Target Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu Hamil Sulit Tercapai
Capaian deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil diprediksi menurun akibat pandemi Covid-19. Padahal, deteksi dini ini diperlukan untuk mencegah penularan pada ibu kepada anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil diperlukan untuk mencegah adanya penularan pada bayi yang dilahirkan. Pemerintah menargetkan minimal 80 persen ibu hamil yang diperiksa. Namun, target tersebut dinilai sulit tercapai di tengah keterbatasan akibat pandemi Covid-19.
Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2019, jumlah ibu hamil yang melakukan deteksi dini hepatitis B (DDHB) sebanyak 2.576.980 orang atau sekitar 50 persen dari estimasi jumlah semua ibu hamil di Indonesia. Pada Januari-Juni 2020, jumlah ibu hamil yang diperiksa menurun 41 persen dibandingkan pada periode sama tahun lalu, yakni 724.497 orang.
Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Irsan Hasan, di Jakarta, Selasa (28/7/2020), mengatakan, hepatitis B yang ditularkan secara vertikal dari ibu kepada bayi yang dilahirkan bisa mencapai lebih dari 80 persen. Proses penularan ini merupakan cara penularan hepatitis paling banyak terjadi di Indonesia.
”Deteksi dini dilakukan melalui pemeriksaan HBsAg. Jika hasilnya reaktif, akan dlakukan tindak lanjut. Pemeriksaan akan dilakukan kembali pada bayi yang lahir. Vaksinasi HBIg (imunoglobulin hepatitis B) harus diberikan kurang dari 24 jam setelah bayi lahir dan diikuti vaksin hepatitis B,” tuturnya.
Dari data Kementerian Kesehatan pada Januari-Juni 2020, sebanyak 1,9 persen atau 13.740 ibu hamil yang diperiksa reaktif terhadap HBsAg. Dari jumlah itu, 13.370 ibu hamil dirujuk untuk mendapatkan tindak lanjut. Sementara 10.239 bayi lahir dari ibu yang reaktif HBsAg.
Deteksi dini dilakukan melalui pemeriksaan HBsAg. Jika hasilnya reaktif, akan dlakukan tindak lanjut. Pemeriksaan akan dilakukan kembali pada bayi yang lahir.
Irsan mengatakan, penularan hepatitis B dari ibu kepaada anak harus diwaspadai. Sebab, sekitar 90 persen anak yang tertular virus ini akan mengidap hepatitis B sepanjang hidupnya (kronik). Sementara potensi penyakit menjadi kronik pada anak yang tertular pada usia lebih dari lima tahun hanya sekitar 6 persen.
”Hepatitis B kronik jika tidak segera ditangani bisa berlanjut menjadi sirosis (pengerasan hati). Masalahnya, hepatitis B kronik biasanya tanpa gejala. Sembilan dari 10 pengidap tidak sadar memiliki hepatitis B. Itulah sebabnya, deteksi dini jadi penting,” katanya.
Penapisan kesehatan
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu menuturkan, pemerintah telah menjalankan program rutin pencegahan penularan hepatitis B dari ibu kepada anak. Ibu hamil yang reaktif HBsAG akan dirujuk untuk mendapat penanganan lebih lanjut berupa pemberian tenofovir. Setelah itu, bayi yang lahir dari ibu reaktif akan diberikan HBIg.
Selain itu, pada semua ibu hamil harus ada penapisan kesehatan dan deteksi dini hepatitis B. Semua bayi lahir pun wajib mendapat vaksinasi HB0 selama kurang dari 24 jam untuk menekan penularan dari ibu kepada anak. Selanjutnya, imunisasi hepatitis B dengan tiga dosis diberikan untuk mencegah penularan.
Wiendra menambahkan, pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan cakupan layanan hepatitis B di masyarakat. Jumlah ibu hamil yang melakukan deteksi dini menurun. Begitu pula dengan jumlah bayi lahir yang mendapatkan imunisasi.
”Target eliminasi hepatitis di Indonesia sulit dicapai di tengah pandemi saat ini. Meski begitu, kami mengupayakan agar semua layanan tetap berjalan di masyarakat. Layanan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil dan vaksinasi pada bayi yang lahir di fasilitas pelayanan kesehatan tetap diberikan,” ujarnya.