Presiden Tegaskan Sanksi Bagi Pelaku Pelanggaran Protokol Kesehatan
Delapan provinsi di Indonesia tercatat mengalami penambahan tinggi kasus baru Covid-19. Itu butuh penanganan khusus agar penularan tidak meluas.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Penanganan pandemi Covid-19 di delapan provinsi menjadi prioritas karena tingginya penambahan kasus baru. Selain penambahan laboratorium untuk menguji spesimen dengan tes PCR atau reaksi rantai polimerase, pelacakan dan kapasitas perawatan pasien mesti ditingkatkan.
Dalam penjelasannya kepada pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7/2020) sore, Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah menyiapkan regulasi untuk memberi sanksi bagi warga yang melanggar protokol kesehatan berupa denda, kerja sosial, ataupun tindak pidana ringan seperti kurungan.
Sanksi itu disiapkan karena protokol kesehatan tidak dijalankan warga secara disiplin. Contohnya, penggunaan masker di sebuah provinsi yang disurvei hanya 30 persen, sedangkan 70 persen tak memakai masker.
Presiden mengingatkan, kenaikan jumlah kasus Covid-19 harus disikapi. Pengujian spesimen (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment) di delapan provinsi diprioritaskan.
Kedelapan provinsi itu meliputi Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Papua, dan Sumatera Utara. Sebelumnya, seperti diberitakan Kompas, akhir Mei lalu, Presiden memprioritaskan penanganan enam provinsi, juga karena tingginya penambahan kasus baru Covid-19.
”Tes (PCR) harus ditingkatkan dengan menambah laboratorium di daerah plus mobile laboratorium PCR. Diharapkan target tercapai, 30.000 (pengujian spesimen per hari),” kata Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas percepatan penanganan Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7/2020).
Selain itu, pemerintah mendorong penelusuran orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan. Penanganan pasien, baik persiapan lokasi isolasi mandiri maupun perawatan, terus diperbaiki. Demikian pula ketersediaan tempat tidur, alat pelindung diri, obat-obatan, ventilator, dan ruang isolasi.
Terkait obat dan vaksin, Presiden mengatakan, pemerintah bekerja sama dengan sejumlah negara. Setelah penemuan vaksin diharapkan terwujud akhir tahun nanti, RI akan memproduksi vaksin pada Januari-April 2021. Kini, uji klinis vaksin itu sampai fase tiga dan perlu enam bulan untuk uji terakhir.
Tes (PCR) harus ditingkatkan dengan menambah laboratorium di daerah plus mobile laboratorium PCR. Diharapkan target tercapai, 30.000 (pengujian spesimen per hari).
Vaksin tersebut diprioritaskan untuk tenaga kesehatan dan kelompok rentan, serta di daerah zona merah. Menurut perhitungan, kebutuhannya mencapai 347 juta vaksin. Untuk memproduksi vaksin itu, pemerintah menyiapkan sejumlah BUMN farmasi, seperti PT Biofarma dan PT Kimia Farma.
Terkait efisiensi akibat hampir semua anggaran negara diarahkan untuk pandemi dan dampaknya terhadap ekonomi, pemerintah tengah melakukan finalisasi perampingan 18 lembaga yang terdiri dari komite, komisi, dan badan.
Dari data Google Covid-19 Community Mobility Trends hingga 10 Juli 2020 di Indonesia, mobilitas warga mendekati kondisi normal seperti minggu ketiga Januari hingga awal Februari 2020 di tempat kerja, toko kelontong, dan farmasi. Peningkatan aktivitas pun terjadi di sektor wisata dan ritel.
Padahal, kasus Covid-19 di Indonesia terus bertambah dan korban jiwa berjatuhan. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan, jumlah total kasus di Indonesia 76.981 orang. Menurut Kementerian Kesehatan, laju penambahan tiap 10.000 kasus di Indonesia makin cepat. Jumlah kasus jadi 10.000 orang pada 30 April lalu atau 60 hari sejak kasus pertama diumumkan, lalu jadi 20.000 pada 21 Mei atau hanya dalam 21 hari, dan dari 60.000 menjadi 70.000 dalam 6 hari.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 8 Juli 2020 menunjukkan, kapasitas tes minimum 1/1.000 populasi per minggu hanya bisa dipenuhi Jakarta sehingga hanya daerah ini yang bisa dianalisis nilai positivity rate. Data menunjukkan positivity rate di Jakarta dalam periode 22 Juni hingga 5 Juli di atas ambang batas WHO sebesar 5 persen.
Berdasarkan data terbaru Dinas Kesehatan DKI Jakarta, positivity rate Covid-19 di Jakarta pada 6-12 Juli 2020 mencapai 5,5 persen. Dalam sepekan terakhir dilakukan 3.569 tes per 1 juta penduduk per pekan. Ini menunjukkan tingkat penularan di Jakarta kembali naik.
Tenaga medis
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, keselamatan dan hak-hak sosial tenaga kesehatan belum terlindungi. Setidaknya 3.000 tenaga kesehatan dari 79 negara meninggal selama pandemi, dan RI termasuk yang mengalami kematian tenaga kesehatan paling tinggi.
Dalam laporan Amnesty International, negara-negara dengan jumlah kematian tenaga kesehatan tertinggi antara lain Amerika Serikat 507 orang, Rusia 545 orang, Inggris 540 orang, Brasil 351 orang, dan Indonesia 61 orang. Jumlah tenaga medis yang menjadi korban diperkirakan jauh lebih besar karena keterbatasan data pelaporan.
Menurut Ikatan Dokter Indonesia, jumlah dokter yang meninggal telah mencapai 61 orang. Sementara Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhilah mengatakan, jumlah perawat di Indonesia yang meninggal 43 orang. Jadi, jumlah tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal akibat Covid-19 lebih dari 100 orang.
Selain ancaman kematian akibat Covid-19 dan beban kerja berlebih, dalam laporan itu disebutkan, tenaga medis menghadapi ketidakadilan dengan upah tak dibayar hingga 2,5 bulan seperti terjadi di Sudan Selatan. Adapun keterbatasan alat pelindung diri (APD) jadi penyebab utama kasus meninggal.
Harif mengatakan, negara harus melindungi tenaga kesehatan dari paparan Covid-19 dan tekanan sosial serta memenuhi hak mereka. Banyak perawat tertular Covid-19 justru yang tak bertugas di rumah sakit rujukan. Itu diduga terkait kekurangan APD di RS nonrujukan dan puskesmas. Apalagi, sejumlah warga tak jujur dengan riwayat kontak.
Situasi dikhawatirkan memburuk karena mobilitas warga kembali tinggi dan tenaga kesehatan kelelahan. ”Kampanye normal baru membuat euforia, seolah sudah bebas. Perlu gerakan nasional, situasi masih bahaya dan negara serius mengatasi,” ujarnya. (INA/HAR/AIK/REN/XTI/DIT/TAM)