Aktivitas Fisik Berkurang dan Pola Makan Berubah, Diabetes Kian Mengancam
Perilaku sedentari dapat memicu terjadinya diabetes. Ini semakin buruk karena pola makan selama bekerja di rumah menjadi tidak teratur dan cenderung mengonsumsi makanan/minuman manis.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/ADI SUCIPTO K
Ilustrasi: Pasien yang menderita diabetes, dan gangguan ginjal di Rumah Sakit Dr Soegiri Lamongan, menjalani cuci darah.
JAKARTA, KOMPAS — Gaya hidup masyarakat berubah selama masa pandemi Covid-19. Perilaku sedentari atau perilaku yang minim aktivitas fisik lebih banyak dilakukan. Pola makan pun cenderung tidak teratur dan seimbang. Akibatnya, berbagai penyakit tidak menular semakin mengancam, termasuk diabetes.
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrinologi dari Rumah Sakit Sahid Sahirman Roy Panusunan Sibarani mengatakan, bekerja dari rumah berdampak pada peningkatan perilaku sedentari. Hal itu ditunjukkan dengan lebih banyak duduk di depan komputer atau laptop, berbaring, ataupun duduk di depan televisi.
”Perilaku sedentari dapat memicu terjadinya diabetes. Ini semakin buruk karena pola makan selama bekerja di rumah menjadi tidak teratur. Konsumsi gula pun semakin meningkat melalui minuman dan makanan manis,” katanya di Jakarta, Rabu (5/8/2020).
Sebelum masa pandemi Covid-19, jumlah penderita diabetes melitus pada usia dewasa sudah cukup tinggi. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi diabetes melitus secara nasional pada 2018 sebesar 8,5 persen. Dari seluruh wilayah di Indonesia, Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi tertinggi, yakni 3,4 persen atau sekitar 250.000 penduduk yang menderita diabetes.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan DKI Jakarta Lies Dwi mengatakan, jumlah penderita diabetes dikhawatirkan semakin meningkat di masa pandemi ini. Untuk itu, upaya pencegahan dan deteksi dini perlu semakin ditingkatkan.
Keterbatasan akses pada layanan kesehatan karena dampak pandemi Covid-19 diharapkan tidak menghambat upaya deteksi dini. Pengecekan kadar gula darah bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat ataupun melakukan pemeriksaan melalui temu janji dengan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan terdekat.
”Deteksi dini sangat penting, terutama ketika terdiagnosis mengalami prediabetes. Prediabetes bisa ditentukan melalui tes toleransi gula darah antara 140 miligram per desiliter dan 200 miligram per desiliter. Jika lebih dari 200 miligram per desiliter sudah didiagnosis mengalami diabetes,” katanya.
Gejala diabetes pada seseorang sering tidak disadari sehingga biasanya ditemukan dalam kondisi yang lebih parah. Adapun gejala diabetes antara lain, berat badan turun drastis tanpa upaya tertentu, sering buang air kecil, mudah lelah dan mengantuk, sering kesemutan, sering merasa haus, pandangan kabur, serta terdapat luka yang sulit sembuh.
PAPARAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM KONSULTAN ENDOKRINOLOGI DARI RUMAH SAKIT SAHID SAHIRMAN ROY PANUSUNAN SIBARANI
Gejala diabetes melitus
Lies mengatakan, diabetes yang dialami oleh seseorang juga semakin mengancam ketika tertular Covid-19 karena dapat berisiko pada kondisi yang lebih parah. Dari data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, pasien Covid-19 dengan komorbid diabetes melitus memiliki risiko kematian 5,6 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien Covid-19 tanpa diabetes.
”Dengan risiko yang besar ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya meminimalisasi potensi penularan pada pasien diabetes. Salah satunya dengan memberikan obat untuk jangka satu bulan sehingga pasien tidak perlu terlalu sering datang ke fasilitas pelayanan kesehatan,” ucapnya.
Roy mengatakan, seseorang dengan diabetes harus mengonsumsi obat sepanjang hidupnya. Karena itu, upaya pencegahan tetap harus diutamakan. Aktivitas fisik harus tetap dilakukan setidaknya 30 menit dalam sehari. Jika tidak memungkinkan untuk beraktivitas di luar rumah, seseorang bisa melalukan olahraga ringan di rumah. Selain itu, perhatikan pula konsumsi makanan yang rendah gula, garam, dan lemak.