Masyarakat Perlu Adaptasi Jangka Panjang Hadapi Pandemi Covid-19
Studi Smeru Institute menyebut bahwa ketahanan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 di komunitas perkotaan dan adat berbeda. Komunitas perkotaan berpeluang lebih besar terpapar Covid-19 daripada komunitas adat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adaptasi publik terhadap situasi pandemi merupakan indikasi positif tumbuhnya ketahanan masyarakat. Untuk menghadapi dampak pandemi yang berkelanjutan, ketahanan masih perlu dibangun secara menyeluruh, yakni dengan melibatkan individu, komunitas, dan pemerintah.
”Kita akan menghadapi proses belajar yang luar biasa untuk beradaptasi dan menyusun kebijakan baru (untuk ketahanan publik),” kata Direktur The Smeru Research Institute Widjajanti Isdijoso melalui pertemuan virtual, Rabu (15/7/2020).
Hal ini sesuai dengan dua studi yang dilakukan The Smeru Research Institute pada April-Juni 2020. Pertama, tentang dampak pandemi terhadap pelayanan gizi serta kesehatan ibu dan anak. Penelitian dilakukan di Jakarta Timur, DKI Jakarta; Kabupaten Bekasi, Jawa Barat; Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan; Kabupaten Badung, Bali; dan Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kedua, tentang ketangguhan sosial-budaya kelompok rentan dalam menghadapi pandemi. Penelitian dilakukan di komunitas perkotaan di permukiman padat penduduk Jakarta Timur; komunitas perkotaan di pinggir Jakarta Timur; komunitas desa adat di Kabupaten Badung, Bali; serta komunitas pekerja migran di Jakarta dan sekitarnya.
Studi kedua menyatakan bahwa ketahanan masyarakat di komunitas perkotaan dan adat berbeda. Komunitas perkotaan berpeluang lebih besar terpapar Covid-19 daripada komunitas adat. Hal ini karena tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan di komunitas perkotaan rendah, sedangkan di komunitas adat tinggi.
”Paduan pengetahuan akan risiko kesehatan dan sanksi budaya membuat kepatuhan masyarakat (di komunitas adat) lebih tinggi. Persepsi risiko Covid-19 ini berbeda di setiap komunitas. Ini dipengaruhi konteks sosial-budaya, kondisi ekonomi, respons kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19, serta komunikasi risikonya,” kata peneliti The Smeru Research Institute, Rizki Fillaili.
Ia mengatakan, di permukiman padat, sekitar 60 persen warga tidak paham tentang risiko penularan Covid-19. Akibatnya, pelanggaran protokol kesehatan tidak terhindari, seperti berkumpul bersama warga dan tidak mengenakan masker.
Paduan pengetahuan akan risiko kesehatan dan sanksi budaya membuat kepatuhan masyarakat di komunitas adat lebih tinggi. Persepsi risiko Covid-19 berbeda di setiap komunitas.
Adapun persepsi risiko Covid-19 warga di permukiman pinggiran kota relatif tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat di lingkungan mereka, seperti menutup portal jalan, mengecek suhu badan, serta memantau warga yang keluar dan masuk permukiman.
”Persepsi risiko warga di komunitas adat pun tinggi. Mereka tidak hanya takut pada risiko tertular Covid-19, tetapi juga takut pada sanksi adat dari pecalang (tokoh masyarakat Bali),” ujar Rizki.
Partisipasi masyarakat
Ketahanan masyarakat terhadap Covid-19 sangat dipengaruhi persepsi risiko yang terbentuk. Masalahnya, pemahaman warga akan risiko penyakit semakin longgar. Rizki menyarankan agar partisipasi masyarakat serta pemimpin komunitas dan daerah ditingkatkan. Tujuannya untuk membangun kesadaran kolektif terhadap risiko Covid-19.
”Mempertahankan persepsi risiko tetap tinggi itu penting karena memengaruhi strategi adaptasi masyarakat. Semakin adaptif suatu komunitas, semakin besar pula ketahanan yang terbentuk,” kata Rizki.
Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Meuthia Ganie-Rochman, mengatakan, membentuk ketahanan dilakukan dengan membentuk manajemen publik baru (new public management). Artinya, pemimpin harus beradaptasi dengan tugas dan fungsi baru di komunitasnya selama pandemi, salah satunya memantau kedisiplinan warga dan melakukan sosialisasi menerus tentang bahaya Covid-19.
”Ada standar-standar yang harus dibentuk, ragam kedisiplinan baru, dan tanggung jawab baru yang harus ditangani bersama untuk membentuk ketahanan masyarakat. Selain itu, diperlukan juga orang yang punya kapabilitas untuk menghubungkan komunitasnya dengan pemda. Hal itu karena komunitas perlu sumber daya lain untuk bertahan,” kata Meuthia.
Ia juga menyarankan agar pemda menyiapkan sistem terpadu yang bisa diakses masyarakat untuk menghadapi pandemi. Misalnya, sistem yang menyediakan informasi seputar obat dan alat kesehatan murah di lingkungan sekitar serta sistem yang menyiapkan mekanisme isolasi mandiri di suatu lingkungan.