Pemantauan pertumbuhan anak perlu dilakukan secara berkala untuk mendeteksi adanya gangguan sejak dini. Selain itu, pastikan pula alat ukur yang digunakan sesuai agar tidak salah dalam memberikan intervensi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemantauan pertumbuhan anak perlu dilakukan secara berkala untuk mendeteksi adanya gangguan sejak dini. Selain itu, pastikan pula alat ukur yang digunakan sesuai agar tidak salah dalam memberikan intervensi.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan di Jakarta, Jumat (7/8/2020) mengatakan, kurva pertumbuhan menjadi alat ukur yang penting untuk memantau pertumbuhan seorang anak. Indonesia telah memiliki kurva pertumbuhan nasional yang bisa digunakan sebagai acuan. Kurva ini sudah disesuaikan dengan standar penduduk secara umum.
“Penggunaan kurva pertumbuhan yang tidak sesuai dapat menyebabkan kesimpulan atau diagnosis yang tidak sesuai. Sebagian anak yang salah didiagosis stunting justru bisa mendapatkan tatalaksana yang tidak perlu atau bahkan mendapatkan makanan yang berlebihan. Akibatnya, anak tersebut berisiko mengalami obesitas di masa depan,” katanya.
Pemantauan panjang dan tinggi badan anak perlu dilakukan secara berkala, sejak anak baru lahir. Pada usia kurang dari satu tahun, pengukuran dilakukan pada usia satu bulan, dua bulan, empat bulan, enam bulan, sembilan bulan, dan 12 bulan. Pada usia ini pengukuran panjang tubuh anak harus dilakukan dengan posisi anak yang terlentang.
Sementara itu, pada usia diantara satu sampai dua tahun, pengukuran tinggi badan dilakukan setiap tiga bulan sekali. Kemudian, pada usia di atas dua tahun pengukuran bisa dilakukan setiap tahun sekali. Pada setiap pengukuran perlu dicatat dan dibandingkan dengan kurva pertumbuhan yang telah ditentukan. Apabila pertumbuhan anak berada di bawah standar kurva, pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan agar mendapatkan penanganan yang tepat.
Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat, prevalensi anak usia di bawah lima tahun yang mengalami tubuh pendek sebanyak 30,8 persen. Meski angka tersebut termasuk tinggi, jumlah anak balita yang pendek sudah menurun dari sebelumnya yakni 37,2 persen pada 2013.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Madarina Julia mengatakan, anak dikatakan pendek apabila tinggi badannya di bawah minus dua standar deviasi dari rata-rata tinggi anak pada usia yang sama. Meski begitu, hal ini perlu diamanti lebih dalam lagi, terutama terkait faktor lain yang memengaruhi.
Anak yang pendek bisa dipengaruhi dari kondisi dismorfik seperti down syndrome. Selain itu bisa juga terjadi karena disporposional akibat gangguan tertentu. Untuk itu, intervensi yang diberikan pun menjadi berbeda.
Jika terdeteksi risiko gangguan pertumbuhan, konsultasi daring bisa menjadi pilihan. (Madarina Julia)
“Pada masa pandemi seperti ini, pemeriksaan ke rumah sakit mungkin menjadi terkendala. Untuk itu, peran dokter umum di fasilitas pelayanan kesehatan terdekat menjadi sangat penting. Jika terdeteksi risiko gangguan pertumbuhan, konsultasi daring bisa menjadi pilihan,” katanya.
Madarina menambahkan, identifikasi antara anak pendek dan anak stunting juga perlu lebih diperhatikan. Anak stunting memang pasti pendek, namun anak pendek belum tentu stunting. Apabila tata laksana pada anak pendek tidak tepat seperti dengan pemberian nutrisi yang berlebihan, anak tersebut justru akan berisiko mengalami obesitas.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jose RL Batubara menambahkan, salah satu intervensi yang bisa diberikan untuk anak dengan perawakan pendek yakni dengan pemberian hormon pertumbuhan. Hormon ini bisa diberikan pada anak usia dua sampai tiga tahun.
“Efek samping yang dihasilkan sangat minim. Namun tetap harus dilakukan monitoring secara rutin. Intervensi ini bisa efektif mengatasi gangguan keterlambatan pertumbuhan pada anak jika diberikan sejak dini. Untuk itu, deteksi dini menjadi sangat penting,” katanya.