Indonesia Memasuki Tahapan Populasi Menua
Sebagian besar warga lanjut usia Indonesia masih berpendidikan rendah, miskin, dan memiliki beberapa penyakit kronis sekaligus. Hal itu bisa membuat warga lansia menjadi beban warga usia produktif dan bangsa.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia akan segera memasuki tahapan populasi yang menua, artinya 1 dari 10 penduduk adalah warga lanjut usia. Namun, sebagian besar warga lansia Indonesia masih berpendidikan rendah, miskin, dan memiliki beberapa penyakit kronis sekaligus.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, dalam webinar ”Pahami Lansia, Bahagia Seluruh Keluarga”, di Jakarta, Rabu (15/7/2020), mengatakan, banyaknya jumlah warga lanjut usia (lansia) itu perlu menjadi perhatian agar tidak menjadi beban bagi penduduk usia produktif ataupun bangsa.
Badan Pusat Statistik menyebut jumlah warga lansia Indonesia mencapai 25,64 juta orang atau 9,6 persen dari total penduduk pada 2019. Dibandingkan dengan 50 tahun lalu atau sekitar 1970-an, jumlah warga lansia Indonesia naik dua kali lipat. Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 menyebut ada 28,72 juta atau 10,65 persen lansia pada 2020.
Baca juga: Memuliakan Orang Lansia, Memuliakan Kita
Rasio ketergantungan warga lansia pun akan terus naik. Jika saat ini 100 penduduk usia produktif (umur 15-64 tahun) menanggung 15,7 orang lansia, mereka akan menanggung 33,33 warga lansia pada 2045.
Untuk mengimbangi tingginya rasio ketergantungan warga lansia itu, lanjut Hasto, maka rasio ketergantungan untuk penduduk berumur kurang dari 15 tahun harus diturunkan. Jika membesarnya jumlah warga lansia itu tidak dibarengi dengan kemampuan mengendalikan kelahiran, akan memberikan beban berat bagi pembangunan.
”Jika warga lansia sehat, berkualitas, dan produktif, bonus demografi kedua bisa diraih,” katanya.
Nyatanya, situasi warga lansia saat ini tidak terlalu menggembirakan, masih jauh untuk bisa mencapai bonus demografi kedua. Dari semua warga lansia pada 2019, hampir separuhnya atau 12,6 juta orang di antaranya adalah penduduk miskin dan hanya 1,1 juta warga lansia jadi penerima bantuan Program Keluarga Harapan.
Hampir setengah warga lansia masih bekerja. Namun, karena lebih dari 80 persen di antaranya tidak lulus SD, pekerjaan mereka umumnya berada di sektor informal, khususnya sektor pertanian, yang tak butuh keterampilan khusus. Akibatnya, penghasilan mereka kurang dari Rp 1 juta per bulan meski sebagian di antaranya telah bekerja lebih dari 48 jam per minggu.
Baca juga: Lansia Sejahtera, Sejahtera Lansia
Sebanyak 40,64 persen warga lansia tinggal dalam keluarga tiga generasi, tetapi 9,38 persen warga lansia tinggal sendiri. Sebanyak 44 persen warga lansia pada 2020 ini memiliki beberapa penyakit kronis sekaligus, tetapi hanya 3 dari 5 warga lansia yang memiliki jaminan kesehatan. Di sisi lain, seperempat warga lansia gemar merokok.
”Warga lansia memiliki akses ke lapangan kerja, tetapi yang memberikan jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan pensiun sangat terbatas,” kata Direktur Jenderal Rehabillitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat.
Di tengah lonjakan jumlah dan persoalan yang dihadapi warga lansia, pemerintah mengembangkan pola rehabilitasi dan perlindungan sosial warga lansia berbasis keluarga, komunitas, dan residensial (balai atau panti). Pola ini dilakukan agar hak dan kebutuhan dasar warga lansia terpenuhi serta mereka mampu menjalankan peran dan fungsi sosialnya.
Keluarga dan komunitas jadi tumpuan utama bagi proses rehabilitasi sosial warga lansia karena tidak mungkin mengandalkan balai atau panti lansia yang jumlahnya sangat terbatas. Jika keluarga dan masyarakat tak mampu menjaga dan melindungi warga lansia, panti adalah pilihan terakhir.
Baca juga: Beri Lansia Kesempatan Bekerja
”Keluarga adalah tempat terbaik bagi warga lansia. Karena itu, ketahanan keluarga perlu diperkuat hingga mencegah warga lansia menjadi penyandang masalah kesejahteraan sosial, baik itu telantar maupun mengemis,” katanya.
