Keputusan pemerintah pusat yang mengizinkan daerah dengan status zona kuning untuk menggelar kelas tatap muka menempatkan anak pada kondisi rentan penularan Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Keputusan pembukaan sekolah dengan sistem tatap muka di wilayah zona kuning meningkatkan risiko penularan Covid-19 pada anak. Data menunjukkan, anak-anak di Indonesia memiliki tingkat penularan dan mortalitas karena Covid-19 yang lebih tinggi dibandingkan negara lain, karena buruknya kondisi kesehatan.
Setelah pembukaan sekolah di zona hijau, pemerintah akhirnya juga mengizinkan belajar mengajar tatap muka di zona kuning pada Jumat (7/8/2020). Data terbaru di peta risiko Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, jumlah kabupaten/kota yang berada di zona hijau sebanyak 94, sedangkan yang berada di zona kuning sebanyak 182. Ini berarti sekitar 53,67 persen sekolah di Indonesia akan dilangsungkan dengan tatap muka.
"Keputusan (pembukaan sekolah di zona kuning) bisa diduga sebelumnya. Sekarang yang penting siapkan rencana darurat, bagaimana memonitor peningkatan kasus baru? Apakah anak-anak akan di tes usap massal kalau terjadi lonjakan kasus? Apakah fasilitas kesehatan sudah siap atau belum?" kata Ketua Satuan Tugas Covid-19, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira.
Yogi mengingatkan, anak-anak di Indonesia rentan tertular Covid-19 dan tingkat kematiannya juga relatif tinggi, dibandingkan negara lain. Tingginya tingkat kematian ini karena adanya banyak masalah kesehatan pada anak-anak di Indonesia sejak sebelum pandemi.
Data Satgas Penanganan Covid-19, jumlah anak usia 0 -5 tahun yang positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 2,4 persen dan usia 6-18 tahun 6,8 persen. Total anak-anak usia 0-18 tahun yang terinfeksi 9,2 persen. Dengan jumlah kasus di Indonesia sebesar 121.226 orang, artinya ada 14.547 anak yang positif Covid-19.
Sedangkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dari 9.300 anak-anak usia 0-18 tahun di Indonesia yang positif Covid-19, sebanyak 105 di antaranya meninggal dunia. Ini berarti tingkat kematiannya sekitar 1,1 persen.
Laporan UNICEF yang dikumpulkan dari 42 negara pada 15 Juli lalu menyebutkan, anak-anak dan remaja di bawah 20 tahun yang terinfeksi Covid-19 sebesar 8,1 persen. Ada penyebaran yang sangat luas di antara proporsinya, mulai dari Paraguai yang memiliki kasus Covid-19 pada anak-anak hingga 23 persen hingga Spanyol yang hanya 0,82 persen.
Sedangkan, data kematian anak secara global sejauh ini belum ditemukan. Namun, sejumlah negara seperti dilaporkan Ourworldindata.org yang dibangun oleh Oxford Univerity dan tim, di Korea Selatan, China, Spanyol hingga Italia tidak ada anak usia 0 - 9 tahun yang meninggal karena Covid-19. Sedangkan anak usia 10 - 19 tahun yang meninggal di empat negara tersebut berkisar dari 0 persen - 0,2 persen.
Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, Australia mengatakan, tingginya kasus Covid-19 dan tingkat kematiannya di Indonesia menjadi sinyal buruk. Ini bisa menandai bahwa skala penularan di komunitas sebenarnya lebih besar, selain juga menunjukkan kerentanan anak-anak Indonesia terhadap Covid-19 yang lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Masalah klasik gizik anak dan cakupan imunisasi yang belum optimal menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian anak di Indonesia akibat Covid-19. (Dicky Budiman)
"Masalah klasik gizik anak dan cakupan imunisasi yang belum optimal menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian anak di Indonesia akibat Covid-19," kata Dicky.
Data WHO, proporsi kasus gizi buruk anak balita di Indonesia berada di atas batas, yakni 20 persen populasi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi status gizi anak balita dengan indikator tinggi badan sangat pendek atau tengkes masih berada di angka 30,8 persen pada tahun 2018.
WHO pun menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan kasus tertinggi di Asia. Tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Dampak buruk pada jangka panjang adalah penurunan prestasi belajar, penurunan kekebalan tubuh, serta risiko tinggi munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung, kanker, serta strok pada usia tua.