Dampak Buruk Kian Nyata, Aturan Rokok Elektrik Belum Jelas
Perokok ganda memiliki probabilitas menderita penyakit dan komplikasi yang lebih tinggi dan produktivitas menjadi rendah. Meski begitu, saat ini tidak ada aturan yang jelas terkait pengendalian rokok elektrik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rokok elektrik terbukti tidak efektif mengurangi konsumsi rokok konvensional pada masyarakat. Penggunaannya justru berganda sehingga dampak buruk yang ditimbulkan semakin besar. Sementara itu, aturan pengendalian rokok elektrik masih belum jelas.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2019 mencatat, prevalensi perokok elektrik pada usia di atas 15 tahun sebesar 2,10 persen. Jumlah ini tidak jauh berbeda dari 2017 yang tercatat 2,32 persen.
Sementara itu, dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah perokok elektrik yang juga menggunakan rokok konvensional sebesar 96,7 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat yang merokok elektrik juga merokok secara konvensional.
Tim Riset dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Faizal Rahmanto Moeis, mengatakan, rokok elektrik terbukti bukan menjadi pengganti rokok konvensional karena sebagian besar perokok elektrik adalah pengguna ganda dari rokok konvensional. Dengan begitu, dampak yang ditimbulkan pun menjadi semakin berat.
”Perokok ganda memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi yang lebih tinggi. Selain itu, produktivitas dari perokok ganda pun menjadi rendah. Meski begitu, saat ini tidak ada aturan yang jelas terkait pengendalian konsumsi rokok elektrik,” katanya di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Faizal menambahkan, dari analisis yang dilakukan oleh PKJS UI, perokok ganda memiliki risiko kesehatan yang sangat besar, terutama risiko menderita penyakit tidak menular seperti asma, stroke, gagal ginjal, dan rematik. Selain itu, pada perokok ganda usia di atas 40 tahun juga lebih rentan mengalami diabetes, jantung, dan kanker.
Dampak buruk lainnya adalah pada penurunan produktivitas. Pada perokok ganda ditemukan memiliki produktivitas yang lebih rendah sekitar 0,69 jam per minggu dari perokok tunggal.
Sementara itu, pengeluaran kesehatan perokok ganda lebih tinggi Rp 269 per kapita per bulan dibandingkan perokok konvensional. Bahkan, pada orang yang hanya merokok elektronik memiliki pengeluaran kesehatan lebih besar sekitar Rp 15.635 per kapita per bulan dibandingkan perokok konvensional.
”Pengendalian rokok konvensional untuk mencegah pengguna rokok elektrik baru sangat mendesak. Ini terutama untuk mencegah adanya perokok elektrik baru di usia dini,” tutur Faizal.
Data Kementerian Kesehatan pada 2016 menunjukkan, prevalensi perokok elektrik usia 10-18 tahun sebesar 1,2 persen. Jumlah ini meningkat menjadi 10,9 persen pada 2018.
Sementara dari survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan terhadap 9.992 pelajar di 148 sekolah menunjukkan, 41,5 persen pelajar mengetahui rokok elektrik dari temannya. Sebanyak 15,7 persen pelajar mengetahui rokok elektrik dari internet. Rokok elektrik dibeli dari teman dan melalui penjualan daring.
Analisis dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febri Pangestu, menuturkan, pemerintah telah berupaya untuk mengendalikan konsumsi rokok elektrik melalui penarikan cukai tembakau pada cairan rokok elektrik senilai 57 persen. Itu didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Selain itu, pemerintah juga berupaya mengendalikan konsumsi rokok konvensional. Total beban pajak atas rokok di Indonesia mencapai 63,5 persen yang termasuk pada tarif cukai, pajak rokok, dan pajak pertambahan nilai.
”Secara tren, harga rokok di Indonesia juga meningkat dari tahun ke tahun merespons kebijakan tarif cukai dan harga jual ecer,” tuturnya.
Kepala Subbidang Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Ari Wulan Sari menambahkan, aturan khusus terkait pengendalian rokok elektrik memang belum dikeluarkan oleh pemerintah hingga saat ini. Aturan pengendalian tembakau masih merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
”Pemerintah melalui kementerian lembaga terkait masih membahas revisi dari peraturan tersebut. Dari aturan yang lama memang belum membahas secara khusus soal produk tembakau dari rokok elektrik,” ujarnya.