Meski demikian, menjaga dan merawat warga lansia tidaklah mudah. Walau nilai masyarakat untuk merawat warga lansia dalam keluarga masih kuat, rendahnya pengetahuan tentang perawatan lansia sering kali menimbulkan ketegangan, baik kepada pelaku rawat (caregiver) lansia maupun kepada warga lansianya. Situasi itu bisa menimbulkan stres dan depresi bagi kedua pihak.
Keluarga adalah tempat terbaik bagi warga lansia. Karena itu, ketahanan keluarga perlu diperkuat hingga mencegah warga lansia menjadi penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Ketidaksiapan keluarga dalam menjaga dan merawat warga lansia membuat banyak warga lansia merasa tersisih. Meski ada dalam keluarga, keberadaan warga lansia sering kali tak diperhitungkan, tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, hingga mereka merasa hanya dijadikan beban keluarga.
Kesibukan bekerja, tuntutan hidup yang makin besar, hingga ketidaktahuan cara menjaga warga lansia membuat banyak keluarga stres menjaga warga lansia dalam keluarga mereka. Sebagian kurang peduli, tetapi banyak keluarga tak tahu bagaimana berinteraksi dengan warga lansia di tengah kemunduran kondisi fisik dan kognitif warga lansia.
Pelaku rawat, khususnya keluarga, umumnya hanya tahu cara merawat warga lansia berdasarkan insting atau yang mereka lihat di sekitarnya yang belum tentu tepat. Karena itu, ”Intervensi pemerintah tidak cukup hanya kepada warga lansianya saja, tetapi juga harus pada keluarga yang memiliki warga lansia,” ujar Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani.
Berbagi tips
Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti membagikan tipsnya merawat ibu dan neneknya. Di tengah kesibukannya, ia berusaha melibatkan ibunya dalam kegiatan sehari-hari, termasuk dalam pekerjaannya. Aktivitas sosial mereka juga perlu dijaga, seperti berkumpul dengan teman dan warga sekitar, berlibur, hingga berbelanja di pasar.
Warga lansia juga perlu terus didorong rasa bangganya, seperti dengan membelikan barang yang dulunya menjadi kesukaan mereka. Warga lansia juga perlu diperlakukan sama seperti anggota keluarga lainnya, tidak diistimewakan. Karena itu, interaksi anggota keluarga lain, seperti anak dan cucu, dengan warga lansia harus dijaga.
”Perlakukan orangtua senormal mungkin, jangan membatasi mereka dan jangan perlakukan mereka seperti pesakitan karena akan membuat mereka tidak bahagia. Meski sudah sepuh, orang tua tetap memiliki ego dan pikiran,” katanya.
Susi juga membekali ibunya dengan berbagai majalah hingga kemampuan kognitifnya tetap terjaga. Untuk menjaga kesehatan fisiknya, Susi lebih mengutamakan mengubah pola hidup orangtuanya daripada memaksa mereka untuk mengonsumsi obat yang banyak. Saat orangtuanya marah, ia pun berusaha memahaminya walau terkadang juga merasa kesal.
Kepatuhan konsumsi obat
Guru Besar Geriatri di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Siti Setiati mengatakan, persoalan kepatuhan konsumsi obat memang menjadi banyak persoalan di kalangan waga lansia yang menderita penyakit kronis dan paling sering dikeluhkan pelaku rawat mereka, baik pasangan, keluarga, maupun perawat profesional mereka.
”Pada beberapa kondisi, sebaiknya tidak memberikan obat terlalu banyak kepada warga lansia, bahkan kalau memungkinkan tanpa obat sama sekali. Namun, jika kondisi mereka tidak bisa diubah dengan gaya hidup yang baik, maka mau tak mau obat perlu diberikan agar kesehatan mereka terjaga,” katanya.
Untuk menjaga kesehatan fisik warga lansia, aktivitas fisik, pola makan sehat, istirahat cukup, serta dukungan keluarga dan teman penting. Interaksi dan dukungan sosial yang dimiliki warga lansia akan membuat mereka lebih bahagia menjalani hidupnya, tidak mudah stres, hingga ujungnya meningkatkan kekebalan tubiuhnya dan memberikan kualitas kesehatan fisik lebih baik.
Namun, meski sistem perawatan warga lansia didorong untuk bertumpu pada keluarga dan komunitas, perawatan warga lansia di rumah (home care) masih menjadi persoalan. Meski tenaga kesehatan bisa memberikan layanan kesehatan di rumah, pola ini belum dicakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang, layanan kesehatan di rumah bagi warga lansia sebenarnya sangat dibutuhkan, khususnya bagi warga lansia yang tidak memiliki penyakit akut dan dalam kondisi tirah baring. Namun, dukungan pemerintah diperlukan hingga Badan Penyelenggara Jaminan Soial Kesehatan mau menanggung perawatan di rumah bagi warga lansia.