Dinilai Diskriminatif, Perpres Jaminan Kesehatan Nasional Diuji Materi ke Mahkamah Agung
Setiap warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan. Namun, hingga kini, meskipun telah ada sistem Jaminan Kesehatan Nasional, masih ada warga, terutama dari kelompok rentan, terhalang mengakses layanan tersebut.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Ketentuan dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang tidak menjamin gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol serta gangguan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri dinilai diskriminatif. Peraturan itu tak sejalan, bahkan bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan di atasnya.
Peraturan di atasnya antara lain Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU Kesehatan, dan UU Kesehatan Jiwa. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 Huruf (i) dan (j) Peraturan Presiden No 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merugikan kelompok-kelompok rentan.
Perpres JKN itu memuat stigma dan diskriminatif terhadap orang dengan HIV/AIDS dan pengguna narkotika karena mengecualikan seluruh layanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS dan pencandu narkotika dalam jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan ketentuan itu, orang-orang dengan HIV/AIDS dan pencandu narkotika akan semakin sulit mengakses layanan kesehatan, yang seharusnya menjadi haknya sebagai warga negara.
Oleh karena itu, atas nama masyarakat sipil, Rumah Cemara dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), bersama Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Baby Rivana Nasution mengajukan hak uji materiil atas perpres tersebut kepada Mahkamah Agung. Permohonan hak uji materiil diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa hukum ketiga organisasi, Senin (10/8/2020).
Mengapa uji materiil diajukan ke MA? Maidina Rahmawati dari ICJR menyatakan, karena permohonan itu sifatnya pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatnya di bawah UU yang masuk dalam kewenangan MA.
Kami mengajukan uji materiil karena perpres itu bertentangan dengan UU yang mengamanatkan pembentukan perpres tersebut.
”Kami mengajukan uji materiil karena perpres itu bertentangan dengan UU yang mengamanatkan pembentukan perpres tersebut,” ujar Maidina, yang bersama Aditia Taslim (Rumah Cemara), Lia Andriani (OPSI), dan Baby Rivana Nasution (IPPI) menyampaikan keterangan pers secara daring, Senin petang.
Menurut Maidina, Pasal 26 UU SJSN disebutkan bahwa jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS akan diatur lebih lanjut dalam perpres. Adapun definisi pelayanan adalah serangkaian tindakan medis dengan tujuannya masing-masing, yakni promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Sementara dalam Perpres No 64/2020 tentang JKN, menurut Maidina, ada kejanggalan di Huruf i dan j, bukan pelayanan yang dikecualikan, malah gangguan penyakitnya (keseluruhan bentuk penyakitnya) yang dikecualikan.
”Ini bertentangan dengan amanat UU SJSN bahwa yang dikecualikan adalah bentuk layanan, bukan penyakitnya, serta menyasar pengecualian yang sifatnya diskriminatif terhadap kelompok penyakit yang distigma, misalnya ketergantungan obat, alkohol, gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat hobi yang membahayakan diri sendiri,” kata Maidina.
Selain itu, perpres tentang JKN juga bertentangan dengan Sistem Urun Biaya dalam UU SJSN, yakni Pasal 22 Ayat (2) dan penjelasannya yang menyatakan untuk pelayanan kesehatan yang sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta dapat dikenakan sistem urun biaya. Maka, perpres JKN tidak mengecualikan layanan (i dan j) karena pelayanan dipengaruhi selera dan perilaku peserta. Artinya, jaminan dari BPJS hanya diberikan sejumlah persentase tertentu dari total biaya pelayanan dan bukan sama sekali dikecualikan sebagaimana diatur di dalam Perpres No 64/2020.
Bukan hanya itu, perpres tersebut juga bertentangan dengan UU No 39/1999 tentang HAM, UU No 11/2005 tentang Pengesahan ICCPR, UU Kesehatan, dan UU SJSN mengenai hak kesehatan tanpa diskriminasi. Keempat UU itu mengatur jaminan atas hak kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi.
Oleh karena itu, para pemohon yang terdiri dari perseorangan dan organisasi masyarakat sipil yang bekerja pada advokasi perubahan kebijakan dan pemberdayaan orang dengan HIV/AIDS, pengguna dan pencandu narkotika, serta pekerja seks meminta MA untuk menyatakan Pasal 52 Ayat (1) Huruf i dan j Perpres JKN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Perempuan dan anak
Baby mengungkapkan, dia mengatasnamakan diri sendiri mengajukan uji materiil atas perpres tersebut karena selama ini tidak ada perempuan yang berani untuk berbicara. ”Contohnya perempuan seperti saya, mantan pengguna narkotika dan hidup dengan HIV yang tidak mudah berbicara di publik,” katanya.
Kebanyakan perempuan yang terinfeksi HIV karena menggunakan jarum suntik narkotika, sebagian lagi dari kami memiliki pasangan pengguna napza (narkotika, psikotropika, dan zat-zat adiktif), perempuan yang tidak berlatar belakang risiko apa pun dan menikah dengan mantan pengguna napza atau pengguna napza aktif.
”Saya pernah mendengar pihak BPJS mengatakan bahwa salah satu yang menyebabkan defisit BPJS adalah perempuan HIV yang hamil dan melahirkan harus sesar. Ini sudah salah kaprah karena tidak semua perempuan HIV hamil harus disesar. Jangan menyalahkan defisit BPJS karena perempuan yang harus disesar,” ujar Baby.
Sebab, menurt Baby, jika promosi tentang HIV serta pencegahan dan pengobatan terhadap perempuan HIV yang ingin hamil atau sudah hamil dilakukan dengan benar, maka tidak perlu dilakukan sesar karena mereka bisa melahirkan secara normal.
Ia menegaskan, dalam situasi normal saja, perempuan dan anak hidup dengan HIV/AIDS sudah sulit mengakses layanan kesehatan, di masa pandemi Covid-19 kondisinya tambah sulit. Bahkan, sejumlah perempuan dengan HIV/AIDS, terutama yang sedang hamil, kesulitan mengakses layanan di sejumlah rumah sakit yang melayani BPJS karena RS penuh.
Akibatnya, perempuan dengan HIV yang hamil dialihkan layanannya ke RS swasta, padahal RS tersebut tidak melayani BPJS sehingga mereka harus membayar sendiri. Bahkan, Baby mengungkapkan, beberapa hari lalu saat ikut pertemuan webinar, dia mendengar usulan BPJS kepada Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kemenkes agar semua komponen pengobatan untuk layanan apa pun berkaitan dengan HIV dihapuskan dari BPJS.
Adapun Lia mengungkapkan, pekerja seks berkepentingan dengan uji materi perpres tersebut karena mereka termasuk kelompok rentan karena kemiskinan. Jika mengalami gangguan kesehatan, mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan. Ketika mengalami infeksi menular seksual, mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan.
Sementara itu, Aditia menyampaikan, hingga kini, dari pengguna napza yang tersebar di 18 provinsi, hanya 56 persen yang bisa mengakses BPJS. Selebihnya, ketika pandemi terjadi, penderita napza yang sedang mengikuti terapi tetap harus membayar.