Cemas dan depresi saat ini dialami warga dunia akibat pandemi Covid-19. Isolasi, ketakutan, ketidakpastian, dan kekacauan ekonomi akibat pandemi yang belum pasti berakhir ini dapat menyebabkan tekanan psikologis berat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian masyarakat mengalami gangguan kesehatan jiwa, seperti kecemasan dan depresi, akibat pandemi Covid-19. Peraturan tinggal di rumah dan jaga jarak ditengarai sebagai pemicu stres.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat melakukan riset tentang dampak pandemi terhadap kesehatan jiwa pada 24-30 Juni 2020. Penelitian melibatkan 5.412 orang dewasa berusia minimal 18 tahun di Amerika Serikat. Penelitian ini dirilis CDC melalui laman resminya, Jumat (14/8/2020).
Hasilnya, 40,9 persen responden mengalami sedikitnya satu gangguan kesehatan mental. Beberapa di antaranya ialah gangguan kecemasan atau depresi (30,9 persen), gangguan akibat trauma dan penyebab stres atau TRSD (26,3 persen), serta penggunaan zat terlarang untuk menghadapi stres (13,3 persen).
Satu gangguan setidaknya dialami oleh responden dari kelompok usia 18-24 tahun (74,9 persen) dan 25-44 tahun (51,9 persen). Gangguan ini juga dialami responden dari kelompok etnis Hispanik (52,1 persen), kelompok dengan tingkat pendidikan SMA ke bawah (66,2 persen), pekerja sektor esensial (54 persen), pengasuh orang dewasa yang tidak dibayar (66,6 persen), serta orang yang menjalani pengobatan gangguan kecemasan (72,7 persen), depresi (68,8 persen), dan stres pascatrauma (88 persen).
CDC mendorong otoritas untuk meningkatkan upaya pencegahan dan intervensi terkait isu ini. Mengatasi masalah kesehatan mental perlu pelibatan komunitas dan strategi komunikasi kesehatan yang tepat. Adapun orang dewasa muda, penduduk beretnis minoritas, pekerja sektor esensial, dan pengasuh harus diprioritaskan.
Isolasi, ketakutan, ketidakpastian, dan kekacauan ekonomi dapat menyebabkan tekanan psikologis.
Pada Mei 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan peringatan tentang krisis kesehatan jiwa akibat pandemi. Gangguan kesehatan jiwa dipengaruhi beberapa faktor, seperti jumlah penderita Covid-19, angka kematian yang muncul, kesulitan ekonomi, kewajiban karantina mandiri, menjaga jarak, serta perasaan takut dan gelisah karena situasi tidak menentu.
”Isolasi, ketakutan, ketidakpastian, dan kekacauan ekonomi dapat menyebabkan tekanan psikologis,” kata Direktur Departemen Kesehatan Mental WHO Devora Kestel kepada Reuters.
Psikolog dan pendiri Psychological Healthcare Center (IndoPsyCare), Edo S Jaya, mengatakan, karantina dan menjaga jarak meningkatkan rasa kesepian pada individu. Kesepian dalam waktu panjang, ditambah rasa cemas karena pandemi, bisa memicu depresi. Itu sebabnya, ia mendorong orang-orang untuk bersiasat mengatasi kesepian.
”Mulai dengan membuat rutinitas untuk bersosialisasi. Tetap jalin komunikasi dengan orang-orang, baik melalui telepon atau panggilan video sebagai ’vitamin’ sosial. Jangan lupa untuk relaksasi,” kata Edo.
Selain bersosialisasi secara daring, Edo juga menyarankan orang-orang untuk bijak mengonsumsi berita tentang Covid-19. Apabila informasi tersebut membuat kewalahan, individu dianjurkan berjarak dengan sumber informasi.
Jika kecemasan dan depresi tidak diatasi, seseorang bisa mengalami serangan cemas (anxiety attack) dan panik (panic attack). Stres berlebih juga bisa memicu stomatoform, yaitu keluhan fisik akibat gangguan psikologis. Keluhan yang biasa dialami antara lain sakit perut, dada berdebar, sakit kepala, dan nyeri di tubuh.
Takut kehilangan
Berdasarkan swaperiksa oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Gangguan Jiwa Indonesia per 14 Mei 2020, ada 69 persen orang di Indonesia yang mengalami masalah psikologis selama pandemi. Studi dilakukan terhadap 2.364 responden.
Studi juga menyatakan bahwa 68 persen orang mengalami kecemasan, 67 persen depresi, 77 persen menderita trauma psikologis, dan 49 persen lainnya berpikir tentang kematian.
”Berbagai tekanan banyak dirasakan oleh masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Itu antara lain ketakutan akan kehilangan orang terdekat karena tertular Covid-19, rasa frustrasi dan bosan untuk terus berada di rumah, juga ketakutan kehilangan pekerjaan dengan situasi ekonomi saat ini,” kata Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Association Nova Riyanti Yusuf (Kompas, 13/8/2020).
Sebelumnya, Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) serta Ikatan Alumni Universitas Airlangga Komisariat Fakultas Kesehatan Masyarakat juga melakukan survei serupa. Survei berlangsung pada 6-13 Juni 2020 secara daring dengan 8.031 responden di semua provinsi.
Survei menyatakan bahwa lebih dari 50 persen responden mengalami kecemasan dengan kategori cemas dan sangat cemas. Konteks kecemasan yang dialami adalah interaksi sosial (67 persen), agama (55 persen), pekerjaan (63 persen), ekonomi (58 persen), dan pendidikan (74 persen).