Vaksin untuk mencegah kita tertular penyakit harus melalui jalan panjang untuk sampai ke pengguna. Setiap tahap pengujian dikontrol dan dievaluasi demi keamanan dan efektivitasnya.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Hari-hari ini Indonesia mulai melaksanakan uji klinis fase 3 vaksin dari Sinovac Biotech, perusahaan swasta dari China. Vaksin yang dinamakan CoronaVac itu dibuat dari virus inaktif sehingga tidak lagi menyebabkan penyakit. Di sisi lain, vaksin masih bisa memicu produksi antibodi.
Sebelumnya, bulan Juni, Sinovac mengumumkan telah menyelesaikan uji klinis kombinasi fase 1 dan 2 pada 743 sukarelawan. Fase ini diperbolehkan untuk mempercepat proses uji klinis. Uji klinis ini langsung dilakukan kepada ratusan orang. Hasilnya, menurut pihak Sinovac, tidak ada efek buruk dan vaksin mampu memproduksi respons imun (kekebalan tubuh).
Bulan lalu, demikian laman Sinovac, perusahaan biofarmasi itu meluncurkan uji klinis fase 3 di Brasil pada 9.000 sukarelawan bekerja sama dengan Instituto Butantan, produsen vaksin dan produk imunobiologi Brasil, seperti Bio Farma di Indonesia. Butantan membangun fasilitas untuk memproduksi 100 juta dosis per tahun. Adapun kapasitas produksi Bio Farma saat ini adalah 100 juta dosis per tahun dan sedang bersiap untuk menambah kapasitas 150 juta dosis lagi.
Selain Sinovac, baru ada 4 perusahaan yang melakukan uji klinis fase 3, yakni Sinopharm (China) yang dilaksanakan di Uni Emirat Arab, Moderna (AS) di AS, Universitas Oxford (Inggris) yang berkolaborasi dengan AstraZeneca, serta BioNTech (Jerman) berkolaborasi dengan Pfizer (AS).
Umumnya, waktu yang dibutuhkan sejak identifikasi patogen hingga uji klinis fase 3 adalah 10 tahun. Vaksin gondok yang dikembangkan dalam 4 tahun sejauh ini dianggap sangat cepat.
Jika semua berjalan lancar, diharapkan CoronaVac mendapat persetujuan dari otoritas pengawasan obat tahun depan.
Jika semua berjalan lancar, diharapkan CoronaVac mendapat persetujuan dari otoritas pengawasan obat tahun depan. Dalam hal ini, izin edar diberikan secara independen oleh setiap negara.
Tahap uji vaksin
Mengutip The New York Times dan laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, ada beberapa tahap pengujian vaksin sejak dari laboratorium hingga ke fasilitas klinik. Yang pertama uji praklinis di mana peneliti menguji kandidat vaksin secara in vitro (pada kultur sel atau organ terisolasi), kemudian diujikan pada hewan percobaan, seperti mencit, tikus, kelinci, hamster, anjing, atau monyet. Tujuannya untuk melihat apakah vaksin mampu memicu respons imun dan tidak menimbulkan dampak buruk.
Jika dinilai efektif, dilakukan uji klinis fase 1 kepada manusia, biasanya terhadap puluhan orang. Selain memastikan vaksin mampu memicu respons imun pada manusia, juga untuk menguji keamanan dan dosis yang dibutuhkan.
Selanjutnya dilakukan uji klinis fase 2 pada ratusan orang, yang dibagi dalam beberapa kelompok. Pada tahap ini, vaksin dipastikan efektivitas dan keamanannya pada manusia.
Tahap berikutnya adalah uji klinis fase 3, di mana vaksin dicobakan kepada ribuan orang. Biasanya hal ini dilakukan bekerja sama dengan institusi di sejumlah negara (multicenter). Tujuannya, memastikan kemampuan vaksin memicu respons imun dibandingkan mereka yang diberi plasebo.
Uji ini untuk menentukan apakah vaksin benar-benar mampu melindungi dari virus korona baru. Selain itu, untuk menguji keamanan, yakni apakah ada efek samping langka yang tidak tampak saat uji klinis sebelumnya.
Setelah terbukti efektif, otoritas di setiap negara akan mengevaluasi hasil uji klinis dan memutuskan menyetujui atau tidak peredaran vaksin di negara terkait. Juni lalu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) menyatakan, vaksin dinilai efektif jika mampu melindungi minimal 50 persen orang yang divaksinasi.
Cara untuk mempercepat pengembangan vaksin adalah melakukan kombinasi fase. Sejumlah kandidat vaksin virus korona kini berada dikombinasi uji klinis fase 1 dan 2. Kandidat vaksin itu setelah melalui tahap uji praklinis, langsung diujikan kepada ratusan orang.
I Made Jawi
dari Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dalam makalahnya memaparkan, ada uji klinis yang dilaksanakan setelah vaksin dipasarkan, yakni fase 4. Tahap ini untuk mengevaluasi keamanan vaksin pada orang berbagai usia dan ras dalam jangka panjang.
Jenis vaksin
Ada berbagai platform pengembangan vaksin. Menurut laman PublicHealth.org serta Nature.com, vaksin yang paling umum karena dinilai cepat dan murah adalah berasal dari virus atau bakteri inaktif. Yakni, virus atau bakteri yang telah ditumbuhkan dalam kultur dan dihilangkan kemampuannya untuk menimbulkan penyakit.
Sebaliknya, ada vaksin yang dibuat dari virus atau bakteri hidup, tetapi telah dilemahkan sehingga tidak berbahaya.
Jenis lain adalah vaksin DNA yang memanfaatkan plasmid rekayasa genetika yang mengandung urutan DNA yang mengode antigen sasaran respons imun. Dengan demikian, pemberian vaksin bisa memicu respons imunologis protektif.
Ada pula vaksin RNA yang tersusun dari RNA asam nukleat, yang mengode gen antigen. Ketika vaksin masuk ke sel inang, RNA diterjemahkan menjadi antigen protein sehingga tubuh mengeluarkan respons imun.
Vaksin lain dibuat dari subunit protein virus atau bakteri untuk memicu respons imun. Vaksin ini menghadirkan antigen ke sistem kekebalan tubuh menggunakan protein patogen yang terisolasi dan spesifik, jadi bukan partikel utuh.
Kemudian ada vaksin dengan vektor tidak bereplikasi (non-replicating vector vaccine). Yakni, menggunakan virus pembawa yang hidup tetapi tidak bereplikasi untuk membawa DNA patogen ke sel manusia. DNA yang terkandung dalam virus mengoodekan antigen yang akan menimbulkan respons imun pada tubuh manusia. Cara ini dinilai aman dan telah digunakan dalam terapi gen.
Teknologi vaksin berkembang sangat cepat. Namun, setiap fase uji klinis tetap dipastikan keamanannya bagi manusia. Hal itu karena pengembangan vaksin dan uji klinis dikontrol serta dievaluasi ketat oleh tim etik penelitian. Selanjutnya, izin edar vaksin juga dievaluasi ketat otoritas pengawasan obat di setiap negara.
Di sisi lain, meski pengembangan vaksin korona terhitung cepat, namun tetap kalah cepat dibandingkan penyebaran virus. Karena itu, uji klinis perlu didukung dan didorong agar segera didapat vaksin yang manjur. Dengan demikian, kita bisa kembali pada kehidupan normal.