Pandemi Covid-19, Momentum Membangun Kota Ramah Lingkungan
Buruknya kualitas udara di perkotaan berhubungan dengan tingginya angka kematian akibat Covid-19. Ini momentum untuk menata kembali kota menjadi tempat yang ramah lingkungan dan layak huni.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paparan polusi udara di perkotaan dalam jangka panjang menyebabkan sejumlah penyakit, termasuk meningkatkan risiko kematian pasien Covid-19. Masa pandemi menjadi momentum menggalakkan kembali penataan kota ramah lingkungan.
Kualitas udara Jakarta tergolong moderat pada periode Januari-April 2020, tetapi persentase kualitasnya turun 12,7 persen. Adapun kualitas udara di beberapa kota meningkat, antara lain Depok (3,1 persen), Bekasi (13,8 persen), dan Bogor (44,9 persen). Penurunan kualitas udara juga terjadi di Tangerang (13,2 persen) dan Tangerang Selatan (42,9 persen) karena pabrik-pabrik di kawasan itu masih beroperasi (Kompas, 11/6/2020).
Sementara itu, pandemi Covid-19 berdampak pada turunnya emisi karbon global sebesar 8 persen, yakni penurunan tertinggi sejak Perang Dunia II. Emisi karbon turun lebih dari 1 miliar ton dalam empat bulan pertama 2020 dibandingkan periode yang sama pada 2019 (Kompas, 23/5/2020).
Kendati kualitas udara membaik, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Tubagus Soleh Ahmadi, pada Kamis (30/7/2020), mengingatkan bahwa warga Jakarta belum bebas dari polutan. Partikel udara PM 2,5 masih relatif tinggi saat pandemi. Padahal, aktivitas dan mobilitas warga menurun saat itu.
”PM 2,5 yang tinggi berasal dari kawasan lintas batas Jakarta dengan daerah lain. Kegatan industri masih beroperasi di sana dan polusinya terbawa ke Jakarta,” kata Tubagus pada pertemuan virtual yang digagas Jakarta Smart City.
Menurut dia, informasi soal kualitas udara yang menyeluruh harus bisa diakses oleh penduduk. Tujuannya, semua orang bisa melakukan langkah antisipasi demi kesehatan. Namun, indeks standar pencemar udara (ISPU) belum memasukkan faktor PM 2,5 sebagai standar pengukuran.
Langkah antisipasi penting terhadap buruknya kualitas udara penting. Menurut penelitian Universitas Indonesia, 60 persen pasien rumah sakit di Jakarta menderita penyakit yang disebabkan oleh polusi udara, seperti asma dan bronkitis. Adapun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan ada 7 juta kematian per tahun akibat polusi udara.
Terpapar polusi udara tinggi dalam jangka panjang juga berdampak pada kerentanan pasien Covid-19. Studi Harvard University TH Chan School of Public Health menemukan bahwa tingginya konsentrasi PM 2,5 diasosiasikan dengan tingginya angka kematian akibat Covid-19. Studi ini dilakukan terhadap 3.080 distrik di Amerika Serikat dan dipublikasi pada April 2020.
Seseorang yang tinggal beberapa dekade di distrik berpolusi tinggi punya potensi mengalami kematian 15 kali lebih tinggi karena Covid-19. Peluang kematian lebih tinggi dibanding orang yang hidup di distrik dengan polusi udara lebih rendah.
”Kami mendesak agar pemantauan kualitas udara diperbanyak, khususnya yang menghitung PM 2,5. Informasi itu membantu warga untuk mengantisipasi kesehatannya. Selain itu, ini bisa jadi basis pemerintah untuk merespons pengendalian pencemaran udara. Hal ini pernah dilakukan pemerintah Thailand,” kata Tubagus.
Kami mendesak agar pemantauan kualitas udara diperbanyak, khususnya yang menghitung PM 2,5. Informasi itu membantu warga untuk mengantisipasi kesehatannya.
Kota ramah lingkungan
Prinsip kota ramah lingkungan sedang coba digarap oleh Pemprov DKI Jakarta, salah satunya melalui konsep smart environment. Konsep ini mencakup, antara lain, indeks kualitas udara, penghematan energi, dan pengolahan sampah.
”Penataan kota penting sekali. Sebab, menurut prediksi PBB, lebih dari 60 persen penduduk akan tinggal di kota pada 2050. Penting membuat Jakarta menjadi kota berkelanjutan, ramah lingkungan, dan layak huni,” kata Business Analyst Jakarta Smart City Hansen Wiguna.
Ia menambahkan, Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan sejumlah upaya untuk menekan polusi udara dan menjadi kota ramah lingkungan. Upaya itu, antara lain, perluasan kawasan ganjil-genap, pengujian emisi kendaraan pribadi, inspeksi cerobong industri, pembangunan fasilitas pejalan kaki, perluasan jalur sepeda, dan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan.
Sementara itu, langkah untuk menurunkan emisi karbon di perkotaan akan menghadapi tantangan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memprediksi penggunaan transportasi umum bakal menurun setelah normal baru berlaku.
Dosen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara Suryono Herlambang mengatakan, selama ini banyak konsep kota ideal dimasukkan dalam kebijakan pengelolaan kawasan urban di Indonesia. Sebutlah kota sehat, kota hijau, kota tangguh, kota cerdas, dan lainnya.
”Pandemi ini tidak membutuhkan tatanan baru lagi, tetapi percepat perwujudan konsep-konsep ideal kota tersebut,” katanya (Kompas, 28/6/2020).