Jangan Percaya Hoaks, ”Thermo Gun” Tidak Berbahaya untuk Otak
Pancaran sinar laser hanya digunakan sebagai petunjuk ketepatan arah penggunaan ”thermo gun”, tidak ada kaitan dengan fungsi pengukuran temperatur. Masyarakat jangan percaya hoaks bahwa ”thermo gun” bisa merusak otak.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan termometer tembak atau biasa disebut dengan thermo gun ke dahi untuk mengukur suhu tubuh tidak membahayakan otak manusia. Pancaran sinar laser hanya digunakan sebagai petunjuk ketepatan arah penggunaan termometer, tidak ada kaitan dengan fungsi pengukuran temperatur.
Ketua Departemen Fisika Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prasandhya Astagiri Yusuf mengatakan, thermo gun mendeteksi temperatur arteri temporal pada dahi untuk mengestimasi suhu tubuh seseorang.
Alat ini bekerja dengan prinsip hukum fisika bahwa setiap benda yang memiliki suhu lebih dari 0 kelvin memancarkan radiasi elektromagnetik.
Dengan demikian, suhu manusia normal yang berkisar 36-37,5 derajat celsius juga akan memancarkan radiasi elektromagnetik. Bahkan, pancaran itu memiliki spektrum yang sama dengan spektrum inframerah apabila dilihat dari jangkauan radiasi. Nah, energi radiasi dari permukaan tubuh itulah yang dideteksi oleh thermo gun.
Tanpa perlu bersentuhan dengan obyek yang diukur temperaturnya, thermo gun menjadi tepat digunakan untuk deteksi gejala demam penyakit menular, seperti Covid-19.
Pada thermo gun industri, sering kali dilengkapi dengan laser berenergi rendah. Fungsi laser ini, seperti laser pointer untuk presentasi, hanya digunakan sekadar sebagai penunjuk. Prasandhya bahkan mengatakan, hanya thermo gun industri yang menggunakan penunjuk laser. Thermo gun medis tidak menggunakan penunjuk laser.
”Sama halnya dengan laser pointer, laser ini tidak ada efek berbahaya untuk otak, tetapi jangan sampai menembak ke mata secara langsung karena dapat merusak retina,” kata Prasandhya dalam peryataan tertulis yang disampaikan pada Selasa (21/7/2020).
Sama halnya dengan laser pointer, laser ini tidak ada efek berbahaya untuk otak, tetapi jangan sampai menembak ke mata secara langsung karena dapat merusak retina.
Pernyataan ini juga disusun oleh anggota Departemen Fisika FKUI lainnya, dr Anindya Pradipta Susanto, Muhammad Hanif Nadhif, dan Muhammad Satrio Utomo, untuk melawan beredarnya informasi di masyarakat yang menyatakan bahwa laser pada thermo gun dapat merusak otak.
Prinsip mendeteksi suhu dari radiasi elektromagnetik yang dihasilkan obyek tersebut juga digunakan untuk penapisan (screening) temperatur di bandara ataupun thermal goggles militer untuk mendeteksi keberadaan orang di kondisi malam ataupun gelap.
Prasandhya juga mengatakan, pengukuran temperatur tubuh menggunakan thermo gun tidak bisa dijadikan acuan utama terkait apakah seseorang menderita Covid-19 atau tidak karena pasien Covid-19 bisa muncul tanpa gejala demam.
”Kami berharap penggunaan thermo gun secara luas di tempat-tempat publik, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan layanan transportasi publik, disertai dengan SOP yang jelas,” kata Prasandhya.
Untuk itu, ia meminta masyarakat pengguna thermo gun untuk melakukan kalibrasi minimal setahun sekali. Kalibrasi diperlukan agar pemeriksaan suhu terjaga akurasinya. Sebab, informasi yang salah bisa membuat gagalnya pemeriksaan suhu (positif palsu dan negatif palsu) sehingga membahayakan banyak orang.
Prasandhya juga mengingatkan masyarakat untuk memahami bahwa akurasi pengukuran temperatur bergantung pada jarak dan sudut alat thermo gun terhadap obyek yang diukur. ”Maka dari itu, jangan heran jika hasil pengukuran bisa berubah-ubah,” kata Prasandhya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Rabu (22/7) melalui laman Instagram resminya juga mengatakan bahwa termometer industri tidak dapat digunakan untuk mendeteksi suhu manusia karena rentang akurasi yang terlalu besar, yakni 1-1,5 derajat celsius. Padahal, pengukuran suhu tubuh harus dengan akurasi 0,1-0,3 derajat celsius.
Bukan barang baru
Thermo gun sendiri bukan sesuatu yang baru muncul akibat pandemi Covid-19. Ketika muncul wabah SARS di Asia Timur pada awal 2000-an, alat ini sudah digunakan untuk menyaring masyarakat yang diduga sedang demam, salah satu gejala penyakit menular tersebut. Penggunaan alat ini diharapkan dapat memperlambat penyebaran wabah.
Direktur eksekutif bidang program internasional dan inovasi di Global Center for Health Security University of Nebraska AS James Lawler mengatakan, thermo gun juga digunakan di titik-titik penting, seperti akses keluar-masuk rumah sakit ataupun pemeriksaan di jalan raya di masa wabah Ebola di kawasan Afrika Barat pada 2014-2016.
Namun, kepada New York Times, Lawler mengatakan bahwa banyak sekali variabel kondisi yang dapat memengaruhi hasil pengukuran suhu dengan thermo gun. Hal ini terkadang yang membuat hasil pengukurannya dianggap tidak akurat.
Apabila thermo gun digunakan terlalu jauh dari dahi seseorang, pengukuran yang dihasilkan biasanya terlalu rendah. Namun, apabila terlalu dekat, akan menghasilkan pengukuran yang cenderung tinggi.
Bahkan, apabila pengukuran dilakukan di kondisi yang tidak ideal, seperti tepi jalan yang panas dan berdebu, juga dapat menghasilkan pengukuran yang tidak akurat. ”Terkadang, (thermo gun) hanya digunakan untuk formalitas,” kata Lawler.
Di sisi lain, profesor bidang kebijakan kesehatan dan manajemen City University of New York (CUNY) AS Bruce Y Lee berpendapat bahwa penggunaan detektor suhu inframerah, seperti thermo gun, lebih baik daripada tidak sama sekali.
Ia memahami bahwa akurasi thermo gun tidak ideal. Obat penurun panas dan penghilang demam juga dapat menurunkan temperatur bagi mereka yang berusaha menyembunyikan gejala Covid-19.
Akan lebih akurat apabila setiap orang yang lalu-lalang di bandara harus mengikuti pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Namun, tentu hal ini agak mustahil dilakukan.
Oleh karena itu, menurut Lee, apabila thermo gun dan detektor suhu dapat digunakan dengan baik, otoritas dapat membantu mengidentifikasi orang-orang yang perlu diperiksa lebih lanjut. ”Thermal scanner, thermo gun, itu lebih baik daripada tidak sama sekali,” kata Lee melalui kolomnya di Forbes.