Komunikasi Tenaga Kesehatan Berperan Atasi Tengkes
Kesulitan dalam memahami tengkes ternyata tak hanya dialami masyarakat awam, tetapi juga tenaga kesehatan. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya penanggulangan gizi buruk ini.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kompetensi komunikasi tenaga kesehatan dan kader kesehatan terkait penyampaian informasi mengenai pencegahan dan penanganan tengkes perlu ditingkatkan. Komunikasi yang kurang baik menyebabkan pemahaman masyarakat menjadi minim sehingga penanggulangannya pun tidak optimal.
Praktisi komunikasi perubahan perilaku dari Yayasan Cipta Cara Padu, Risang Rimbatmaja, menilai konsep tengkes atau stunting merupakan hal yang abstrak dan sulit dipahami. Tidak sedikit masyarakat, bahkan tenaga kesehatan di daerah salah memahami tengkes.
”Apakah stunting hanya sekadar bertubuh pendek dan bisa diukur dengan alat tinggi badan saja? Stunting itu persoalan yang kompleks yang tidak hanya terkait kesehatan. Jika pemahamannya saja masih kurang, bagaimana bisa mengubah perilaku masyarakat untuk mencegah tengkes?” katanya di Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Untuk itu, Risang mengatakan, peran tenaga kesehatan yang berada di fasilitas kesehatan tingkat pertama ataupun kader kesehatan di posyandu sangat penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat. Namun, permasalahan yang dihadapi saat ini justru masih banyak tenaga kesehatan yang belum memahami tengkes dengan baik.
Dengan demikian, peningkatan kapasitas dan kompetensi, baik tenaga maupun kader kesehatan, juga diperlukan. Ini terutama untuk mengembangkan kemampuan komunikasi perubahan perilaku masyarakat. Tengkes merupakan masalah jangka panjang yang membutuhkan perubahan perilaku dalam kehidupan masyarakat, mulai dari pola asuh, pola makan, hingga penerapan prinsip hidup bersih dan sehat.
Pendekatan komunikasi perubahan perilaku sebaiknya dilakukan berdasarkan relasi. (Risang Rimbatmaja)
”Pendekatan komunikasi perubahan perilaku sebaiknya dilakukan berdasarkan relasi. Artinya lebih menekankan komunikasi tatap muka yang menggunakan diksi dan logika yang mudah diterima masyarakat. Komunikasi yang bermuatan lokal juga lebih baik untuk dilakukan,” ujar Risang.
Rita Ramayulis, ahli gizi yang juga Ketua Indonesia Sport Nutrition Association, menyampaikan, tengkes merupakan keadaan kurang gizi kronis yang terjadi secara akumulatif dari banyak penyebab, khususnya yang terjadi selama seribu hari pertama kehidupan. Tengkes pun perlu dipahami sebagai kondisi gagal tumbuh dan gagal kembang.
Pertumbuhan seorang anak dapat dilihat dari tinggi badan, lingkar kepala, dan berat badan. Sementara perkembangan dapat dilihat dari kemampuan berbicara, berjalan, dan mengenal lingkungannya.
”Jadi, anak pendek belum tentu stunting. Namun, indikator stunting salah satunya adalah anak pendek. Masalah ini terkait dengan banyak hal yang akan terjadi pada intergenerasi,” tuturnya.
Menurut Rita, upaya pemutusan rantai risiko tengkes paling efektif dilakukan sejak masa remaja. Kecukupan gizi pada remaja putri sangat menentukan kualitas kehamilannya kelak, bahkan pada kualitas bayi yang dilahirkan. Karena itu, setiap remaja harus terhindar dari kondisi kurang energi kronik, anemia, serta perilaku makan yang tinggi gula, garam, dan lemak.
Variasi makanan diperlukan untuk mencukupi berbagai nutrisi yang dibutuhkan anak. (Rita Ramayulis)
”Pemahaman masyarakat yang masih kurang juga terkait pemberian makan yang bervariasi pada anak. Implikasinya, pemberian makan cenderung monoton sesuai yang diinginkan anak. Padahal, variasi makanan diperlukan untuk mencukupi berbagai nutrisi yang dibutuhkan anak,” tuturnya.
Dari hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia, prevalensi tengkes di Indonesia selama lima tahun terakhir masih tinggi. Pada 2015, prevalensi tengkes sebesar 29,0 persen. Jumlah itu justru meningkat pada 2018 menjadi 30,8 persen dan menurun pada 2019 menjadi 27,7 persen. Sementara batas toleransi tengkes yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20 persen.
Persoalan ini memerlukan keterlibatan semua pihak agar penanganannya bisa lebih agresif dilakukan. Salah satunya keterlibatan organisasi masyarakat seperti gerakan filantropi. Senior Technical and Liaison Advisor Early Childhood Education and Development dari Tanoto Foundation, Widodo Suhartoyo, menyampaikan, sejumlah program telah dijalankan untuk mendorong laju aksi penurunan angka tengkes di Indonesia.
”Setidaknya ada delapan aksi integrasi yang dilakukan, mulai dari analisis situasi di lingkungan masyarakat, rembuk stunting, pembinaan kader pemberdayaan masyarakat, pengukuran dan publikasi stunting, hingga reviu kerja tahunan. Sebagai wilayah percontohan, kami sudah melakukan program ini di tujuh wilayah, seperti Lombok Barat dan Pandeglang,” tuturnya.
Kepala Seksi Peningkatan Peran Serta Masyarakat Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Marlina BR Ginting Manik menuturkan, kendala permasalahan tengkes di Indonesia cukup kompleks, terutama karena belum ada kebijakan dan implementasi terkait strategi perubahan perilaku yang dijalankan. Untuk itu, pemerintah telah menyusun strategi nasional komunikasi perubahan perilaku yang terpadu.
Ada empat pilar pendekatan yang dilakukan, yakni terkait advokasi kebijakan, kampanye publik, mobilisasi sosial, dan komunikasi antarpribadi. ”Kami targetkan pada 2024, sekitar 80 persen tenaga kesehatan di puskesmas di seluruh wilayah Indonesia sudah memiliki kapasitas komunikasi antarpibadi yang baik. Begitu pula dengan kader di posyandu,” ucapnya.