Remaja Tak Terlindungi dari Jerat Produk Tembakau, Bonus Demografi Dipertaruhkan
Kebiasaan merokok sejak usia muda dapat berpengaruh pada status kesehatan di masa depan. Remaja usia 10-24 tahun yang merokok berisiko 1,8 kali lebih besar mengalami gangguan kesehatan dibandingkan dengan yang tidak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perokok pemula di Indonesia cukup tinggi. Pembatasan akses rokok pada masyarakat perlu diperketat, terutama pada anak dan remaja. Jika tidak ada komitmen yang kuat untuk mengatasi hal tersebut, kualitas sumber daya manusia di masa depan akan menurun sehingga target pembangunan nasional pun terancam.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, prevalensi perokok pada usia 10-18 tahun sebesar 7,2 persen. Jumlah itu terus meningkat menjadi 8,8 persen pada 2016 (Survei Indikator Kesehatan Nasional) dan mencapai 9,1 persen pada 2018 (Riskesdas).
Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso menuturkan, kebiasaan merokok sejak usia muda dapat berpengaruh pada status kesehatan di masa depan. Remaja usia 10-24 tahun yang merokok berisiko 1,8 kali lebih besar mengalami gangguan kesehatan dibandingkan dengan yang tidak.
Remaja yang merokok berisiko mengalami penyakit di usia muda, seperti jantung, gangguan paru, bahkan kanker. (Sumarjati Arjoso)
”Remaja yang merokok berisiko mengalami penyakit di usia muda, seperti jantung, gangguan paru, bahkan kanker. Jika banyak masyarakat usia muda sudah memiliki beban penyakit, kualitas hidup selanjutnya akan berkurang. Padahal untuk memanfaatkan peluang bonus demografi sangat dibutuhkan SDM yang produktif dan berkualitas,” ujarnya di Jakarta, Kamis (13/8/2020).
Mengutip data Badan Pusat Statistik, Sumarjati mengatakan, jumlah remaja di Indonesia diprediksi akan terus meningkat sampai lebih dari 50 juta jiwa pada 2040. Pada 2030 diprediksi rasio ketergantungan Indonesia akan mencapai titik terendah. Dengan begitu, Indonesia diharapkan mengalami puncak bonus demografi dalam kurun waktu 2020-2040.
Namun, tingginya angka perokok pemula dapat mengancam capaian bonus demografi tersebut. Selain berisiko mengalami gangguan kesehatan, pekerja muda usia 15-24 tahun yang merokok akan 2,41 kali lebih mudah mengalami kelelahan daripada yang tidak merokok. Hal itu tentu dapat berpengaruh pada kualitas dan daya saing sumber daya manusia ketika puncak demografi berlangsung.
”Untuk bisa memaksimalkan peluang bonus demografi, salah satu yang harus dilakukan adalah mewujudkan remaja Indonesia tanpa asap rokok. Caranya dengan menjadikan harga rokok mahal yang tidak terjangkau oleh anak dan remaja,” kata Sumarjati.
Kepala Subdirektorat Sumber Daya Manusia dan Pembiayaan Kesehatan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangungan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Renova Siahaan mengatakan, pemerintah telah berupaya menekan konsumsi produk tembakau dengan meningkatkan tarif cukai. Ini berdampak pada kenaikan harga rokok yang diharapkan membatasi akses pembelian rokok.
Meski begitu, sejumlah tantangan dihadapi untuk menaikkan harga rokok secara signifikan. Tantangan itu, antara lain, sistem cukai hasil tembakau di Indonesia masih kompleks dengan 10 tier berdasarkan harga dan produksi. Akibatnya, peluang produsen untuk menghindari pajak cukup tinggi sehingga harga rokok tidak terlalu berdampak dan masih terjangkau.
”Sebelumnya pemerintah memang menargetkan untuk menurunkan prevalensi perokok pemula menjadi 5,4 persen pada 2019. Namun banyaknya tantangan, target prevalensi perokok pemula sebesar 8,7 persen pada 2024,” kata Renova.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardhani menyampaikan, harga rokok semakin mahal sejak 2013-2018 dengan rata-rata meningkat 9,3 persen per tahun. Namun, harga rokok menurun pada 2019 karena tidak ada kenaikan tarif cukai. Ketika tarif cukai tidak dinaikkan, produksi rokok pun mengalami peningkatan hingga 7,3 persen.
Untuk itu, dalam agenda prioritas pemerintah di bidang fiskal, penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau, peningkatan tarif cukai hasil tembakau, dan ekstensifikasi barang kena cukai akan jadi prioritas dalam upaya pengendalian produk tembakau. Cukai hasil tembakau akan ditingkatkan secara bertahap dengan mitigasi dampak bagi petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menuturkan, kenaikan cukai hasil tembakau selama ini tidak terlalu berpengaruh pada petani tembakau. Namun, persoalan muncul karena biasanya pedagang tembakau menggunakan isu kenaikan tarif cukai untuk mengurangi harga pembelian ke petani.
Menurut dia, dampak kenaikan cukai pada petani sebenarnya tidak secara langsung. Turunnya produksi rokok akan seimbang dengan turunnya serapan tembakau.
Meski begitu, petani tembakau khawatir jika penurunan serapan terjadi di saat panen berlangsung. Penurunan pembelian tembakau pada saat ini mencapai 15 persen atau sekitar 25.000 ton tembakau. Itu setara dengan 25.000 hektar lahan tembakau.
”Kami berharap agar jika ada kenaikan cukai, sebaiknya tidak dilakukan pada tahun ini. Kenaikan yang terjadi saat ini sudah cukup tinggi. Kalaupun terpaksa harus dinaikkan sebaiknya sebatas pada kenaikan inflasi,” kata Soeseno.