Jumlah kasus harian Covid-19 meningkat pesat hingga lebih dari 2.000 orang. Pertumbuhan eksponensial ini menunjukkan penularan di masyarakat masih tinggi sehingga pembatasan sosial perlu kembali dilakukan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pertumbuhan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia semakin cepat dengan penambahan kasus harian kembali melebihi 2.000 orang. Kluster baru bermunculan menyebabkan rumah sakit kembali penuh. Pemerintah diminta mempertimbangkan kembali pembatasan sosial dengan lebih ketat.
"Kita harus menyadari situasi Covid-19 makin gawat dan luas. Laporan dari sejawat, rumah sakit di Jakarta kembali penuh. Di daerah-daerah juga naik," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam, di Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Menurut Ari, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia naik eksponensial. "Saya khawatir, situasi di Jakarta akan kembali seperti bulan Maret-April, karena rumah sakit penuh, banyak pasien meninggal di jalan karena terlambat ditangani," katanya.
Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, terjadi penambahan kasus baru sebesar 2.381 orang sehingga total menjadi 104.432 kasus. Jakarta mendapat penambahan kasus harian tertinggi, yaitu 577 orang sehingga total kasus 20.572 orang, Jawa Timur 359 orang sehingga totalnya 21.484 kasus, dan Jawa Tengah 313 orang sehingga menjadi 9.120 kasus.
Secara nasional pertumbuhan kasus menjadi semakin cepat, misalnya sejak ditemukan pada awal Maret jumlah kasus di Indonesia baru mencapai 25.000 orang pada 29 Mei lalu atau tiga bulan kemudian. Berikutnya, kasus di Indonesia mencapai 50.000 orang pada 25 Juni, 75.000 penduduk pada 12 Juli, dan 100.000 penderita pada 27 juli 2020.
Kita harus menyadari situasi Covid-19 makin gawat dan luas. Laporan dari sejawat, rumah sakit di Jakarta kembali penuh. Di daerah-daerah juga naik.
Menurut Ari, penambahan kasus yang semakin cepat ini juga dikontribusikan oleh peningkatan kapasitas tes. Namun jumlah tes di Indonesia masih kurang, terutama di luar Jakarta. "Untuk Jakarta, jumlah tes saat ini sudah baik karena banyak yang ikut memeriksa, termasuk rumah sakit dan swasta. Di laboratorium UI tidak ada lagi antrean pemeriksaan dan rata-rata 1-2 hari hasilnya bisa keluar," tuturnya.
Menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah orang yang diperiksa pada Rabu sebanyak 17.859 orang sehingga tingkat kepositifan (possitive rate) 13,3 persen. Ini lebih besar dibandingkan tingkat kepositifan secara kumulatif 12,4 persen, yaitu total kasus positif dibagi total orang yang diperiksa sebesar 841.027 orang. Adapun kepositifan nasional dalam sepekan 13,9 persen.
Berdasarkan laporan Pemerintah DKI Jakarta, 4.752 orang atau 26,6 persen tes secara nasional dilakukan di Jakarta. Ini berarti tingkat kepositifan di Jakarta sekitar 5,3 persen atau lebih rendah dari tingkat kepositifan dalam sepekan terakhir 6,6 persen. Meski jauh di bawah rata-rata nasional, angkanya masih di atas ambang aman ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 5 persen.
Jawa Timur dan Jawa Tengah yang secara konsisten memiliki penambahan kasus sangat tinggi, tidak melaporkan jumlah orang yang dites tiap hari. Data di Pusat Data dan Informasi Kemenkes, menyebut jumlah total spesimen yang diperiksa di Jawa Barat hingga 27 Juli 122.687 orang atau 2,457 per 1.000 penduduk.
Adapun total spesimen yang diperiksa di Jawa Tengah baru 93.314 atau 2,671 per 1.000 penduduk. Jumlah pemeriksaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini sangat kecil jika dibandingkan Jakarta yang total telah memeriksa 426.004 spesimen atau 40,02 per 1.000 penduduk.
Jumlah korban meninggal secara nasional, menurut data Satgas Penanganan Covid-19, mencapai 4.975 orang atau ada penambahan 74 orang dalam sehari. Namun, laporan dari rumah sakit online Kemenkes, total korban terkait Covid-19 yang dilaporkan dari seluruh rumah sakit di Indonesia mencapai 18.318 orang atau bertambah 117 pasien dibandingkan sehari sebelumnya.
Kluster perkantoran
Ari memaparkan, merebaknya kluster baru di perkantoran Jakarta harus disikapi serius, termasuk mempertimbangkan kembali pembatasan sosial. "Pekerja kantoran mestinya lebih memahami risiko, tetapi karena tidak ada sanksi yang jelas, banyak yang abai. Kluster perkantoran ini harus ditelusuri, apalagi di kantor pemerintahan, apa masalahnya," ungkapnya.
Menurut Ari, Dinas Kesehatan atau Kementerian Kesehatan harus membuka data mengenai kluster penularan dan hasil penelusurannya ke publik. "Dengan dibuka, orang jadi tahu mana yang berisiko, dari mana tertularnya dan itu akan jadi pelajaran penting," ucapnya.
Sementara itu, Guru Besar Fisika dari Universitas Diponegoro, Muhammad Nur dalam diskusi daring tentang inovasi Indonesia dalam menghadapi pandemi mengatakan, risiko penularan di perkantoran tinggi karena sistem sirkulasi udara yang tertutup, terutama jika menggunakan air pendingin terpusat. "Penggunaan teknologi plasma dingin untuk menyaing udara terbukti bisa menguragi mikroorganisme dalam ruangan tertutup," katanya.
Hasil uji yang dilakukan terhadap produk plasma dingin dari Center for Plasma Research Undip terbukti bisa mereduksi bakteri hingga 53 persen dan jamur sebesar 61 persen setelah sejam beroperasi. Sedangkan dalam waktu tiga jam bisa mengurangi bakteri hingga bakteri 84 persen dan jamur 80 persen.
"Kami belum bisa menguji ini untuk virus karena tidak ada lab ujinya, tetapi pada prinsipnya teknologi terbukti bisa menghacurkan DNA dan RNA yang ada di bakteri. Sejumlah penelitian di luar negeri juga menunjukkan potensinya untuk mereduksi virus di ruangan tertutup," ujarnya.