Pemenuhan asupan gizi seimbang dibutuhkan anak agar usia tumbuh kembangnya optimal. Karena itu, orangtua perlu memperhatikan pola makan kepada anak agar tak hanya mengenyangkan, tapi juga bergizi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Sebagian orangtua belum paham benar mengenai konsep gizi seimbang yang dibutuhkan anak sesuai dengan usia tumbuh kembangnya. Kesibukan kantor ataupun aktivitas lain membuat orangtua memilih untuk memberikan makanan yang praktis dan mengenyangkan.
Pada menu makan yang disajikan dalam satu piring makan anak, misalnya, porsi karbohidrat biasanya akan mendominasi. Setelah itu baru ditambah dengan lauk-pauk, sayuran, dan sesekali disertai buah-buahan. Variasi menunya pun kurang diperhatikan.
Tidak jarang pula orangtua menilai, makanan sehat untuk anak adalah makanan yang penuh dengan sayur dan buah. Padahal, pengertian itu tidak sepenuhnya benar. Anak di masa tumbuh kembang justru lebih membutuhkan asupan protein yang tinggi.
Ahli gizi yang juga Ketua Indonesia Sport Nutrition Association Rita Ramayulis menyampaikan, kebutuhan gizi setiap orang berbeda. Gizi seimbang yang diterjemahkan dalam isi piringku tidak sama antara anak yang mengonsumsi makanan pendamping air susu ibu (MPASI), anak usia sekolah, anak remaja, dan orang dewasa.
”Untuk anak usia enam bulan sampai dua tahun yang mengonsumsi MPASI, kebutuhan protein harus mendominasi. Dalam isi piringku, sepertiga bagian harus diisi dengan protein nabati dan protein hewani. Keduanya harus ada dalam satu porsi makan. Sepertiga bagian lainnya diisi karbohidrat dan sepertiga lagi diisi buah atau sayur,” katanya.
Protein nabati bisa didapatkan dari kacang-kacangan, seperti kacang kedelai dan kacang hijau, serta brokoli. Sementara protein hewani terkandung dalam daging merah, ayam, ikan, dan telur. Selain pemberian ASI, tambahan pangan yang mengandung protein nabati dan hewani sangat dibutuhkan oleh anak usia 6-24 bulan dalam mendukung perkembangan otak yang optimal.
Sejak sembilan bulan di dalam kandungan sampai usia dua tahun, seseorang mengalami periode emas dalam proses tumbuh kembang. Selama seribu hari petama kehidupan tersebut, otak berkembang hingga 80 persen dari kapasitas maksimal.
Kebutuhan gizi anak yang seimbang kini semakin sulit terpenuhi pada masa pandemi Covid-19. Dampak ekonomi yang ditimbulkan bisa menyebabkan akses pada pemenuhan bahan pangan yang berkualitas menjadi terbatas. Akibatnya, anak rentan mengalami gizi buruk.
Obesitas
Di sisi lain, kebiasaan memesan makanan cepat saji melalui layanan pesan antar juga meningkat. Padahal, makanan cepat saji mengandung gula, garam, dan lemak yang tinggi. Terlalu banyak mengonsumsi makanan tersebut akan semakin berisiko menyebabkan obesitas jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup.
Survei cepat Wahana Visi Indonesia (WVI) yang dilakukan di 47 desa, 37 kabupaten, dan 14 provinsi menemukan pola makan keluarga berdampak besar pada masa pandemi Covid-19 akibat penurunan mata pencarian keluarga. Dampak lain menyangkut kelangsungan pendidikan bagi anak-anak, pemenuhan obat-obatan, serta pemenuhan kebutuhan pribadi. Hanya 40 persen keluarga yang mampu memberikan nutrisi lengkap kepada keluarga. Selain itu, 61 persen anak berusia 6-9 bulan tidak bisa mendapatkan nutrisi lengkap.
Menurut Rita, setiap anak berhak mendapatkan nutrisi yang tepat dalam menunjang tumbuh kembangnya. Kualitas nutrisi yang diterima anak akan berpengaruh pada kualitas hidupnya di masa depan.
Salah kaprah terkait konsep gizi seimbang ini juga yang menjadikan pemenuhan nutrisi menjadi tidak optimal. Banyak orangtua yang masih mementingkan makan asal kenyang, bukan makan sesuai dengan kebutuhan anak. Hal ini pula yang menyebabkan persoalan gizi pada anak Indonesia cukup tinggi.
Setidaknya tiga beban malnutrisi dihadapi sekaligus oleh bangsa Indonesia, yakni gizi buruk (wasting), gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis (stunting), dan kelebihan berat badan (obesitas). Tiga persoalan ini bisa berdampak pada produktivitas sumber daya manusia di masa depan.
Anak dengan stunting atau tengkes cenderung mengalami gagal tumbuh dan perkembangan otak yang lambat. Sementara anak dengan obesitas berisiko tinggi mengalami penyakit tidak menular.
Setiap anak berhak mendapatkan nutrisi yang tepat dalam menunjang tumbuh kembangnya. Kualitas nutrisi yang diterima anak akan berpengaruh pada kualitas hidupnya di masa depan.
Berbagai intervensi yang telah dilakukan semua pemangku kepentingan belum memberikan hasil signifikan dalam perbaikan persoalan gizi di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi anak obesitas pada usia 5-18 tahun meningkat dari 8 persen pada 2013 menjadi 9,2 persen pada 2018.
Kondisi serupa terjadi pada anak dengan tengkes. Meskipun prevalensi tengkes menurun cukup besar dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018), jumlah ini masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kurang dari 20 persen. Bahkan, Presiden Joko Widodo cukup ambisius untuk menurunkan tengkes di Indonesia hingga 14 persen pada 2024.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan menilai, kompleksitas persoalan gizi di Indonesia tidak semata-mata dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi yang kurang. Berbagai hal lain juga berdampak, seperti akses pada layanan kesehatan terbatas, cakupan imunisasi rendah, kesehatan lingkungan yang buruk, dan tingginya kekerasan pada anak.
Selama ini, pemerintah sudah memiliki berbagai program yang baik. Sayangnya, program tersebut tidak terimplementasi secara maksimal di masyarakat. Berbagai sosialisasi dan penyuluhan yang diberikan tidak disertai dengan keberlanjutan pemantauan dan evaluasi.
”Hal yang paling mudah yakni pemantauan dari penggunaan buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Namun, penggunaannya belum sampai 40 persen. Padahal, buku KIA harus dioptimalkan sebagai instrumen untuk memantau dan mengevaluasi tumbuh kembang anak di setiap periode usianya,” kata Aman.