Para peneliti menduga asal mula virus ini adalah kawasan Asia Tenggara daratan antara Provinsi Yunnan di China atau mungkin Vietnam, Myanmar, dan Laos.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, China, banyak dipahami sebagai asal mula virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2. Namun, melihat karakteristik penyakit zoonotik ini, asal mula virus ini kemungkinan besar berasal dari wilayah Asia Tenggara daratan Provinsi Yunnan, China, atau bahkan Vietnam, Laos, dan Myanmar.
Sejumlah peneliti dan akademisi terkemuka dari Amerika Serikat dan Inggris menduga hal ini karena keberagaman spesies kelelawar yang dikenal sebagai inang virus korona lebih banyak ditemukan di wilayah tersebut.
Mengenai hal ini, virolog Universitas Udayana, Prof I Gusti Ngurah Kade Mahardika, mengatakan, apabila menilik ke belakang, Yunnan memang menjadi lokasi penemuan virus korona yang paling dekat dengan SARS-CoV-2 pada 2013.
”Untuk menjadi SARS-CoV-2, perlu mengubah rangkaian gennya sebanyak 1.200 poin dari total 30.000 pasang gen. Jadi, ada perbedaan sekitar 4 persen,” kata Ngurah Mahardika saat dihubungi dari Jakarta pada Jumat (24/7/2020).
Dugaan bahwa virus penyebab pandemi berasal dari Yunnan dan Asia Tenggara daratan ini awalnya disampaikan oleh Peter Daszak, Presiden Ecohealth Alliance, lembaga riset epidemi Amerika Serikat, dalam wawancaranya dengan majalah The Economist pada Rabu (22/7).
Daszak mengatakan, sejak epidemi SARS terjadi pada 2000-an awal, para peneliti mulai memberikan perhatian terhadap virus korona. Sejauh ini, 16.000 spesies kelelawar telah diambil sampelnya dan sebanyak 100 penyakit mirip SARS sudah ditemukan.
Bahkan, di China, kini ditemukan sejumlah kelelawar yang memang memiliki kemampuan untuk menjadi inang terhadap virus yang mampu menular ke manusia.
Namun, Daszak berpendapat, ini bukan persoalan yang spesifik terhadap China karena kelelawar sejenis juga banyak ditemukan tersebar di China Selatan dan negara-negara Asia Tenggara daratan, seperti Vietnam, Myanmar, dan Laos.
”Ada kemungkinan besar bahwa kelelawar di Myanmar, Laos, dan Vietnam juga membawa beragam virus korona yang mirip dengan SARS dan sebagiannya mungkin mirip SARS-CoV-2,” kata Daszak.
Jeremy Farrar, Direktur Wellcome Trust Sir, lembaga filantropi riset, juga memiliki pandangan yang sama. Menurut dia, SARS-CoV-2, atau virus lain yang mirip, mungkin sudah tersirkulasi bertahun-tahun antarmanusia di wilayah tersebut.
”Kini mungkin yang belum berhasil diidentifikasi adalah inang perantaranya, intermediate host, yang menularkannya ke manusia,” kata Farrar.
Kasus rendah Vietnam
Dugaan yang disampaikan Farrar ini juga didukung oleh profesor kedokteran University of Oxford, Sir John Bell. Ia mengatakan, ada sedikit kejanggalan ketika melihat Vietnam memiliki jumlah kasus yang sangat sedikit dan tanpa pasien yang meninggal sama sekali.
Berdasarkan data terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga kini Vietnam memiliki total kasus positif sebanyak 408 kasus dan tidak ada pasien yang meninggal.
Menurut dia, mungkin saja, sebagian besar populasi Vietnam sudah memiliki sedikit kekebalan terhadap virus dan penyakit yang mirip dengan Covid-19. Bell menduga, berbagai virus yang mirip dengan Covid-19 dan SARS di Vietnam telah menciptakan kekebalan bagi populasi Vietnam.
”Mungkin secara imunologi, populasi Vietnam tidak ’sepolos’ yang kita duga selama ini,” kata Bell.
Jadi, ketika sebuah virus baru muncul di sekitar Vietnam, penyebaran virus itu akan tertekan di populasi tersebut karena sebagian besar masyarakatnya memiliki kekebalan. Penyakit ini baru mulai menyebar saat virus itu sampai di China Tengah ketika populasi manusia di sana tidak memiliki kekebalan alami.
Di sisi lain, Ngurah Mahardika mengatakan, hal itu tidak bisa dibuktikan tanpa survei antibodi—biasa disebut survei serologi—dilakukan terhadap populasi Vietnam. Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa apakah benar masyarakat Vietnam sudah memiliki kekebalan terhadap SARS-CoV-2 sebelum pandemi terjadi.
Ia menilai, faktor intervensi epidemiologis yang tepat lebih berperan besar pada keberhasilan Vietnam menekan angka penyebaran Covid-19.
Pertama, upaya testing yang ketat dari awal. Kedua, perilaku masyarakat yang disiplin. Ketiga, reaksi otoritas sudah dilakukan sejak sangat dini. Keempat, upaya penelusuran kontak dilakukan dengan sangat komprehensif. ”Jadi, mereka itu early detection, early reporting, dan early action,” ujarnya.
Ngurah Mahardika mengingatkan bahwa masih banyak hal yang belum diketahui tentang virus yang berumur tujuh bulan ini. Berbagai penelitian masih harus dilakukan untuk menyingkap berbagai karakteristik Covid-19.
Pada 29 Juni, Reuters melaporkan, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengumumkan WHO akan mengirim tim ke China pada awal Juli untuk menginvestigasi asal-muasal virus SARS-CoV-2.