Anak-anak Korban Kekerasan Membutuhkan Rekan Konseling
Anak sejatinya membutuhkan orang lain yang mau mendengarkan keluh kesah saat di rumah. Ketiadaan sosok pendengar ini bisa mengakibatkan sang anak lari ke kanal lain, seperti media sosial, untuk mencari atensi.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak korban kekerasan dalam keluarga sejatinya butuh seseorang yang mendengar segala keluh kesah tanpa menghakimi. Ketiadaan sosok yang bisa memenuhi hal itu dapat berakibat sang anak meluapkan emosi negatif lewat kanal lain, terutama melarikan diri ke media sosial.
Pelarian mereka ke ranah medsos justru lebih rentan memicu sejumlah kasus eksploitasi dan kejahatan pornografi. Maka itu, seorang anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga sebaiknya mendapat pendampingan dari sesosok rekan konseling.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan, selama ini ada kecenderungan kalau medsos menjadi kanal pelarian mereka dalam mencari atensi. Hal itu mungkin tidak didapat dari orangtua, kemudian mereka berjejaring di medsos untuk mencari perhatian itu. ”Padahal, anak kadang hanya ingin didengarkan di rumah,” ujar Retno saat dihubungi, Selasa (21/7/2020).
Dalam kasus semacam itu, Retno menyarankan agar orangtua dan kerabat terdekat harus terus hadir mendengarkan sang anak. Atensi tersebut bisa membuat sang anak mengurangi sesi curahan hatinya di medsos. Dengan begitu, tiada pula kemunculan orang-orang tak dikenal yang memanfaatkan kesempatan saat sang anak merasa sepi di medsos.
Retno melanjutkan, peran kehadiran sosok yang mendengarkan sang anak bisa dijalankan siapa saja. Apabila orangtua tidak bisa, guru bimbingan konseling (BK) dapat turut mengisi peran itu. ”Di saat pandemi Covid-19, saya membayangkan kalau guru BK semestinya tetap memberi kelas konseling bagi mereka,” ujarnya.
Menurut dia, guru BK semestinya hadir sedikitnya sekali dalam sebulan untuk kelas formal. Tujuannya mendekatkan diri dengan anak yang berstatus pelajar, juga mengingatkan kalau mereka bisa berkonsultasi dengan guru BK ketika sedang gundah.
”Anak-anak harus ditanamkan rasa nyaman ketika bercerita dengan guru BK, bisa berbagi keluh kesah tentang masalah di rumah juga. Guru BK pun harus selalu ada buat mereka, kalau perlu memberikan nomor panggilan yang selalu aktif untuk mereka saat dibutuhkan,” tutur Retno.
Saat pandemi Covid-19 pun, guru BK semestinya melalui cara-cara kreatif untuk mendekati anak korban kekerasan dalam keluarga. Akan lebih baik apabila guru BK sebagai rekan konseling bisa akrab di medsos dengan mereka. Selain guru BK, peran kerabat dekat dan teman sejawat juga penting agar sang anak tidak cenderung menyakiti diri sendiri. Sosok teman ini berperan sebagai konselor sebaya yang aktif mendengarkan sang anak.
Psikiater Danardi Sosrosumihardjo mengatakan, yang terpenting dalam pemulihan kondisi psikis anak adalah kembali memberikan atensi di lingkungan rumah. Ada sikap saling pengertian antara anak dan orangtua untuk sama-sama sadar serta saling mengintrospeksi diri.
”Bentuk saling pengertian itu yang sangat penting, juga niat untuk sama-sama memperbaiki diri. Itu saja dulu yang harus diperkuat, lalu berproses ke hal-hal detail lainnya,” ungkap Danardi.
Konseling atau bentuk pendampingan apapun dari kerabat dekat tetap penting sebagai dukungan yang lain. Walakin, Danardi menekankan permasalahan di rumah harus tetap diselesaikan terlebih dahulu. ”Permasalahan di rumah, bagaimanapun peliknya, harus tuntas sehingga tidak berdampak luka batin di kemudian hari,” tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pelaku kekerasan pada anak dari kalangan orangtua dan anggota keluarga meningkat setiap tahun. Selama 2016-2018, ada 1.663-2.672 orangtua dan anggota keluarga yang menjadi pelaku kekerasan pada anak. Pada 2019, angkanya sedikit menurun menjadi 2.314 orang. Selama Januari-14 Juli 2020, di masa pandemi Covid-19 ini, tercatat 736 orangtua dan anggota keluarga yang melakukan kekerasan pada anak.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar menyampaikan, ada empat pihak yang bertanggung jawab melindungi anak, yakni anak itu sendiri, orangtua, masyarakat, dan pemerintah daerah ataupun pusat. Setiap pihak harus memahami hak dan kewajibannya. Jika orangtua tak menjalankan fungsinya dalam memberikan kasih sayang kepada anak, anak rawan menjadi korban kekerasan di luar rumah.
”Jika di rumah tidak mendapat kasih sayang, anak akan keluar. Di luar, anak malah rawan dimanfaatkan orang lain yang kemudian bisa mengarah ke tindak kekerasan pada anak,” katanya.