Rokok elektrik diduga dapat meningkatkan tekanan darah dan frekuensi detak jantung serta mengurangi elastisitas dinding arteri. Sejumlah faktor ini berkontribusi ada terjadinya penyumbatan pembuluh darah.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengguna rokok elektrik dan juga vape diperkirakan memiliki risiko yang lebih besar memiliki persoalan jantung. Bahkan, diduga penelitian lain menunjukkan bahwa rokok dan vape dapat menjadi faktor yang meningkatkan risiko stroke menjadi penyakit komorbid Covid-19.
Perhimpunan Kardiologi Eropa (European Society of Cardiology/ESC) pada Kamis (30/7/2020) meminta semua pemerintah mana pun untuk mulai meregulasi industri rokok elektrik dan vape seketat industri rokok.
Professor Maja-Lisa Lochen dari The Arctic University of Norway, Tromsø, Norwegia, menduga rokok elektrik dapat meningkatkan tekanan darah dan frekuensi detak jantung, serta mengurangi elastisitas dinding arteri. Sejumlah faktor ini berkontribusi ada terjadi penyumbatan pembuluh darah (blood clots) yang berujung pada serangan jantung.
Fungsi rokok elektronik yang disebut dapat membantu masyarakat berhenti merokok juga diragukan olehnya. Sejauh ini, menurut dia, tidak ada studi yang menunjukkan dengan jelas bahwa penggunaan rokok elektrik dapat membantu orang berhenti merokok.
”Bahkan, ada kemungkinan perokok yang menggunakan rokok elektrik justru juga akan tetap menggunakan rokok konvensional,” kata Lochen dalam keterangan resmi ESC.
Lochen mengatakan, desakan untuk memperketat pengaturan mengenai rokok elektronik diperlukan karena prevalensi penggunaan rokok elektrik meningkat drastis pada beberapa tahun terakhir, tetapi regulasi belum komprehensif.
Mengutip penelitian oleh Center for Tobacco Products dari Food and Drug Administration (FDA) AS menunjukkan bahwa penggunaan rokok elektronik oleh anak-anak berusia 11-18 tahun di AS meningkat drastis: dari 1,5 persen pada 2011 menjadi 20,8 persen pada 2018.
”Rokok elektronik ini produk yang relatif baru dan segala aspek kesehatannya belum diketahui. Saat ini adalah saatnya untuk regulator untuk meningkatkan kesadaran dan penciptaan regulasi untuk memperlambat tren ini di kelompok muda,” kata Lochen.
Bahkan, ada kemungkinan perokok yang menggunakan rokok elektrik justru juga akan tetap menggunakan rokok konvensional.
Penelitian terpisah yang dilakukan Fakultas Kedokteran University of Kansas AS juga menunjukkan bahwa rokok elektrik memiliki kaitan dengan serangan jantung, penyakit jantung koroner, dan bahkan depresi.
Kepala penelitian ini, Mohinder Vindhyal, mengatakan bahwa pengguna rokok elektrik 56 persen lebih besar kemungkinannya untuk terkena serangan jantung dan 30 persen lebih besar risiko untuk terkena stroke dibandingkan dengan nonpengguna.
Risiko terkena penyakit jantung koroner juga lebih besar pada pengguna vape dibandingkan dengan orang biasa. ”Saya tidak akan memperkenankan pasien ataupun anggota keluarga saya dan warga masyarakat lainnya untuk nge-vape,” kata Vindhyal.
Temuan ini berdasarkan data yang diperoleh dari 96.467 responden yang mengikuti survei kesehatan nasional yang digelar oleh Center for Disease Control and Protection (CDC) AS.
Faktor komorbid Covid-19
Pekan lalu, para peneliti dari Texas Tech University, AS, juga menemukan korelasi antara perokok—baik rokok konvensional maupun elektrik—dan peningkatan risiko stroke pada pasien Covid-19.
Dalam studi yang dipublikasikan di International Journal of Molecular Sciences, Luca Cucullo dan Sabrina R Archie menyatakan bahwa berbagai zat beracun yang dihasilkan rokok dapat mengurangi integritas sawar darah otak (blood brain barrier/BBB).
BBB adalah membran yang mencegah patogen dan toksin yang ada pada darah menginfeksi sel otak. Padahal, seperti yang sudah diketahui, virus SARS-CoV-2 diduga dapat menginfeksi jaringan saraf manusia. Gejala Covid-19 juga dapat berpengaruh pada sistem syaraf, seperti kehilangan kemampuan untuk mengecap rasa.
Selain itu, Archie mengatakan, merokok dapat meningkatkan faktor koagulasi atau pengentalan darah yang pada ujungnya berkontribusi pada risiko stroke. Padahal, Covid-19 juga diduga meningkatkan koagulasi darah.
”Covid-19 dan merokok memiliki kemampuan untuk meningkatkan koagulasi darah. Jadinya, kombinasi kedua hal ini menghasilkan risiko yang tinggi akan terjadinya stroke,” kata Archie melalui keterangan resmi.