2025 pemberian ASI meningkat setidaknya menjadi 50 persen.
Saat ini, pemasaran susu pengganti ASI yang tidak tepat mengganggu upaya meningkatkan pemberian ASI. Hal tersebut diperparah oleh krisis akibat pandemi Covid-19.
Di banyak negara, kurang dari 25 persen anak usia 6-23 bulan mendapatkan makanan beragam dan frekuensi makan sesuai dengan usianya. Padahal, dua tahun pertama dalam kehidupan anak sangat penting. Pemberian gizi optimal pada masa ini mampu menurunkan kesakitan dan kematian, mengurangi risiko penyakit kronis serta memaksimalkan tumbuh kembang anak.
Pemberian ASI dan makanan bergizi akan mengurangi biaya kesehatan sehingga menguntungkan bagi keluarga dan negara.
Pemberian ASI dan makanan bergizi akan mengurangi biaya kesehatan sehingga menguntungkan bagi keluarga dan negara. Hal ini dikemukakan Direktur Eksekutif Unicef Henrietta H Fore dan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pernyataan bersama jelang Pekan Menyusui Dunia 2020. Sebagai bagian dari sistem pangan berkelanjutan, pemberian ASI membantu mencegah kerusakan lingkungan antara lain dengan menekan jumlah limbah kemasan.
Tidak mudah
Meski memberi ASI atau menyusui merupakan proses alami, dalam praktiknya tidak selalu mudah. Karena itu, ibu perlu dukungan untuk memulai sehingga mampu memberi ASI dengan baik selama dua tahun. Meningkatkan akses pada konselor laktasi bisa memperpanjang durasi pemberian ASI.
Unicef dan WHO mendorong pemerintah negara-negara untuk melatih petugas kesehatan, termasuk bidan dan perawat, menjadi konselor laktasi yang andal, memastikan konseling ASI sebagai bagian pemeriksaan kesehatan rutin ibu hamil dan bayi, meningkatkan dana program ASI, meningkatkan pemantauan serta implementasi kebijakan, program, dan pelayanan.
Untuk menjamin hal itu, pemerintah perlu berkolaborasi dengan asosiasi profesi kesehatan serta masyarakat madani. Yang juga penting, menjaga petugas kesehatan dari pengaruh industri makanan bayi. Susu pengganti ASI biasanya masuk lewat tenaga kesehatan.
Situasi pandemi
Terkait pandemi Covid-19, WHO dan Unicef menganjurkan para ibu untuk tetap memberikan ASI meski mereka terkena Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru. Sejauh ini, hasil penelitian menunjukkan, virus penyebab Covid-19 tidak ditularkan lewat ASI. Manfaat ASI jauh lebih besar ketimbang potensi risiko penyakit tersebut.
Baca juga: Ibu Positif Covid-19 Tetap Bisa Memberikan ASI pada Bayi
Dokter spesialis anak yang juga Ketua Satuan Tugas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia, Elizabeth Yohmi, dalam seminar daring terkait Pekan Menyusui Dunia 2020, Rabu (5/8/2020), menuturkan, pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, hanya 37,3 persen.
Pemberian ASI eksklusif lebih banyak di perkotaan (40,7 persen) dibandingkan di perdesaan (33,6 persen). Di desa umumnya masih kuat kebiasaan untuk memberi makanan padat sebelum bayi berusia enam bulan. Penelitian terbaru mendapatkan, sistem pencernaan bayi baru siap menerima makanan selain ASI setelah usia enam bulan.
Menurut Yohmi, inisiasi menyusui dini (IMD), yakni proses menyusui bayi oleh ibu sesaat setelah bayi dilahirkan, merupakan langkah sangat baik untuk memudahkan bayi dan ibu memulai proses menyusui. Hasil Riskesdas 2018, proporsi IMD Indonesia 58,2 persen. Dari proporsi itu yang melakukan IMD sekitar satu jam setelah melahirkan hanya 15,9 persen.
Yohmi memaparkan, pandemi Covid-19 berpotensi mengancam kesehatan ibu dan bayi. Penyebabnya, pemeriksaan ibu hamil terbatas karena ada kekhawatiran terinfeksi virus. Layanan konseling laktasi tidak jalan, padahal itu merupakan salah satu kunci sukses pemberian ASI eksklusif.
IMD tidak jalan untuk menghindari kontak erat ibu dan anak. Menyusui sesering mungkin sesuai kebutuhan bayi juga terancam tak tercapai. Akibatnya, kemungkinan pemberian susu formula dengan botol dot menjadi besar. Padahal, penggunaan botol, dot, dan empeng harus dihindarkan agar bayi tidak bingung.
Kunci keberhasilan
Demi keberhasilan pemberian ASI, ibu perlu kontak dengan konselor laktasi setidaknya tujuh kali. Demikian dikatakan Ameetha Drupadi, dokter umum dan konselor laktasi sekaligus pendiri Komunitas Pejuang ASI Indonesia, pada talkshow Pekan Menyusui Dunia bersama Teman Bumil, Senin (10/8/2020).
