Konsumsi Beras pada Waktu Lama Berkontribusi Meningkatkan Paparan Arsenik
Tim peneliti menunjukkan, beras mengandung unsur arsenik yang meski dalam konsentrasi rendah, berisiko tinggi bagi kesehatan jika dikonsumsi terus-menerus. Mengubah pola konsumsi lebih bervariasi menjadi pilihan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beras yang merupakan sumber makanan pokok paling banyak dikonsumsi di dunia diketahui berkontribusi terhadap paparan arsenik dalam tingkat rendah, tetapi berkepanjangan. Hal ini telah menyebabkan banyak kematian dini akibat penyakit kardiovaskular yang seharusnya dapat dihindari.
Hasil kajian para tim peneliti dari The University of Manchester dan The University of Salford ini dipublikasikan di jurnal Science of the Total Environment.
”Studi ini menunjukkan bahwa 25 persen konsumen beras tertinggi di Inggris dan Wales memiliki risiko kematian kardiovaskular yang lebih besar karena paparan arsenik anorganik dibandingkan dengan 25 persen konsumen beras terendah,” kata David Polya, peneliti dari Departemen of Earth and Environmental Sciences dari The University of Manchester, dalam keterangan tertulis pada Selasa (4/8/2020).
Peningkatan risiko yang dimodelkan mencapai 6 persen, dengan interval 2 persen hingga 11 persen. ”Peningkatan risiko yang dimodelkan juga mencerminkan kombinasi dari kerentanan, perilaku dan perlakuan terhadap diet beras yang relatif tinggi,” katanya.
Arsenik secara alami ada di tanah dan dikenal sebagai racun akut. Zat ini juga dapat berkontribusi terhadap berbagai masalah kesehatan, termasuk kanker dan penyakit kardiovaskular, jika dikonsumsi pada konsentrasi yang relatif rendah selama periode waktu yang lama.
Beras cenderung memiliki konsentrasi arsenik anorganik 10-20 kali lebih banyak daripada tanaman biji-bijian lain. Relatif tingginya konsentrasi arsenik terutama pada padi yang ditanam di sawah atau dalam air yang menggenang. Hal ini membuat arsenik terkunci di tanah, yang berarti lebih banyak yang dapat diserap ke dalam butir beras.
Dalam kajian ini ditemukan, risiko buruk dari paparan arsenik dalam beras sangat ditentukan pada pola konsumsinya. Semakin tinggi konsumsi beras, semakin tinggi pula risikonya.
Dengan lebih dari tiga miliar orang di dunia yang mengonsumsi beras sebagai bahan pokok utama mereka, arsenik anorganik dalam beras tersebut diperkirakan meningkatkan lebih dari 50.000 kematian dini per tahun.
Meski demikian, selain efek samping ini, beras juga memiliki banyak manfaat, di antaranya kandungan seratnya yang tinggi. Oleh karena itu, tim peneliti menyarankan agar masyarakat mengonsumsi beragam jenis pangan pokok seimbang daripada menghindari makan beras sama sekali.
Kajian di Indonesia
Beberapa penelitian lain telah melaporkan bahwa beras mengandung arsenik pada tingkat tinggi. Laporan dari Food Drug Administration Amerika Serikat 2012-2013 menyebutkan, dari 200 sampel beras dan produk beras, ditemukan kandungan arsenik dengan beragam kadar mulai dari 17,1 mikrogram per kilogram (μg/kg) beras putih dan tingkat tertinggi pada beras merah 963μg/kg.
Di Indonesia, beras menjadi makanan pokok dengan konsumsi berkisar 200-300 gram per hari per orang. Namun, kajian tentang kandungan arsenik dalam beras sangat terbatas. Kajian Evi Ekayani Ginting dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan tim yang diterbitkan di Oriental Journal of Chemistry pada Agustus 2018 menyebutkan, sampel beras yang diperiksa dari empat pasar tradisional di Medan juga mengandung arsenik.
Disebutkan, analisis dengan spektrofotometer serapan atom menunjukkan, konsentrasi arsenik tertinggi ditemukan pada beras merah anorganik dengan kadar 3,71 miligram per kilogram (mg/kg), beras merah organik 3,40 mg/kg, beras putih anorganik 0,33 mg/kg, dan beras hitam organik 0,13 mg/kg. ”Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar arsenik dalam beras sangat bervariasi dan mungkin berbahaya,” sebut kajian ini.