Investasi Masa Depan dengan Mengenali Gangguan Mental Anak Sejak Dini
Sebagian besar gangguan mental yang terjadi pada anak dan remaja tidak terdeteksi sejak dini. Pengenalan melalui komunikasi dan perhatian keluarga merupakan investasi penting bagi masa depannya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Pemahaman masyarakat terhadap gangguan mental pada anak dan remaja masih minim. Jika gangguan ini tidak diatasi sejak dini bisa berdampak buruk pada kondisi anak dan bahkan dapat menyebabkan disabilitas dalam kehidupannya kelak.
Perhatian dan komunikasi orang terdekat, yaitu keluarga kepada anak menjadi investasi penting bagi masa depannya. Ini untuk mengurangi berbagai risiko gangguan mental berlarut-larut dan lebih serius yang berpotensi dialami anak ketika sudah remaja dan dewasa.
”Gangguan mental yang terjadi pada usia anak dan remaja sering tidak disadari oleh orangtua ataupun orang terdekat. Padahal, gangguan ini bisa berdampak panjang,” ujar Annelia Sani Sari, psikolog anak dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia di Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Ia pun mengatakan, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menyebutkan, 50 persen dari gangguan mental pada orang dewasa terbentuk sejak mereka berusia kurang dari 14 tahun,
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan, prevalensi gangguan mental emosional remaja Indonesia usia di atas 15 tahun sebesar 9,8 persen. Jumlah ini meningkat dari 2013 yang tercatat sebesar 6 persen. Dalam riset lainnya, sekitar 15 persen remaja di negara berkembang pernah berpikiran untuk bunuh diri karena gejala gangguan mental yang dialaminya.
Annelia menjelaskan, anak yang memiliki gejala gangguan mental biasanya kurang dapat memisahkan hal yang baik dan buruk. Selain itu, perkembangan psikomotoriknya juga cenderung lambat dari anak lainnya. Biasanya anak dengan gangguan mental juga sulit untuk menerima kegagalan.
Sebaliknya, pada anak dengan kesehatan mental yang baik akan mudah beradaptasi dengan berbagai keadaan. Anak pun lebih mudah menjaga hubungan baik dengan lingkungan serta relatif mudah mengelola stres yang dialaminya.
Menurut Annelia, gejala gangguan mental yang dialami anak harus terdeteksi sejak dini. Untuk itu, relasi antara anak dan orang terdekat, khususnya orangtua perlu ditingkatkan. Orangtua sebaiknya menghadirkan situasi yang kondusif bagi anak untuk bercerita akan tekanan yang dialami.
Terkadang tekanan yang dialami anak dianggap sebagai masalah yang sederhana oleh orangtua. Akibatnya, anak menjadi segan ataupun takut untuk bercerita sehingga tekanan yang dihadapi tidak bisa tersalurkan.
Jika kondisinya memburuk, anak pun bisa mendapat stigma dari lingkungannya. (Annelia Sani Sari)
”Gangguan mental yang tidak terdeteksi ini menyebabkan akses layanan kesehatan dan pendidikan yang dibutuhkan terlambat diberikan. Jika kondisinya memburuk, anak pun bisa mendapat stigma dari lingkungannya,” tutur Annelia.
Berbagai masalah lain juga rentan terjadi pada anak yang mengalami gangguan mental. Masalah itu, antara lain, terkait perilaku seperti conduct disorder (kenakalan anak dan remaja), oppositional-deviant disorder (gangguan perilaku melawan dan membangkang), dan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lain (NAPZA) termasuk rokok.
Selain itu, anak dengan gangguan mental cenderung mengalami masalah emosional-sosial, seperti gangguan kecemasan, menarik diri, stres, dan gangguan perasaan (mood). Relasi antara anak dan orangtua juga biasanya tidak baik.
Di masa depan, kualitas hidup anak dengan gangguan mental juga akan terganggu. Dari data Riskesdas 2018, prevalensi seseorang dengan gangguan mental yang kualitas hidupnya terganggu mencapai 13,4 persen. Jumlah ini lebih tinggi daripada beban penyakit lain, seperti gangguan kardiovaskuler (4,1 persen dan infeksi pernapasan (2 persen).
Co-Founder Ubah Stigma Asaelia Azeela menambahkan, peran orang terdekat anak, selain orangtua, juga dibutuhkan untuk membantu mengatasi gangguan mental yang dialami oleh anak. Pada anak remaja, dukungan dari teman sebaya yang biasanya sangat dibutuhkan.
”Kondisi saat ini, media sosial pun punya pengaruh pada gangguan mental yang dialami remaja. Kesadaran anak remaja terkait gangguan mental cenderung meningkat, tetapi sayangnya banyak remaja yang justru melakukan self diagnosis tanpa bimbingan dari para ahli,” tuturnya.