Pemulihan Ekonomi Sulit Dilakukan Saat Pandemi Belum Terkendali
Pembukaan ekonomi di tengah pandemi yang belum mereda sangat berisiko menimbulkan permasalahan yang lebih berat. Seiring pelonggaran aktivitas ekonomi, jumlah kasus juga meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas ekonomi yang kembali dibuka berdampak pada peningkatkan jumlah kasus penularan Covid-19 yang signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pemulihan ekonomi sulit dilakukan ketika pandemi belum terkendali.
Ekonom yang juga Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, variabel kesehatan dalam penanganan Covid-19 merupakan prioritas utama yang harus dipertimbangkan dalam proses pemulihan ekonomi. Apabila angka kasus penularan masih tinggi, aktivitas ekonomi justru bisa terhambat.
”Dengan kasus yang semakin meningkat, aktivitas perkantoran bisa saja kembali ditutup. Begitu pula aktivitas di pasar. Menurut skenario kami, jika kurva (penularan)-nya tidak melandai sampai September, kita akan mulai memasuki wilayah pertumbuhan ekonomi negatif sepanjang 2020 mejadi minus 0,8 persen sampai 2 persen,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (1/7/2020).
Data Kementerian Kesehatan per 1 Agustus 2020 menunjukkan, jumlah kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 bertambah sebanyak 1.560 orang. Kasus tersebut didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium pada 9.355 orang dengan 11.190 spesimen. Dengan demikian, persentase kasus harian Covid-19 sebesar 16,7 persen dari jumlah orang yang diperiksa (positive rate).
Persentase tersebut jauh lebih tinggi dari batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni tidak boleh lebih dari 5 persen. Adapun total kasus kumulatif Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 109.936 kasus dengan angka kematian 5.193 kasus. Jumlah ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi ke-24 di seluruh dunia.
Fithra mengungkapkan, pembukaan aktivitas ekonomi sebaiknya tidak tergesa-gesa. Intervensi yang bisa dilakukan saat ini, antara lain, melalui optimalisasi konsumsi dan belanja pemerintah, pemberian gaji ke-13, serta optimalisasi penyerapan anggaran terutama untuk penanganan Covid-19. Pembentukan satuan tugas penanganan Covid-19 diharapkan bisa mengatasi penyerapan anggaran yang masih minim.
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman menuturkan, pengendalian penularan Covid-19 kian berat karena rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Penerapan sanksi dan hukuman perlu dipertimbangkan seiring dengan pengawasan yang ketat dari petugas keamanan.
Ini semakin mengkhawatirkan karena tidak sedikit petugas keamanan yang justru membiarkan. (Dedi Supratman)
Menurut dia, upaya promotif dan preventif menjadi cara paling efektif untuk mengendalikan penularan penyakit yang disebabkan virus korona jenis baru ini. Upaya promotif berupa edukasi dan penyuluhan tidak cukup dilakukan hanya melalui imbauan.
Sanksi perlu diberlakukan pada masyarakat yang tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan terkait pencegahan penularan Covid-19. ”Banyak masyarakat yang sudah tidak mau menggunakan masker ataupun menjaga jarak. Ini semakin mengkhawatirkan karena tidak sedikit petugas keamanan yang justru membiarkan,” kata Dedi.
Ia menambahkan, jumlah pelacakan dan pemeriksaan kasus juga perlu ditingkatkan. Total orang yang diperiksa terkait Covid-19 baru sekitar 875.000 orang. Itu pun sekitar 45 persen kasus yang diperiksa berada di DKI Jakarta.
”Bandingkan dengan China. Lebih dari 90 juta tes telah dilakukan dan ditemukan sekitar 90.000 kasus. Artinya, jumlah kasus positif yang ditemukan di Indonesia sudah tinggi meskipun pemeriksaannya masih belum optimal. Pelacakan dan pemeriksaan kasus harus lebih agresif agar penanganannya bisa lebih cepat,” ucap Dedi.