Pemerintah memperbarui pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19. Dalam pedoman baru itu, kematian terkait penyakit itu yang dilaporkan tak hanya kasus terkonfirmasi positif, tapi juga yang diduga terinfeksi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memperbarui pedoman pencegahan dan pengendalian Covid-19. Ada sejumlah indikator yang diganti, antara lain penggunaan istilah orang dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, dan orang tanpa gejala. Selain itu, kasus kematian yang dilaporkan tidak hanya yang terkonfirmasi menderita penyakit itu, tetapi juga yang diduga terinfeksi.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, di Jakarta, Selasa (14/7/2020), mengatakan, istilah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) tidak lagi digunakan sebagai definisi operasional dalam pedoman pengendalian Covid-19. Kedua istilah tersebut kemudian digantikan dengan sebutan kasus suspek.
”Tentunya (perubahan) ini akan memiliki pengaruh terhadap sistem pelaporan yang nantinya akan kami lakukan di hari-hari berikutnya. Secara prinsip dan mendasar tidak ada perubahan di dalam kaitan dengan identifikasi kasus, yakni tetap menggunakan basis penegakan diagnosis pemeriksaan antigen,” katanya.
Pedoman ini juga mengatur penggunaan istilah untuk kasus probable (diduga), kasus konfirmasi, kontak erat, pelaku perjalanan, discarded, selesai isolasi, dan kematian. Kasus probable merupakan kasus suspek dengan gejala klinis yang menyerupai gejala Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR).
Tentunya (perubahan) ini akan memiliki pengaruh terhadap sistem pelaporan yang nantinya akan kami lakukan di hari-hari berikutnya. (Achmad Yurianto)
Kasus konfirmasi merupakan kasus yang telah terkonfirmasi positif Covid-19 melalui pemeriksaan PCR. Kasus ini berlaku pada kasus yang bergejala maupun tanpa gejala. Sementara kontak erat adalah kasus yang memiliki riwayat dengan kasus probable ataupun konfirmasi Covid-19.
Istilah lain yang digunakan adalah kasus discarded. Kasus ini untuk seseorang yang sebelumnya merupakan kasus suspek, tetapi setelah dua kali pemeriksaan PCR menunjukkan hasil negatif. Kasus ini juga berlaku pada seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa karantina selama 14 hari.
Yurianto menambahkan, kasus kematian yang dilaporkan terkait Covid-19 juga berubah. Sebelumnya, kasus kematian yang dilaporkan berasal dari kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19. Namun dalam panduan ini mengatur, kasus kematian terkait Covid-19 terdiri dari kasus konfirmasi ataupun kasus probable Covid-19 yang meninggal.
Kasus baru
Merujuk pada penggunaan definisi yang baru, kasus kematian yang dilaporkan pada 14 Juli 2020 bertambah sebanyak 54 orang. Jumlah ini sudah termasuk kasus kematian dari kasus yang terkonfimasi positif Covid-19 dan kasus probable yang hasil pemeriksaannya belum keluar. Dengan penambahan ini, jumlah total kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 3.710 orang.
Yurianto menambahkan, kasus positif Covid-19 yang baru terkonfirmasi juga masih tinggi di sejumlah daerah. Dengan penambahan kasus baru sebanyak 1.591 orang, Jawa Timur menjadi provinsi dengan penambahan kasus tertinggi, yakni 353 kasus. Provinsi lain dengan penambahan kasus yang tinggi ialah DKI Jakarta (268 kasus), Sulawesi Selatan (197 kasus), Kalimantan Selatan (161 kasus), dan Sumatera Utara (130 kasus).
Sementara itu, kasus sembuh yang dilaporkan bertambah sebanyak 947 kasus sehingga total menjadi 37.636 kasus. Adapun jumlah spesimen yang diperiksa bertambah sebanyak 23.001 spesimen dari 12.015 orang. Kasus suspek kini menjadi 46.701 orang. Seluruh kasus tersebut dilaporkan dari 461 kabupaten/kota terdampak.
Sesuai panduan pengendalian Covid-19 yang baru, pemeriksaan untuk semua pasien terduga Covid-19 dilakukan dengan metode pemeriksaan berbasis molekuler dengan tes cepat molekuler (TCM) dan PCR. Pemeriksaan dengan rapid test atau tes cepat tidak digunakan untuk diagnostik. Tes cepat ini hanya digunakan untuk penapisan pada populasi spesifik dan khusus, serta untuk tujuan riset epidemiologi ataupun penelitian lainnya.
Pemetaan zona risiko
Secara terpisah, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menuturkan, pemetaan zonasi risiko penularan Covid-19 juga diperbarui. Per 12 Juli 2020 telah ditetapkan ada 31 kabupaten/kota dengan zona risiko tinggi, 177 kabupaten/kota dengan zona risiko sedang, 204 kabupaten/kota dengan zona risiko rendah, 48 kabupaten/kota yang tidak ditemukan kasus baru, serta 54 kabupaten/kota yang tidak terdampak Covid-19.
”Perkembangan untuk daerah kabupaten/kota dengan risiko tinggi berubah-ubah. Pemetaan zonasi ini pun sangat dinamis sehingga kewaspadaan harus dijaga untuk memastikan zonasi ini makin lama menjadi kian baik,” katanya.
Wiku menambahkan, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, terdapat delapan provinsi yang menjadi perhatian khusus dalam penanganan Covid-19. Provinsi tersebut merupakan wilayah dengan jumlah kasus dan laju insidensi yang tinggi.
Hal itu meliputi antara lain Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan Papua. Dari delapan provinsi ini, kontribusi kasus yang didapatkan mencapai 74 persen dari seluruh kasus yang dilaporkan di Indonesia.
Dewi Nur Aisyah dari Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menambahkan, ada lima provinsi dengan laju insidensi tertinggi, yakni DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Laju insidensi ini dihitung berdasarkan kasus positif per 100.000 penduduk di suatu wilayah.