Komunitas Pejuang ASI Indonesia termasuk kelompok dukungan dan edukasi bagi para ibu yang ingin memberikan ASI eksklusif selama enam bulan serta dua tahun penuh pada anaknya. Adapun Teman Bumil adalah aplikasi untuk membantu para ibu milenial agar mudah dan nyaman menjalankan perannya. Aplikasi gratis ini bisa digunakan para ibu yang berencana hamil ataupun sudah hamil, serta panduan tumbuh kembang hingga anak berusia lima tahun.
Menurut Ameetha, pertemuan dengan konselor dilakukan setidaknya dua kali saat kehamilan trimester ketiga untuk persiapan. Pertemuan selanjutnya dilakukan setelah persalinan dan masa nifas untuk bimbingan dalam pemberian ASI serta mengatasi masalah yang timbul.
Ameetha menguraikan, ASI secara psikologis meningkatkan kepercayaan diri anak, membangun kepribadian yang tenang, menstabilkan emosi, serta meningkatkan hubungan ibu dan bayi. Manfaat kesehatan yang bisa didapat antara lain mencegah kerusakan gigi anak, mengoptimalkan perkembangan otak, dan meminimalkan timbulnya penyakit kronik seperti diabetes, dan gangguan jantung.
Bagi ibu, memberikan ASI bisa mempercepat pengecilan rahim, mencegah perdarahan, mengurangi anemia, menjadi kontrasepsi alami, mempercepat penurunan berat badan serta mengurangi risiko kanker payudara dan ovarium.
Dengan persiapan yang baik, setiap ibu pasti mengeluarkan ASI. Produksi ASI mulai banyak di hari ke-3 atau ke-4 pasca-persalinan. ”Ibu tidak perlu khawatir bayi kelaparan pada hari-hari pertama,” ujarnya.
Pada hari pertama, kapasitas lambung bayi hanya sebesar buah ceri (5-7 mililiter). Hari ke-2, seukuran kacang walnut (22-27 ml). Barulah pada hari ke-3, lambung bayi mampu menampung ASI 45-60 ml atau sebesar aprikot. Pada hari ke-4, lambung seukuran telur (80-150 ml).
Hal yang memicu pengeluaran ASI adalah sentuhan dengan bayi, suasana kasih sayang, bantuan suami dan keluarga. Sementara yang menghambat pengeluaran ASI antara lain stres, kesibukan ibu, dan perselisihan.
Sebelum menyusui, Ameetha menyarankan, untuk memastikan tangan ibu bersih. Kemudian ASI dikeluarkan sedikit, dioleskan pada puting susu dan areola. Fungsinya sebagai pelembab, disinfektan, dan mencegah puting lecet.
Cara memberi ASI yang benar, kata Ameetha, dengan membuat mulut bayi terbuka lebar sehingga sebagian besar areola masuk ke mulut, tidak hanya puting. Dengan demikian, ASI bisa keluar dengan lancar. Bayi akan kenyang setelah menyusu dalam waktu 5-7 menit. ”Jika bayi hanya mengisap puting, ASI hanya keluar sedikit dan ada risiko puting lecet,” tuturnya.
Ada berbagai posisi menyusui sesuai dengan kebutuhan, antara lain cradle hold yang merupakan posisi umum. Selain itu, cross cradle hold yang bermanfaat bagi ibu dengan puting susu datar. Pada posisi ini, ibu memegang bayi dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri mengarahkan areola payudara ke mulut bayi.
Kemudian ada football hold, mengempit bayi dan menyangga dengan bantal di sisi payudara untuk menyusui. Hal ini sesuai bagi ibu yang tangannya bermasalah atau untuk bayi kembar yang disusui di payudara kanan dan kiri. Adapun reclining, posisi ibu setengah berbaring, sesuai bagi ibu yang ASI-nya deras. Dengan demikian, bayi tidak tersedak-sedak saat minum ASI.
Jika ibu akan kembali bekerja, Ameetha menyarankan ibu mulai memerah ASI beberapa minggu sebelumnya dan disimpan di lemari es. Selama di kantor, ibu perlu memerah ASI setiap 3-4 jam dan menyimpan pada suhu dingin.
Saat diberikan oleh pengasuh bayi, ASI perlu dihangatkan tetapi bukan direbus. Pemberian ASI dilakukan dengan sendok atau pipet, bukan dengan botol dan dot agar bayi tidak bingung. Pada botol dengan dot, susu langsung keluar tanpa bayi mengisap. Hal itu akan membuat bayi malas menyusu dengan payudara. Saat ibu sudah di rumah, bayi disusui secara langsung.
Menyusui memang tidak selalu mudah. Kesiapan mental, kondisi kesehatan, bentuk puting (normal, datar, arah terbalik) serta pengetahuan ibu tidak sama. Karena itu, peran konselor laktasi dan sistem dukungan menjadi penting agar pemberian ASI bisa terlaksana dengan baik dan tumbuh kembang anak menjadi optimal. Penelitian menunjukkan, pemberian ASI memperbaiki tingkat kecerdasan (IQ) anak dan kesehatannya, serta dikaitkan dengan pendapatan lebih tinggi dalam kehidupan dewasa.